Tanah
Air Mata
tanah
airmata tanah tumpah darahku
mata
air airmata kami
airmata
tanah air kami
di
sinilah kami berdiri
menyanyikan
airmata kami
di
balik gembur subur tanahmu
kami
simpan perih kami
di
balik etalase megah gedung-gedungmu
kami
coba sembunyikan derita kami
kami
coba simpan nestapa
kami
coba kuburkan dukalara
tapi
perih tak bisa sembunyi
ia
merebak kemanamana
bumi
memang tak sebatas pandang
dan
udara luas menunggu
namun
kalian takkan bisa menyingkir
ke
mana pun melangkah
kalian
pijak airmata kami
ke
mana pun terbang
kalian
kan hinggap di airmata kami
ke
mana pun berlayar
kalian
arungi airmata kami
kalian
sudah terkepung
takkan
bisa mengelak
takkan
bisa kemana pergi
menyerahlah
pada kedalaman air mata kami
Sutardji Calzum Bachri, ( Horison, 1998:14)
Sutardji Calzum Bachri
terkenal dengan kredo puisinya “kata-kata
bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata saya biarkan bebas bergairah membelah dirinya, menyatukan dengan
yang lain. Kata mampu membentuk pengertiannya sendiri, dan mendapatkan
aksentuasi yang maksimal” (O Amuk Kapak,2002:4-5)
Pernyataan demikian dapat kita interprestasikan adanya ketidaklaziman dalam
pemakaian bahasa pada umumnya. Selama ini Tarji memang identik dengan
puisi-puisi kontemporer. Sebuah puisi yang begitu bebas dalam memakai bahasa,
puisi dengan tipografi, serta lepas dari konvensi bentuk puisi. Tetapi jika
kita cermati diksi Tarji dalam Tanah Air
Mata tidak melepas kata-kata yang tanpa makna. Kata-kata yang dipilih
semuanya mempunyai makna secara leksikal. Bentuk puisi normatif terlihat dalam
penyusunan baris dan bait, serta tidak tampak tipografi yang mencolok. Kita
dapat membandingkan dengan Tragedi Winka
dan Sihka misalnya.
Puisi Tanah Air Mata di atas adalah salah satu
puisi Tarji yang dihasilkan setelah kumpulan puisi O, Amuk Kapak. Ikranegara menyampaikan puisi-puisi yang terkumpul
dalam O, Amuk Kapak menampilkan
potret anak manusia sebagai pribadi secara umum. Sedangkan puisi setelah itu
potret manusia adalah masyarakat. Malah terdapat pesan moral. Namun bagaimana
pun, puisinya tidak jatuh jadi pamlet politik. Ini berhasil dilakukan berkat
pengolahan yang ekstra awas terhadap bahasa dan imajinasinya, pemihakkanya pada
kehidupan bersama. (Horizon, Mei,1998:
14) Selepas, O Amuk Kapak sajak
Sutardji lain dari sajak-sajak sebelumnya. Sajak-sajaknya kembali konvensional
dengan gaya persajakan yang lazim, namun tetap memiliki kekhasan, Agus S
Sarjono (Horison, September, 2004:9)
Dapat kita nyatakan bahwa meskipun terdapat pergeseran eksistensi kekaryaan
Tarji, dalam puisi di atas masih kita temukan kekhasan sosok Tarji.
Kebebasan seorang
penyair dalam mengekspresikan diri memang tampak begitu mencolok. Kebebasan itu
terutama dalam pemenggalan kata, bunyi dan gambar, struktur demikian
menghadirkan kesan eksotik. Selama ini membaca puisi Tarji pasti akan kita
temukan sebuah eksotik tipografi. Terkait dengan puisi tentu saja keindahan
yang menghasilkan sejumlah makna. Tipografi merupakan aspek bentuk visual yang berupa tata hubungan dan tata baris,
Suminto A. Sayuti (2008:329).
Herman J. Waluyo
menyampaikan bahwa Sutardji menempatkan unsure fisik (bunyi) dalam urutan
terpenting. Pengulangan kata, frasa dan bunyi adalah kekuatan puisinya
(2010:21) Tarji menyajikan bunyi-bunyi yang diwujudkan dengan kata /air/
/mata/ secara intens pada bait pertama.
Pengulangan ini mampu menghasilkan kekuatan efek rasa pada pembaca akan makna
sebuah lautan duka dan kesedian. Meskipun secara gramatikal jelas tidak mampu
menghasilkan makna. Meskipun demikian eksistensi bunyi dalam puisi di atas
mampu menghasilkan efek estetika terhadap puisi secara maksimal. Sebagaimana
disampaikan Luxemburg menyikapi puisi
Sutarji tak lepas dari unsur bunyi. Bunyi mempunyai simbolik sehingga dengan
bunyi-bunyi dapat diciptakan suasana, perasaan dan kesan tertentu. Meskipun
bunyi tidak mempunyai arti sebelum dalam bentuk kata (op cit: 193)
Menurut Rachmat Djoko
Pradopo, Sutardji banyak sekali menggunakan penyimpangan dari tatabahasa
normatif untuk menghasilkan arti baru atau ekspresivitas. Penyimpangan tersebut
terjadi pada penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata,
penggandengan kata, penghilangan imbuhan pembentukan jenis kata lain.
(2010:106) Perhatikan // mata air airmata kami//airmata tanah air kami// penyatuan
kata air dan mata secara gramatika jelas tidak lazim. Inilah karakter Tarji.
Meskipun akhirnya kita mengetahui bahwa penggabungan itu mengintensifkan makna
begitu beratnya nestapa yang dirasakan.
//tanah airmata tanah
tumpah darahku//mata air airmata kami//airmata tanah air kami// Bait ini
memberikan sebuah prolog akan sebuah wilayah atau daerah. Jika lebih kita
intensifkan berarti tanah air kita (Indonesia). Indonesia sebagai tumpah darah
dirasakan enyair sebagai tanah air mata. Air mata dapat kita interprestasikan
sebuah kebahagiaan atau sebuah kesediaan. Jika kesediaan berarti tanah air kita
penuh dengan kesediaan. /mata air/ mata air adalah sebuah tempat yang
mengeluarkan air. Intensitas makna bahwa negeri ini belum memberikan rasa
bahagia kepada rakyatnya, sebaliknya malah bagaikan mata air kesediaan.
Kesediaan terus menerus datang bagaikan mata air. Sebuah majas perbandingan dan
hiperbola dapat memunculkan rasa tertentu kepada pembaca. Bait ini diakhiri
dengan //airmata tanah air kami//. Perhatikan gaya Tarji yang merangkaikan kata
air dan mata. Perangkaian ini menawarkan sebuah makna tentang begitu dalamnya
kesediaan negeri ini. Di samping hal tersebut baris ini tampak menawarkan
sebuah awal pemaparan, deskripsi maupun naratif akan sebuah kesediaan di negeri
ini.
Bait kedua //di sinilah
kami berdiri//menyanyikan airmata kami// bait ini menunjukkan keberadaan
masyarakat yang hidup di sebuah negeri. Baris ini mengingatkan kita pada baris
mars // di sana tempat lahir beta//, berarti sebuah pengakuan keberadaan sebuah
negeri. Masyarakat yang hidup dalam negeri penuh dengan kesediaan. Ada kesan
paradoks ketika masyarakat menyanyikan air mata. Kesedihan mungkin sudah begitu
akrab dalam kehidupan. Pemilihan kata menyanyikan memunculkan nuansa kepasrahan
akan nasib, tanpa sebuah pemberontakan..
//di balik gembur subur
tanahmu//kami simpan perih kami//di balik etalase megah gedung-gedungmu//kami
coba sembunyikan derita kami. Bait ini kembali menyajikan sebuah paradoks
kehidupan masyarakat. Bahkan lebih garang. Penyair menyampaikan bahwa kepedihan
masyarakat tidak ditangkap dengan arif dan bijak. Negeri yang makmur ini belum
diolah secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat. Tampilan kemegahan dan
kebesaran sebagai kamuflase dari penderitaan rakyatnya. Tetapi sekali lagi
terdapat kesan kepasrahan, jauh dari semangat protes apalagi pembangkangan.
Perhatikan //kami coba sembunyikan derita kami// baris ini memberikan nada
kepasrahan.
Nuansa perlawanan
akhirnya muncul juga. //kami coba simpan nestapa//kami coba kuburkan dukalara//
Sifat memendam ketertindasan dan penderitaan hanyalah mencoba. Sebuah percobaan
berarti bukan sebuah pilihan hidup. //tapi perih tak bisa sembunyi//ia merebak
kemanamana// Ketika rasa menekan kepedihaan dan ketertindasan itu sudah
demikian berat masyarakat akan memberanikan diri untuk melawan. Bentuk
perlawanan itu bermuara pada sebuah dendam. Tampak ada sebuah klimaks emosi
yang begitu kuat. Dendam itu menjadi semakin meluas kewilayahannya, //bumi
memang tak sebatas pandang//
dan udara luas menunggu//namun kalian
takkan bisa menyingkir//. Tampaknya kemarahan itu mulai ditujukkan kepada
pelaku-pelaku penindasan dan penyebab penderitaan. Ada semangat luar biasa
untuk tetap meminta pertanggungjawaban. Bahkan kemanapun mereka pergi harus
tetap bertanggung jawab.
Nada dan rasa dendam
mampu Tarji bangkitkan dengan pengulangan-pengulangan sebagaimana disampaikan
Herman J Waluyo di atas. Selaras dengan
apa yang disampaikan oleh Mursal Esten, Sutarji menghadirkan puisi yang
menghasilkan musikalitas bunyi, dengan unsur ini akan terbangun suasana. Kata
dan konstruksi terlepas dari kelaziman (1987:82).Hal tersebut dapat kita
temukan dalam baris-baris//ke mana pun melangkah//kalian pijak airmata kami//.
Kewilayahan pencarian melewati darat dengan kata /melangkah/ sebagai pemantik
awal sebuah emosi. Emosi yang menujukkan sebuah kemarahan mulai dibangun dengan
kata /melangkah/. //ke mana pun terbang//kalian kan hinggap di airmata kami//ke
mana pun berlayar //kalian arungi airmata kami// Kata melangkah, terbang,
berlayar menghadirkan cakrawala seting tempat yang begitu luas. Namun kekuatan
nada kemarahan terbangun dari aliterasi secara
sempurna dari / ke mana pun/ dan /airmata kami/.
Puisi ini diakhiri
dengan bait
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Jika bait pertama sebagai prolog, tampaknya
akhir puisi ini benar-benar menunjukkan sebuah ending dari sebuah penjelasan,
deskripsi ataupun narasi. Penyair menetralkan emosi dengan keberhasilan
menangkap penyebab penidasan dan penderitaan. Sebuah harapan luar biasa akan
bentuk penyadaran perilaku. Secara tematis benar apa yang dsampaikan Ikranegara
bahwa Tarji tidak terseret dalam propaganda politik dan keberpihakan. Puisi ini
mengahadirkan tentang penyadaran kehidupan secara komprehensif. Penyair
berharap agar mereka mau mengerti pada /kedalaman air mata/. Dengan demikian
apapun usaha mereka dan perilaku mereka sebaiknya diarahkan pada usaha
mengentaskan sebuah penderiaan. Negeri ini tak lagi sebagai mata air airmata.
Apa yang kita lihat
dari puisi Tanah Air Mata dari segi
bentuk memang sangat berbeda dengan puisi-puisi Tarji sebelumnya. Menganalisis
struktural puisi tak lepas dari unsur aliterasi, asonansi, rima akhir, rima
dalam, inverse sintaksis, metafora dan metonomi. Sehingga ada sajak yang
menonjol dalam aspek bunyi, struktur sintaksis, atau majas (figure of speech) demikian menurut Teuuw (Sastra dan Ilmu Sastra, 1984: 136-137). Sedangkan Luxemburg secara structural terdapat
berbagai pola makna khas dalam puisi berdasarkan bentuk sajak. Pola itu
meliputi: semantik sajak, bahasa kiasan (metafora, perumpamaan, metonomia,
sinedoke, lambang) dan pengungkapan tidak langsung Versifikasi meliputi: sajak
suku kata, irama, rima, skema rima dan bait (1984: 185-190) Wellek dan waren (1989) dalam Retno Winarni menyatkan bahwa puisi mempunyai
beberapa strata norma(lapis, unsur) yaitu (1) lapis bunyi, misalnya bunyi atau
suara dalam kata, frase, kalimat, (2) lapis arti , arti-arti dalam fonem, suku
kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang
dikemukakan seperti latar, pelaku dunia pengarang (Kajian Sastra, 2009:97)
Kekhasan Struktur puisi
Sutardji akhirnya menghadirkan penyimpangan bahasa. Menurut Geoffry (Waluyo, 1987) ada Sembilan
jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi, yaitu:(1)
penyimpangan leksikal (2) penyimpangan semantic (3) penyimpangan fonologi (4)
penyimpangan morfologis (5) penyimpangan sintaksis (6) penggunaan dialek (7)
penggunaan register (8) penyimpangan histris (9) penyimpangan grafologis,
Wahyudi Siswanto (2008:116) Sedangkan A. Teeuw menyatakan penyimpangan akan
terjadi dalam bidang semantic (metafora dll.) bunyi (rima, aliterasi),
Sintatik. Tetapi kelonggaran ini ada batasnya yaitu komunikasi (1983:149) Riffaterte (1978:2) dalam Retno Winarni
menyampaikan adanya tiga bentuk penyimpangan yaitu ambiguitas, kontradiksi dan nonsense
(2009:116)
Penyimpangan yang
terjadi dalam puisi Sutardji selama ini tampak begitu kompleks. Penyimpangan
itu terjadi dalam semua aspek kebahasaan dan aspek bentuk. Meskipun demikian
dalam konteks penggunaan bahasa masih ada daya komunikasi. Kontens komunikasi
ini kita dapatkan bahwa sebebas apapun penyair berekspresi tetap saja
menggunakan medium bahasa yaitu kata. Selain itu kata-kata secara leksikal
tidak bermakna secara konvensi sastra akan menghadirkan makna tertentu.
Sutardji dalam kredo puisinya menyatakan tidak membebani kata dengan dengan makna, Teuuw menginterprestasikan bahwa (1) kata tetaplah alat, (2) kata
tanpa pengertian tidak mungkin (Tergantung
Pada Kata, 1983:147). Tetapi penyimpangan tersebut tidak mencolok dalam
puisi Tanah Air Mata. Terlepas dalam
segi bentuk kompetensi Tarji menampilkan nada, irama dan imaji yang
membangkitkan rasa haru, kasihan, emosi dan marah begitu terasa.
Pak Sugiyanto apa sudah menerbitkan sebuah Buku? ingin tahu judulnya kalau sudah? salam Bapak.
BalasHapusBagus, Pak.
BalasHapus