Keluarga dan
Spiritulitas Pendidikan
Oleh:Sugiyanto
Hiruk-pikuk penerimaan siswa baru
(PPDB) hari ini (Sabtu, 2 Juli 2016) memasuki pengumuman seleksi. Bermacam cara
dan usaha ditempuh orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya. Berbagai
kalangan masyarakat memfokuskan keluarganya dalam mencari sekolah. Masyarakat
(keluarga) percaya bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan harapan akan masa
depan. Apalagi bagi keluarga kurang mampu. Dapat diamati bagaimana keluarga kurang
mampu begitu berharap pada pendidikan. Mungkin mereka memahami bahwa
pendidikanlah yang memutus rantai kemiskinan ekonomi, religius, sosial dan
budaya. Akhirnya, orang tua membanting tulang dan mempertaruhkan semuanya untuk
pendidikan anaknya.
Semangat dan motivasi orang tua
tersebut menjadi sebuah perilaku dalam mencapai kesuksesan pendidikan anaknya.
Sebagaimana disampaikan Seginer bahwa konteks kinerja dalam mencapai masa depan meliputi tiga komponen yaitu motivasi,
kognisi, dan representasi tingkah laku. Perilaku orang tua dalam mewujudkan mimpi melalui pendidikan
anaknya melahirkan sebuah spiritualitas. Dengan
begitu, spiritualitas pendidikan merupakan semangat rohani-jiwa terkait pendidikan. Kontens spiritual pendidikan adalah nilai-nilai keteladanan, keikhlasan, kejujuran, ketulusan,
kepedulian, kesabaran, keberanian, loyalitas, kerendahan hati, dan empati. Beberapa deskripsi berikut mungkin dapat menunjukkan makna spiritualitas
tersebut.
Sebuah keluarga dengan ayah bekerja
sebagai pencari rongsok dan ibu yang di rumah. Karena tiba-tiba ibunya jatuh
sakit, anak mereka yang saat itu duduk di bangku SMA memutuskan menjadi
pembantu rumah tangga. Anak ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Berkat
pendekatan sekolah, anak ini akhirnya bisa bersekolah. Setelah lulus SMA
diterima di sebuah perguruan tinggi pavorit di Jawa Timur. Bapak pencari rosok
ini begitu berbinar dan bersemangat melihat kenyataan ini. Liku dan beban hidup
seakan terbayar dengan pendidikan anaknya.
Contoh dua, ada seorang siswa mempunyai peringkat di
sekolah. Bapaknya sebagai kuli bangunan dan ibunya pembantu rumah tangga.
Sekolah mengharapkan anak ini bisa berkuliah namun orang tuanya mengancam guru
bila menyarankan kuliah pada anaknya. Setelah ujian selesai, dengan berbagai
usaha dan pendekatan sekolah, orang tua itu mengizinkan anaknya berkuliah.
Akhirnya anak ini diterima di sebuah perguruan tinggi. Sebuah energy positif
luar biasa, ketika keluarga sederhana ini rela meninggalkan rumah mereka dan
mencari kerja di kota terdekat dengan kampus anaknya. Ibunya tetap menjadi
pembantu rumah tangga dan bapaknya tetap menjadi kuli bangunan. Pelajaran
sederhana bagaimana keluarga ini memaknai sebuah pendidikan.
Ketiga, Siswa dari keluarga sederhana ini mungkin
tidak menyangka bersekolah. Betapa tidak selama bersekolah dia harus berjalan
kaki beberapa kilo meter sampai ke tempat angkutan umum. Jangankan sepeda
motor, telepon genggam termurah saja tidak dimiliki. Namun semangat bersekolah menghantarkan
dia diterima di sebuah PTN. Keputusan orang tua yang mendukung berkuliah,
diimbangi oleh seorang bapak yang buruh tani ini untuk semakin giat bekerja.
Semula hanya memelihara satu ekor sapi tetantangganya (bhs jawa:gaduh) diputuskan untuk menambah jumlah
sapi. Luar biasa lagi ketika anak ini pulang dia rela bekerja di sawah milik
orang lain demi pendidikannya. Sebuah spiritualitas pendidikan keluarga yang
begitu dahsyat.
Bekerja sebagi pengumpul batu kali berapa yang di
dapat. Tentu penghasilannya sekedar cukup untuk makan, mungkin malah kurang. Tetapi
mengapa ketika anaknya diterima di perguruan tinggi keluarga ini tidak menolak.
Jika terpikirkan bagaimana beban ini dapat ditanggungnya. Namun semangat anak
dan bapak telah menjadi energy tersendiri dalam memaknai arti pendidikan.
Akhirnya sungai dan batu kali inilah yang menjadi sumber penghasilan. Si anak
jika pulang libur kuliah pasti berada di tepi sungai apalagi bapaknya.
Mutiara-mutiara keluarga itu membangun sebuah spritualitas pendidikan yang luar
biasa.
Pada sisi lain tentu spiritualitas pendidkan dengan
makna berbeda berlaku bagi keluarga berpendidikan menengah dan tinggi. Keluarga
demikian secara intens akan memberikan gambaran tentang pendidikan. Anak sudah
mempunyai wawasan pendidikan berbagai jenjang sejak dari rumah. Belum lagi anak-anak
pejabat yang dapat menikmati pendidikan. Mereka dapat bersekolah atau berkuliah
dimanapun. Dalam arti, secara geografis dapat memilih studi baik di luar kota
maupun luar negeri. Mereka dengan mudah memperoleh fasilitas pendidikan. Mereka
mendapat fasilitas melebihi dari percepatan usia. Prasarana seperti mobil,
rumah, dan berbagai kemewahan. Meskipun demikian, jika keluarga tidak memiliki
atau memaknai spiritualitas pendidikan dengan baik, belum menjamin mencapai
keberhasilan. Permasalahannya dimana nilai spriritualitas pendidikan itu dimiliki sebuah keluarga?
Pertama nilai-nilai keteladanan, dalam arti keluarga (orang tua) memberikan teladan sebuah
kegigian dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Orang tua memberikan contoh bahwa kerja keras dan pantang
menyerah adalah salah satu kunci keberhasilan pendidikan.
Kedua keikhlasan, keluarga telah dengan ikhlas menyertakan kehidupan sosial ekonominya demi
pendidikan anak. Tentu saja keikhlasan ini akan menjadi cambuk bagi anak untuk
berbuat serupa. Keikhlasan dalam belajar dan memolakan kehidupan di masyarakat.
Berikutnya kejujuran, penanaman sifat jujur pada anak akan memberikan kesempatan
pada anak untuk belajar dan berpola pikir lebih realitas. Orang tua tidak
menutupi keterbatasan ekonomi dan pendidikan pada anak. Akhirnya membangun
sikap tanggung jawab untuk berjuang dalam pendidikan mereka. Ketulusan, kepedulian, kesabaran orang tua dalam menemani anak ketika
menempuh pendidikan memberikan dorongan psikologis dalam mencapai kesuksesan
pendidikan. Dengan keberanian, loyalitas,
kerendahan hati, dan empati sebuah keluarga akan mendorong anaknya untuk berani menghadapi tantangan
pendidikan.
Akhirnya tentu saja spiritualitas
pendidikan keluarga itu harus seiring dengan berbagai stake holder pendidikan. Nilai-nilai spiritualitas pendidikan itu
harus dimiliki juga oleh guru, kepala sekolah, masyarakat, dinas pendidikan,
pemerintah dan wakil rakyat. Disadari bersama bahwa jangan menyelenggarakan dan
melihat pendidikan sebatas financial
efect. Selamat datang siswa baru. Percalah spitualitas pendidikan
keluargamu akan mensukseskan mimpimu.
*Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Pulung Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar