Senin, 10 Oktober 2016

Kajian Puisi Sutardji "Tanah Air Mata" Oleh : Sugiyanto

Tanah Air Mata
                                                          
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemanamana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami

kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami

Sutardji Calzum Bachri, ( Horison, 1998:14)

Sutardji Calzum Bachri terkenal dengan kredo puisinya “kata-kata  bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata  saya biarkan bebas  bergairah membelah dirinya, menyatukan dengan yang lain. Kata mampu membentuk pengertiannya sendiri, dan mendapatkan aksentuasi yang maksimal” (O Amuk Kapak,2002:4-5) Pernyataan demikian dapat kita interprestasikan adanya ketidaklaziman dalam pemakaian bahasa pada umumnya. Selama ini Tarji memang identik dengan puisi-puisi kontemporer. Sebuah puisi yang begitu bebas dalam memakai bahasa, puisi dengan tipografi, serta lepas dari konvensi bentuk puisi. Tetapi jika kita cermati diksi Tarji dalam Tanah Air Mata tidak melepas kata-kata yang tanpa makna. Kata-kata yang dipilih semuanya mempunyai makna secara leksikal. Bentuk puisi normatif terlihat dalam penyusunan baris dan bait, serta tidak tampak tipografi yang mencolok. Kita dapat membandingkan dengan Tragedi Winka dan Sihka misalnya.  
Puisi Tanah Air Mata di atas adalah salah satu puisi Tarji yang dihasilkan setelah kumpulan puisi O, Amuk Kapak. Ikranegara menyampaikan puisi-puisi yang terkumpul dalam O, Amuk Kapak menampilkan potret anak manusia sebagai pribadi secara umum. Sedangkan puisi setelah itu potret manusia adalah masyarakat. Malah terdapat pesan moral. Namun bagaimana pun, puisinya tidak jatuh jadi pamlet politik. Ini berhasil dilakukan berkat pengolahan yang ekstra awas terhadap bahasa dan imajinasinya, pemihakkanya pada kehidupan bersama. (Horizon, Mei,1998: 14) Selepas, O Amuk Kapak sajak Sutardji lain dari sajak-sajak sebelumnya. Sajak-sajaknya kembali konvensional dengan gaya persajakan yang lazim, namun tetap memiliki kekhasan, Agus S Sarjono (Horison, September, 2004:9) Dapat kita nyatakan bahwa meskipun terdapat pergeseran eksistensi kekaryaan Tarji, dalam puisi di atas masih kita temukan kekhasan sosok Tarji.
Kebebasan seorang penyair dalam mengekspresikan diri memang tampak begitu mencolok. Kebebasan itu terutama dalam pemenggalan kata, bunyi dan gambar, struktur demikian menghadirkan kesan eksotik. Selama ini membaca puisi Tarji pasti akan kita temukan sebuah eksotik tipografi. Terkait dengan puisi tentu saja keindahan yang menghasilkan sejumlah makna. Tipografi merupakan aspek bentuk visual  yang berupa tata hubungan dan tata baris, Suminto A. Sayuti (2008:329).
Herman J. Waluyo menyampaikan bahwa Sutardji menempatkan unsure fisik (bunyi) dalam urutan terpenting. Pengulangan kata, frasa dan bunyi adalah kekuatan puisinya (2010:21) Tarji menyajikan bunyi-bunyi yang diwujudkan dengan kata /air/ /mata/  secara intens pada bait pertama. Pengulangan ini mampu menghasilkan kekuatan efek rasa pada pembaca akan makna sebuah lautan duka dan kesedian. Meskipun secara gramatikal jelas tidak mampu menghasilkan makna. Meskipun demikian eksistensi bunyi dalam puisi di atas mampu menghasilkan efek estetika terhadap puisi secara maksimal. Sebagaimana disampaikan Luxemburg menyikapi puisi Sutarji tak lepas dari unsur bunyi. Bunyi mempunyai simbolik sehingga dengan bunyi-bunyi dapat diciptakan suasana, perasaan dan kesan tertentu. Meskipun bunyi tidak mempunyai arti sebelum dalam bentuk kata (op cit: 193)
Menurut Rachmat Djoko Pradopo, Sutardji banyak sekali menggunakan penyimpangan dari tatabahasa normatif untuk menghasilkan arti baru atau ekspresivitas. Penyimpangan tersebut terjadi pada penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan kata, penghilangan imbuhan pembentukan jenis kata lain. (2010:106) Perhatikan // mata air airmata kami//airmata tanah air kami// penyatuan kata air dan mata secara gramatika jelas tidak lazim. Inilah karakter Tarji. Meskipun akhirnya kita mengetahui bahwa penggabungan itu mengintensifkan makna begitu beratnya nestapa yang dirasakan.                                                          
//tanah airmata tanah tumpah darahku//mata air airmata kami//airmata tanah air kami// Bait ini memberikan sebuah prolog akan sebuah wilayah atau daerah. Jika lebih kita intensifkan berarti tanah air kita (Indonesia). Indonesia sebagai tumpah darah dirasakan enyair sebagai tanah air mata. Air mata dapat kita interprestasikan sebuah kebahagiaan atau sebuah kesediaan. Jika kesediaan berarti tanah air kita penuh dengan kesediaan. /mata air/ mata air adalah sebuah tempat yang mengeluarkan air. Intensitas makna bahwa negeri ini belum memberikan rasa bahagia kepada rakyatnya, sebaliknya malah bagaikan mata air kesediaan. Kesediaan terus menerus datang bagaikan mata air. Sebuah majas perbandingan dan hiperbola dapat memunculkan rasa tertentu kepada pembaca. Bait ini diakhiri dengan //airmata tanah air kami//. Perhatikan gaya Tarji yang merangkaikan kata air dan mata. Perangkaian ini menawarkan sebuah makna tentang begitu dalamnya kesediaan negeri ini. Di samping hal tersebut baris ini tampak menawarkan sebuah awal pemaparan, deskripsi maupun naratif akan sebuah kesediaan di negeri ini.
Bait kedua //di sinilah kami berdiri//menyanyikan airmata kami// bait ini menunjukkan keberadaan masyarakat yang hidup di sebuah negeri. Baris ini mengingatkan kita pada baris mars // di sana tempat lahir beta//, berarti sebuah pengakuan keberadaan sebuah negeri. Masyarakat yang hidup dalam negeri penuh dengan kesediaan. Ada kesan paradoks ketika masyarakat menyanyikan air mata. Kesedihan mungkin sudah begitu akrab dalam kehidupan. Pemilihan kata menyanyikan memunculkan nuansa kepasrahan akan nasib, tanpa sebuah pemberontakan..
//di balik gembur subur tanahmu//kami simpan perih kami//di balik etalase megah gedung-gedungmu//kami coba sembunyikan derita kami. Bait ini kembali menyajikan sebuah paradoks kehidupan masyarakat. Bahkan lebih garang. Penyair menyampaikan bahwa kepedihan masyarakat tidak ditangkap dengan arif dan bijak. Negeri yang makmur ini belum diolah secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat. Tampilan kemegahan dan kebesaran sebagai kamuflase dari penderitaan rakyatnya. Tetapi sekali lagi terdapat kesan kepasrahan, jauh dari semangat protes apalagi pembangkangan. Perhatikan //kami coba sembunyikan derita kami// baris ini memberikan nada kepasrahan.
Nuansa perlawanan akhirnya muncul juga. //kami coba simpan nestapa//kami coba kuburkan dukalara// Sifat memendam ketertindasan dan penderitaan hanyalah mencoba. Sebuah percobaan berarti bukan sebuah pilihan hidup. //tapi perih tak bisa sembunyi//ia merebak kemanamana// Ketika rasa menekan kepedihaan dan ketertindasan itu sudah demikian berat masyarakat akan memberanikan diri untuk melawan. Bentuk perlawanan itu bermuara pada sebuah dendam. Tampak ada sebuah klimaks emosi yang begitu kuat. Dendam itu menjadi semakin meluas kewilayahannya, //bumi memang tak sebatas pandang//
dan udara luas menunggu//namun kalian takkan bisa menyingkir//. Tampaknya kemarahan itu mulai ditujukkan kepada pelaku-pelaku penindasan dan penyebab penderitaan. Ada semangat luar biasa untuk tetap meminta pertanggungjawaban. Bahkan kemanapun mereka pergi harus tetap bertanggung jawab.
Nada dan rasa dendam mampu Tarji bangkitkan dengan pengulangan-pengulangan sebagaimana disampaikan Herman J Waluyo di atas. Selaras dengan  apa yang disampaikan oleh Mursal Esten, Sutarji menghadirkan puisi yang menghasilkan musikalitas bunyi, dengan unsur ini akan terbangun suasana. Kata dan konstruksi terlepas dari kelaziman (1987:82).Hal tersebut dapat kita temukan dalam baris-baris//ke mana pun melangkah//kalian pijak airmata kami//. Kewilayahan pencarian melewati darat dengan kata /melangkah/ sebagai pemantik awal sebuah emosi. Emosi yang menujukkan sebuah kemarahan mulai dibangun dengan kata /melangkah/. //ke mana pun terbang//kalian kan hinggap di airmata kami//ke mana pun berlayar //kalian arungi airmata kami// Kata melangkah, terbang, berlayar menghadirkan cakrawala seting tempat yang begitu luas. Namun kekuatan nada kemarahan terbangun dari aliterasi secara sempurna dari / ke mana pun/ dan /airmata kami/.
Puisi ini diakhiri dengan bait
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Jika bait pertama sebagai prolog, tampaknya akhir puisi ini benar-benar menunjukkan sebuah ending dari sebuah penjelasan, deskripsi ataupun narasi. Penyair menetralkan emosi dengan keberhasilan menangkap penyebab penidasan dan penderitaan. Sebuah harapan luar biasa akan bentuk penyadaran perilaku. Secara tematis benar apa yang dsampaikan Ikranegara bahwa Tarji tidak terseret dalam propaganda politik dan keberpihakan. Puisi ini mengahadirkan tentang penyadaran kehidupan secara komprehensif. Penyair berharap agar mereka mau mengerti pada /kedalaman air mata/. Dengan demikian apapun usaha mereka dan perilaku mereka sebaiknya diarahkan pada usaha mengentaskan sebuah penderiaan. Negeri ini tak lagi sebagai mata air airmata.
Apa yang kita lihat dari puisi Tanah Air Mata dari segi bentuk memang sangat berbeda dengan puisi-puisi Tarji sebelumnya. Menganalisis struktural puisi tak lepas dari unsur aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metafora dan metonomi. Sehingga ada sajak yang menonjol dalam aspek bunyi, struktur sintaksis, atau majas (figure of speech) demikian menurut Teuuw (Sastra dan  Ilmu Sastra, 1984: 136-137). Sedangkan Luxemburg secara structural terdapat berbagai pola makna khas dalam puisi berdasarkan bentuk sajak. Pola itu meliputi: semantik sajak, bahasa kiasan (metafora, perumpamaan, metonomia, sinedoke, lambang) dan pengungkapan tidak langsung Versifikasi meliputi: sajak suku kata, irama, rima, skema rima dan bait (1984: 185-190) Wellek dan waren (1989) dalam Retno Winarni menyatkan bahwa puisi mempunyai beberapa strata norma(lapis, unsur) yaitu (1) lapis bunyi, misalnya bunyi atau suara dalam kata, frase, kalimat, (2) lapis arti , arti-arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku dunia pengarang (Kajian Sastra, 2009:97)
Kekhasan Struktur puisi Sutardji akhirnya menghadirkan penyimpangan bahasa. Menurut Geoffry (Waluyo, 1987) ada Sembilan jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi, yaitu:(1) penyimpangan leksikal (2) penyimpangan semantic (3) penyimpangan fonologi (4) penyimpangan morfologis (5) penyimpangan sintaksis (6) penggunaan dialek (7) penggunaan register (8) penyimpangan histris (9) penyimpangan grafologis, Wahyudi Siswanto (2008:116) Sedangkan A. Teeuw menyatakan penyimpangan akan terjadi dalam bidang semantic (metafora dll.) bunyi (rima, aliterasi), Sintatik. Tetapi kelonggaran ini ada batasnya yaitu komunikasi (1983:149) Riffaterte (1978:2) dalam Retno Winarni menyampaikan adanya tiga bentuk penyimpangan yaitu ambiguitas, kontradiksi dan nonsense (2009:116)
Penyimpangan yang terjadi dalam puisi Sutardji selama ini tampak begitu kompleks. Penyimpangan itu terjadi dalam semua aspek kebahasaan dan aspek bentuk. Meskipun demikian dalam konteks penggunaan bahasa masih ada daya komunikasi. Kontens komunikasi ini kita dapatkan bahwa sebebas apapun penyair berekspresi tetap saja menggunakan medium bahasa yaitu kata. Selain itu kata-kata secara leksikal tidak bermakna secara konvensi sastra akan menghadirkan makna tertentu. Sutardji dalam kredo puisinya menyatakan tidak membebani kata dengan  dengan makna, Teuuw menginterprestasikan bahwa (1) kata tetaplah alat, (2) kata tanpa pengertian tidak mungkin (Tergantung Pada Kata, 1983:147). Tetapi penyimpangan tersebut tidak mencolok dalam puisi Tanah Air Mata. Terlepas dalam segi bentuk kompetensi Tarji menampilkan nada, irama dan imaji yang membangkitkan rasa haru, kasihan, emosi dan marah begitu terasa.
 

2 komentar: