Kamis, 06 Oktober 2016

Artikel Pendidikan judul Desentralisasi Pendidikan Disintegrasi Bangsa? Oleh: Sugiyanto



Desentralisasi Pendidikan Disintegrasi Bangsa?
Oleh: Sugiyanto
Negara kita memiliki wilayah kepulauan. Bentangan kepulauan membujur dari Sabang sampai Merauke. Negara ini memiliki tekstur geografis yang sangat beragam..  Mulai daerah yang mudah terjangkau komunikasi sampai daerah-daerah timur yang cukup terisoler. Daerah yang subur sampai daerah yang sangat tandus. Kebhinekaan itu semakin dilengkapi dengan beragamnya agama dan kepercayaan masyarakat. Demikian juga SDM mungkin terdapat kesenjangan yang cukup signifikan, antara daerah satu dengan yang lainnya. Negara kita terlalu lama hidup dalam tirani penjajah. Kondisi bangsa dan negara yang demikianlah memerlukan sebuah pengikat sehingga memunculkan integrasi bangsa. Perekat-perekat kemajemukan bangsa kita diantaranya: bahasa Indonesia, bendera negara, semangat Bhineka Tunggal Ika dan tentu saja UUD 45 dan sebagainya. Usia bangsa ini belum dapat dikatakan dewasa dalam tataran sebuah proses pemersatuan bangsa. Tentu saja masih diperlukan adanya perekat-perekat lain yang menjamin keberlangsungan persatuan bangsa ini.
Salah satu perekat itu adalah pendidikan. Munculnya wacana desentralisasi perlu terkawal dengan optimal agar tidak terjerumus dalam desintegrasi bangsa. Tidak terkecuali desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan seakan telah melenceng.  Semula disentralisasi ini memang untuk memudahkan asdministratif sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikkan akhirnya malah memperunyam masalah pendidikan. Menurut hemat penulis tidak hanya tersesat tapi menurunkan mutu pendidikan bahkan berimbas pada disintegrasi bangsa.
Pengelolaan pendidikan tidak sama dalam mengelola sumber daya alam, pertanian dan sumber PAD daerah lainnya. Pendidikan jelas tidak menghasilkan PAD. Penanganan pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebab itulah banyak daerah yang tidak memberikan perhatian serius pada biaya pendidikan. Pembiayaan sekolah menengah atas khususnya seakan dibiarkan hidup sendiri. Pemerintah daerah tidak perlu memberikan anggaran terkait operasional pendidikan. Lebih parah lagi jika otonom sekolah terkait kurikulum dan mekanisme pembelajaran juga dikaitkan dengan nuansa politis dan kekerabatan. Bahkan selama ini pemerintah ataupun lembaga survey yang lain belum mengadakan jajag pendapat kepada praktisi pendidikan (guru) terkait pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Semua kebijakan seakan begitu saja diterima oleh ujung tombak pendidikan ini. Padahal semua perlu evaluasi dan peninjauan. Evaluasi program adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab sebuah generasi kebijakan dan gagasan yang diluncurkan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan bukan hanya tersesat tetapi merupakan embrio desintegrasi bangsa. Keberagaman pengelolaan kebijakan pendidikan antar satu daerah dengan daerah yang lain memunculkan rasa perbedaan. Membiarkan perbedaan tanpa solusi jelas memantik jentik-jentik disintegrai. Nuansa disintegrasi ini dapat kita lihat dari beberapa hal: perekrutan guru, peningkatan mutu guru, manajerial sekolah, pengawas  pendidikan, kontrol mutu pendidikan.
Perekrutan guru secara sentraliasai akan menjamin mutu secara nasional. Penerimanaan guru secara nasional akan mampu ini menghasilkan guru berstandar nasional. Penempatan guru-guru dari satu daerah ke daerah lain menjamin sebuah akulturasi bangsa yang luar biasa. Guru-guru akan memberikan warna dalam semangat nasionalisme. Sebelum pelaksanaan desentralisasi proses ini berjalan dengan penuh keharmonisan.
Sebaliknya penerimaan guru dalam semangat desentrlisasi kita cermati meskipun melalui jalur test kemungkinan tingginya factor KKN luar biasa. Penerimaan demikian memang sangat jauh dari mutu guru. Kemudian model magang, sebelum mereka menamatkan S! calon guru ini magang di sebuah sekolah. Uniknya proses magang ini tanpa melihat factor ijazah, tapi hanya melalui jalur kekerabatan. Penempatan guru-guru ini juga dalam lingkup daerah mereka. Proses demikian akan menghasilkan guru-guru berwawasan kedaerahan. Semangat nasionalisme tergantikan dengan semangat kedaerahan.
 Bagaimana peningkatan mutu guru? Desentralisasi membuat sedikitnya berbagai pelatihan tingkat nasional. Kondisi demikian bagi daerah perkotaan dengan stakeholder pendidikan yang memadai tidak ada masalah. Bagaimana dengan daerah-daerah dengan stakeholder pendidikan yang hanya berbicara dan mengkritik. Pertanyaan kita benarkah desentralisasi akan menjamin mutu pendidikan? Atau memang benar pernyataan Saratri bahwa desentralisasi pendidikan menyesatkan.
Kurangnya pelatihan guru tingkat nasional, ditambah malasnya daerah membiayai peningkatan mutu, seakan menghasilkan nuansa mau dibawa kemana mutu pendidik kita. Banyak Dinas pendidikan dengan semangat desentralisasi ini yang tidak menganggarkan sepereserpun untuk peningkatan mutu guru. Tinjauhan penghematan anggaran lebih utama dari pada meningkatkan SDM guru. Apalagi pemahaman akan spectrum kemajuan pendidikan di wilayahnya.
Desentralisasi memungkinkan setiap daerah menerjemahkan peraturan atau perundangan dengan cara berbeda. Jika Saratri mengisaratkan bahwa jabatan kepala Dinas Pendidikan sarat dengan nuansa politik. Terkait jabatan kepala sekolah juga dimaknai berbeda. Banyak daerah menetapkan jabatan kepala sekolah sampai usia pensiun bahkan seumur hidup. Sementara daerah lain sudah menetapkan regulasi empat tahunan.
 Mutu kepala sekolah banyak diukur dengan makna kekerabatan dan makna politis daripada kompetensi mereka. Penilian kinerja kepala sekolah kadang hanya sekedar isu tanpa makna secara nasional. Proses Rekrutmen kepala sekolah mungkin juga tidak jauh berbeda dengan nuansa KKN. Hasilnya jelas kepala sekolah yang mengabdi pada pejabat yang mengangkat bukan mengabdi pada pendidikan secara nasional. Mungkin tidak sedikit juga mekanisme demikian menghasilkan kepala sekolah yang tidak memahami standard nasional pendidikan.  
Keberadaan seorang manajer sekolah jelas sebagai jaminan peningkatan mutu, rekrutmen dan kontrol terhadap mereka selayaknya pada tataran nasional. Jangan menempatkan kepala sekolah yang hanya sebatas pesanan dan titipan. Rekrutmen Kepala Sekolah secara sentralisasi mungkin akan mengurangi nuansa KKN, dan sekali lagi akan bermakna dalam menanggulangi krisis disintegrasi bangsa. Demikian juga dengan pengawas Pendidikan, mulai jumlah pengawas dan mekanisme perekrutan ada berbagai keberagaman. Kepengawasan pendidikan sentralisistik akan menghasilkan mutu pendidikan yang lebih terjamin secara nasional. Belum lagi bagaimana dengan kontrol mutu para birokrat pendidikan.
 Jika pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru, serta birokrasi pendidikan mereka bukan lagi dihasilkan oleh proses berwawasan kebangsaan, bagaimana dengan peserta didik? Hilangnya simbol-simbol, dan nuansa-nuansa nasionalisme yang bergeser pada semangat kedaerahan membuat peserta didik kehilangan cermin nasionalisme. Sebelum semua terjadi proses sentralisasi pendidikan tidak sekedar diperlukan tetapi secepatnya dilaksanakan.

Sugiyanto, Guru SMAN 1 Pulung, Ponorogo

2 komentar:

  1. artikel yang Bagus... tetapi haruskah murid juga berperan dalam hal ini ?? salam Bapak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf sebelumnya, itu adalah sebuah kebijakan dan murid tidak berperan dalam hal itu. terima kasih sudah berkenan membaca.

      Hapus