Selasa, 11 Oktober 2016

Artikel berjudul Keluarga dan Spiritual pendidikan



Keluarga dan Spiritulitas Pendidikan
Oleh:Sugiyanto

Hiruk-pikuk penerimaan siswa baru (PPDB) hari ini (Sabtu, 2 Juli 2016) memasuki pengumuman seleksi. Bermacam cara dan usaha ditempuh orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya. Berbagai kalangan masyarakat memfokuskan keluarganya dalam mencari sekolah. Masyarakat (keluarga) percaya bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan harapan akan masa depan. Apalagi bagi keluarga kurang mampu. Dapat diamati bagaimana keluarga kurang mampu begitu berharap pada pendidikan. Mungkin mereka memahami bahwa pendidikanlah yang memutus rantai kemiskinan ekonomi, religius, sosial dan budaya. Akhirnya, orang tua membanting tulang dan mempertaruhkan semuanya untuk pendidikan anaknya.
Semangat dan motivasi orang tua tersebut menjadi sebuah perilaku dalam mencapai kesuksesan pendidikan anaknya. Sebagaimana disampaikan Seginer bahwa konteks kinerja dalam mencapai masa depan  meliputi tiga komponen yaitu motivasi, kognisi, dan representasi tingkah laku. Perilaku orang tua dalam mewujudkan mimpi melalui pendidikan anaknya melahirkan sebuah spiritualitas. Dengan begitu, spiritualitas pendidikan merupakan semangat rohani-jiwa terkait pendidikan. Kontens spiritual pendidikan adalah nilai-nilai keteladanan, keikhlasan, kejujuran, ketulusan, kepedulian, kesabaran, keberanian, loyalitas, kerendahan hati, dan empati. Beberapa deskripsi berikut mungkin dapat menunjukkan makna spiritualitas tersebut.
Sebuah keluarga dengan ayah bekerja sebagai pencari rongsok dan ibu yang di rumah. Karena tiba-tiba ibunya jatuh sakit, anak mereka yang saat itu duduk di bangku SMA memutuskan menjadi pembantu rumah tangga. Anak ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Berkat pendekatan sekolah, anak ini akhirnya bisa bersekolah. Setelah lulus SMA diterima di sebuah perguruan tinggi pavorit di Jawa Timur. Bapak pencari rosok ini begitu berbinar dan bersemangat melihat kenyataan ini. Liku dan beban hidup seakan terbayar dengan pendidikan anaknya.
Contoh dua, ada seorang siswa mempunyai peringkat di sekolah. Bapaknya sebagai kuli bangunan dan ibunya pembantu rumah tangga. Sekolah mengharapkan anak ini bisa berkuliah namun orang tuanya mengancam guru bila menyarankan kuliah pada anaknya. Setelah ujian selesai, dengan berbagai usaha dan pendekatan sekolah, orang tua itu mengizinkan anaknya berkuliah. Akhirnya anak ini diterima di sebuah perguruan tinggi. Sebuah energy positif luar biasa, ketika keluarga sederhana ini rela meninggalkan rumah mereka dan mencari kerja di kota terdekat dengan kampus anaknya. Ibunya tetap menjadi pembantu rumah tangga dan bapaknya tetap menjadi kuli bangunan. Pelajaran sederhana bagaimana keluarga ini memaknai sebuah pendidikan.
Ketiga, Siswa dari keluarga sederhana ini mungkin tidak menyangka bersekolah. Betapa tidak selama bersekolah dia harus berjalan kaki beberapa kilo meter sampai ke tempat angkutan umum. Jangankan sepeda motor, telepon genggam termurah saja tidak dimiliki. Namun semangat bersekolah menghantarkan dia diterima di sebuah PTN. Keputusan orang tua yang mendukung berkuliah, diimbangi oleh seorang bapak yang buruh tani ini untuk semakin giat bekerja. Semula hanya memelihara satu ekor sapi tetantangganya (bhs jawa:gaduh) diputuskan untuk menambah jumlah sapi. Luar biasa lagi ketika anak ini pulang dia rela bekerja di sawah milik orang lain demi pendidikannya. Sebuah spiritualitas pendidikan keluarga yang begitu dahsyat.
Bekerja sebagi pengumpul batu kali berapa yang di dapat. Tentu penghasilannya sekedar cukup untuk makan, mungkin malah kurang. Tetapi mengapa ketika anaknya diterima di perguruan tinggi keluarga ini tidak menolak. Jika terpikirkan bagaimana beban ini dapat ditanggungnya. Namun semangat anak dan bapak telah menjadi energy tersendiri dalam memaknai arti pendidikan. Akhirnya sungai dan batu kali inilah yang menjadi sumber penghasilan. Si anak jika pulang libur kuliah pasti berada di tepi sungai apalagi bapaknya. Mutiara-mutiara keluarga itu membangun sebuah spritualitas pendidikan yang luar biasa.
Pada sisi lain tentu spiritualitas pendidkan dengan makna berbeda berlaku bagi keluarga berpendidikan menengah dan tinggi. Keluarga demikian secara intens akan memberikan gambaran tentang pendidikan. Anak sudah mempunyai wawasan pendidikan berbagai jenjang sejak dari rumah. Belum lagi anak-anak pejabat yang dapat menikmati pendidikan. Mereka dapat bersekolah atau berkuliah dimanapun. Dalam arti, secara geografis dapat memilih studi baik di luar kota maupun luar negeri. Mereka dengan mudah memperoleh fasilitas pendidikan. Mereka mendapat fasilitas melebihi dari percepatan usia. Prasarana seperti mobil, rumah, dan berbagai kemewahan. Meskipun demikian, jika keluarga tidak memiliki atau memaknai spiritualitas pendidikan dengan baik, belum menjamin mencapai keberhasilan. Permasalahannya dimana nilai spriritualitas  pendidikan itu dimiliki sebuah keluarga?
Pertama nilai-nilai keteladanan, dalam arti keluarga (orang tua) memberikan teladan sebuah kegigian dalam mencapai keberhasilan pendidikan.  Orang tua memberikan contoh bahwa kerja keras dan pantang menyerah adalah salah satu kunci keberhasilan pendidikan.
Kedua keikhlasan, keluarga telah dengan ikhlas menyertakan kehidupan sosial ekonominya demi pendidikan anak. Tentu saja keikhlasan ini akan menjadi cambuk bagi anak untuk berbuat serupa. Keikhlasan dalam belajar dan memolakan kehidupan di masyarakat. Berikutnya kejujuran, penanaman sifat jujur pada anak akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dan berpola pikir lebih realitas. Orang tua tidak menutupi keterbatasan ekonomi dan pendidikan pada anak. Akhirnya membangun sikap tanggung jawab untuk berjuang dalam pendidikan mereka. Ketulusan, kepedulian, kesabaran orang tua dalam menemani anak ketika menempuh pendidikan memberikan dorongan psikologis dalam mencapai kesuksesan pendidikan. Dengan keberanian, loyalitas, kerendahan hati, dan empati sebuah keluarga akan mendorong anaknya untuk berani menghadapi tantangan pendidikan.
Akhirnya tentu saja spiritualitas pendidikan keluarga itu harus seiring dengan berbagai stake holder pendidikan. Nilai-nilai spiritualitas pendidikan itu harus dimiliki juga oleh guru, kepala sekolah, masyarakat, dinas pendidikan, pemerintah dan wakil rakyat. Disadari bersama bahwa jangan menyelenggarakan dan melihat pendidikan sebatas financial efect. Selamat datang siswa baru. Percalah spitualitas pendidikan keluargamu akan mensukseskan mimpimu.
*Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Pulung Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar