Kamis, 13 Oktober 2016

Penilaian Sikap dalam Konteks Nurturant Effect




Penilaian Sikap dalam Konteks Nurturant Effect
Oleh:  Sugiyanto*




Judul artikel ini merupakan esensi penilaian sikap pada Kurikulum 2013. Penilian sikap memerlukan kecermatan jika dibandingkan dengan pengetahuan dan keterampilan. Penilaian sikap perlu pengelolaan tersendiri dari pendidik. Pengelolaan dimaksud  terkait perencanaan dan pelaksanaan. Selain hal itu, konsep tentang nurturant effek memerlukan interprestasi secara komprehensif. Secara riil membahas penilaian tak lepas dari pembelajaran. Paparan ini mendiskusikan kontens pembelajaran, instructional effect dan nurturant effect, serta penilaian sikap.
Kurikulum berbasis kompetensi, terkait dengan penilaian, mengacu pada sistem belajar tuntas (mastery learning). Sistem Belajar Tuntas mengimplementasikan (mengadaptasi) pengajaran kelompok dengan jumlah siswa banyak. Sistem ini mampu memperhatikan perbedaan kompetensi masing-masing individu secara cukup. Sistem belajar tuntas diharapkan dapat lebih memberikan penilaian komprehensip terhadap perbedaan individu. (Winnkel, 2009:426) Hal tersebut mensyaratkan bahwa masing-masing peserta didik tidak terbedakan  antara yang pandai dan kurang dalam mencapai ketuntasan belajar. Setiap  peserta didik diharapkan dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Semua pencapaian kompetensi tersebut diupayakan melalui sebuah proses pembelajaran.
Permendiknas No 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menyatakan bahwa Kurikulum 2013 menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran (instructional effect).
Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi secara implicit selama proses pembelajaran langsung.  Pembelajaran inilah yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap yang terkandung dalam KI-1 dan KI-2. Hal ini berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pengembangan nilai dan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku, dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat.
Secara dikotomi pembelajaran langsung (direct instructional) diharapkan dapat menghasilkan dampak pembelajaran (instructional effect). Pembelajaran tidak langsung (indirect instructional) diharapkan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Joyce, dkk (2009:115) memberikan paparan dan contoh  terkait dampak pembelajaran dan dampak pengiring tersebut diantaranya sebagai berikut.
Pertama model pembelajaran berfikir induktif. Model ini menghasilkan dampak pembelajaran (intstruksional effect) sebagai berikut (i) mendapatkan informasi, konsep, keterampilan, pembentukan hipotesis; (ii) proses-proses pembentukan konsep, dan (iii) konsep dan system konseptual dan penerapannya. Dampak pengiring (nurturant effect) dari model ini adalah: (i) spirit pengetahuan, (ii) kesadaran atas sifat pengetahuan, dan (iii) berfikir logis.
Kedua, model pencapaian konsep yang menghasilkan dampak intruksional; (i) sifat konsep, (ii) konsep, system konseptual, dan penerapannya,  (iii) strategi-strategi pembelajaran konsep. Dan berdampak pengiring (i) fleksibelitas konseptual, (iii) pemikiran induktif, dan (iii) toleran terhadap ambiguitas. (Ibid:143)
Ketiga, model penelitian yang menghasilkan dampak intruksional: (i) pengetahuan ilmiah (saintifik), (ii) proses penelitian. Dan berdampak pengiring (i) komitmen terhadap penelitian, (ii) pemikiran terbuka (kemampuan menyeimbangkan alternative), dan (iii) jiwa dan skill kooperatif). (Ibid:198)
Keempat, model sinektik yang menghasilkan dampak intruksional: (i) kohesi dan produktifitas kelompok. (ii) perangkat-perangkat berfikir metaforis, dan (iii) kapabilitas dalam pemecahan masalah. Dengan dampak pengiring (i) harga diri, (ii) kepetualangan, dan (iii) pencapaian materi kurikulum. (Ibid:272)
Kelima, model investgasi kelompok yang berdampak intruksional: (i) proses dan pengelolaan kelompok efektif, (ii) pandangan kontruktivitis tentang pengetahuan, dan (iii) disiplin serta penelitian kolaboratif. Dan berdampak pengiring: (1) kemandirian sebagai pembelajar, (ii) penghargaan pada martabat orang lain, (iii) penelitian social senagai pandangan hidup, dan (iv) kehangatan dan interprestasi interpersonal. (Ibid:332)
Keenam, model bermain peran yang berdampak intrusional: (i) empati, hormat, (ii) analisis tentang nilai dan perilaku personal, dan (iii) strategi dalam memecahkan masalah interpersonal. Dan berdampak pengiring: (i) keterpaduan, (ii) kenyamanan mengeluarkan pendapat, dan (iii) keterampilan bernegosiasi. (ibid:345)
Ketujuh, instruksi langsung yang berdampak instruksional: (i) penguasaan materi akademik dan keterampilan, (ii) motivasi siswa, dan (iii) kemampuan memberikan langkah cepat. Dan berdampak pengiring munculnya harga diri.
Beberapa paparan terkait dengan dampak instruksional dan pengiring di atas dapat dijadikan referensi bahwa sebuah implementasi model pembelajaran selalu menghasilkan dampak instruksional dan pengiring. Dampak instruksional menunjukkan capaian ataupun proses langsung dari implementasi sebuah mosel. Pada sisi lain dampak pengiring adalah perilaku ataupun capaian  lain  sebagai penyerta (dampak) dari sebuah implementasi pembelajaran.
Secara konseptual pemahaman tentang kontens dampak intruksional dan pengiring memberikan acuan tentang implementasi model pembelajaran. Pendidik akan menyadari bahwa model yang digunakan dalam pembelajaran tidak sekadar ketersampaian materi tetapi akan menghasilkan dampak pengiring pada peserta didik.
Pembelajaran pada Kurikulum 2013 (K13) menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan.. Model pembelajaran yang diharapkan terlaksanaadalah: discovery learning, project-based learning, problem-based learning, inquiry learning. Meskipun demikian pada tataran implementasi ada beberapa mata pelajaran yang kurang cocok dengan model-model di atas. Hal tersebut terjadi terkait dengan karakteristik mata pelajaran. Permendiknas No 59 Tahun 2014 memaparkan relevansi model pembelajaran sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran tersebut. Jika dicermati model-model pembelajaran yang disarankan di atas tidak terlepas dari strategi kontekstual.
 Filosofi strategi kontekstual tersebut tidak terlepas dari kerangka berfikir kontruktivitis. Prinsip-prinsip kontruktivisme meliputi: (1) Pengetahuan dibangun siswa secara aktif; (2) Aktifitas pembelajaran terpusat pada siswa; (3) Mengajar membantu siswa dalam belajar; (4) Pembelajaran mengutamakan proses bukan pada hasil akhir hasil; (5) Kurikulum menekankan partisipasi siswa; (6) Guru adalah fasilitator; dan (7) Terkait konteks social mengutamakan belajar bersama. (Suparno, 1997:23)  Filosofi konstruktivitis ini juga dipedomani oleh model-model pembelajaran lain bukan hanya keempat model yang disarankan kurikulum 2013. Dengan demikian dalam kontens pembelajaran guru diperkenankan menggunakan model atau teknik lain. Meskipun demikian model yang digunakan harus tetap mengacu pada ketercapaian dampak pembelajaran dan dampak pengiring. Hal tersebut berkaitan dengan filosofi ketercapaian indicator kompetensi dasar (KD). Dapat diartikan ketidaktepatan pemilihan model pembelajaran berarti tidak tercapainya tuntutan indicator KD.
Indikator pencapaian kompetensi dalam K13 adalah: (a) perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk kompetensi dasar (KD) pada kompetensi inti (KI)-3 dan KI-4; dan (b) perilaku yang dapat diobservasi untuk disimpulkan sebagai pemenuhan KD pada KI-1 dan KI-2, yang kedua-duanya menjadi acuan penilaian mata pelajaran. KI-1 dan KI-2 inilah yang disebut kompetensi sikap.
KI-1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI-2 Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahandalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
Interprestasi pernyataan di atas bahwa implementasi pendekatan saintifik model-model pembelajaran kontruktivitis secara umum diaharapkan menghasilkan dua hal. Pertama dampak intruksional siswa mampu mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar. Kedua dampak pengiring (i) Siswa menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, dan (ii) Siswa Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif. Pengukuran dua hal tersebut dilakukan dengan penilaian pembelajaran. 
Kurikulum 2013 mempersyaratkan penggunaan penilaian autentik (authentic assesment). Secara paradigmatik penilaian autentik memerlukan perwujudan pembelajaran autentik (authentic instruction) dan belajar autentik (authentic learning). Hal ini diyakini bahwa penilaian autentik lebih mampu memberikan informasi kemampuan peserta didik secara holistik dan valid.
Nurgiyantoro (2010:306) menyampaikan penilaian otentik adalah penilaian yang yang dilakukan dengan berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, menyangkut proses dan produk. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan peserta didik. Serta akurat dan bermakna. Nurhadi (2004:52-53) menyatakan Authentik Asesmen adalah prosedur pembelajaran kontekstual. Penilaian belajar harus dinilai dari proses bukan melulu hasil. Data bukan mencari sejauh mana belajar siswa tetapi membantu siswa bagaimana mampu mempelajarai.  Supardi (2015:25) menyatakan proses memperoleh informasi tentang perkembanagan belajar dan perubahan tingkah laku yang dimiliki siswa setelah kegiatan belajar berakhir. Penilaian ini untuk mengetahui perubahan tingkah laku siswa apakah mereka terlibat dalam pengalaman belajar, atau apakag proses belajar mengajar yang telah dilakukan memiliki nil;ai positif.
Permendikbud No 14 Tahun 2014 menyatakan terdapat lima belas (15) prinsip penilaian autentik, yang terkait penilaian sikap diantaranya: (i) Materi penilaian dikembangkan dari kurikulum; (ii)  Menekankan pada kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik, (iii) Menekankan keterpaduan sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (iv)  Menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembelajaran; dan (v) Menggunakan berbagai cara dan instrumen.
 Berdasarkan pendapat dan paparan di atas, karakteristik  penilaian autentik ( authentic assessment) dapat dikatakan beberapa hal: (1) Penilain wajib dilakukan dalam konteks pembelajaran; (2) Penilaian mengukur ketercapaian tujuan atau kompetensi; (3) Penilaian mengutamakan perkembangan masing-masing individu, dan mengutamakan proses; (4) Penilaian menggunkan beraneka macam alat penilaian; (5) Penilaian pembelajaran memotivasi siswa untuk belajar; dan (6) Penilaian juga mengukur keefektifan pembelajaran.
Penilaian sikap berkarakter autentik berarti terkait dengan hakikat yang dinilai dan cara menilai. Penilaian sikap (afektif) jelas menilai sikap religius dan sosial. Terkait cara penilaian
sikap sesuai dengan Permendiknas 104 tahun 201 adalah sebagai berikut. Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perubahan perilaku atau tindakan yang diharapkan.  Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai sikap peserta didik, antara lain melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan penilaian jurnal.
          Penilaian sikap melalui observasi dengan cara mengobservasi sikap dan perilaku keseharian peserta didik direkam melalui pengamatan dengan menggunakan format yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati, baik yang terkait dengan mata pelajaran maupun secara umum. Pengamatan terhadap sikap dan perilaku yang terkait dengan mata pelajaran dilakukan oleh guru yang bersangkutan selama proses pembelajaran berlangsung, seperti: ketekunan belajar, percaya diri, rasa ingin tahu, kerajinan, kerjasama, kejujuran, disiplin, peduli lingkungan, dan selama peserta didik berada di sekolah atau bahkan di luar sekolah selama perilakunya dapat diamati guru.
Penilaian diri digunakan untuk memberikan penguatan (reinforcement) terhadap kemajuan proses belajar peserta didik. Penilaian diri berperan penting bersamaan dengan bergesernya pusat pembelajaran dari guru ke peserta didik yang didasarkan pada konsep belajar mandiri (autonomous learning).
Penilaian teman sebaya atau antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar pengamatan antarpeserta didik. Penilaian teman sebaya dilakukan oleh peserta didik terhadap 3 (tiga) teman sekelas atau sebaliknya. Format yang digunakan untuk penilaian sejawat dapat menggunakan format seperti contoh pada penilaian diri.
Penilaian jurnal (anecdotal record) merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif atau negatif, selama dan di luar proses pembelajaran mata pelajaran.
Berdasarkan paparan di atas ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait penilaian sikap. Pertama penilaian sikap merupakan dampak pengiring dari implementasi model pembelajaran. Kedua ada empat cara dalam menilai sikap. 
Penilaian sikap merupakan dampak pengiring dari implementasi model pembelajaran. Implementasi dari konsep tersebut adalah bahwa penilaian sikap dapat dilakukan jika pemilihan model/strategi ataupun teknik pembelajaran guru tepat. Ketepatan tersebut terukur dari kemungkinan kemunculan dampak pengiring. Selain hal tersebut pendidik harus menginterprestasi alat apa yang akan digunakan untuk mengukur. Tidak kalah pentingnya adalah menetapkan indicator apa yang ingin dicapai dalam pertemuan tersebut.
Langkah riil implementasi di atas adalah sebagai berikut. Pertama tentukan Kompetensi Inti (KI)  dan Kompetensi Dasar (KD).  Kedua tentukan indicator. Penentuan indicator ini merupakan langkah signifikan. Pada langkah ini diperlukan kompetensi dalam penentuan kata kerja operasional. Tentu saja penetapan indicator untuk KD-3 dan KD-4 perlu dilakukan dulu, kemudian KD-1 dan KD-2. Selain hal tersebut, diperlukan pembatasan jumlah indicator (contoh: jujur, tanggung jawab dan disiplin).  Ketiga penetapan model pembelajaran. Penetapan model pembelajaran  ini dengan mempertimbangkan dampak pengiring KD-1 dan  KI-2. Pada implementasi model pembelajaran inilah indicator KD-1dan KD-2 dinilai. Keempat pilihlah alat penilaian yang sesuai misalnya lembar observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat atau jurnal.
Dalam kontens pengamatan sikap siswa saat pembelajaran tampaknya lembar observasi lebih efektif. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan alat penilaian yang lain digunakan. Sesuaikan lembar observasi dengan sintaks pembelajaran.
Perhatikan contoh lembar observasi –contoh ini sengaja tidak menyajikan gradasi secara detail- berikut.
NO
Aspek
Skor
1
Kejujuran


Siswa selalu jujur menyampaiakan gagasan dalam diskusi kelompok
4
2
Tanggung jawab


Siswa selalu bertanggung jawab menyelesaikan tugas kelompok
4
Kemunculan aspek menyampaikan gagasan dan menyelesaikan tugas kelompok bukanlah secara kebetulan.  Tetapi sintaks pembelajaran guru telah menetapkan adanya kegiatan diskusi. Dalam kegiatan diskusi inilah peserta didik akan memunculkan sikap jujur dan tanggung jawab. Dengan demikian penilaian sikap memang benar terkait dengan  kegiatan pembelajaran.
          Tentu saja dimungkinkan peserta didik melakukan penilaian terhadap diri sendiri dan penilaian teman sejawat dengan mengaitkan pada kontens pembelajaran saat itu. Contoh penilaian tersebut adalah Saya selalu jujur menyampaikan gagasan dalam diskusi kelompok. Pada penilaian teman sejawat akan ada pernyataan teman saya selalu jujur menyampaiakan gagasan dalam diskusi kelompok. Sekali lagi bahwa penilain sikap terkait mata pelajaran bukan serta merta muncul. Penilaian itu wajib dimunculkan melalui sebuah proses belajar. Dengan demikian jika guru sekadar berceramah atau menugasi mengerjakan lks rasanya tidak logis menghasilkan nilai sikap.
Sekarang bagaimana dengan indikator yang tidak dimungkinkan terukur? Ada beberapa indikator yang dimungkinkan tidak terakomodasi dalam kontens pembelajaran. Indikator kepedulian lingkungan, sikap relijius, atau mengamalkan nilai agama tentu memrlukan teknik lain untuk mengamati. Pada masalah demikian penilain jurnal lebih efektif. Dan demikianlah memang karakteristik penilaian autentik.
Sekali lagi, penilaian sikap bukan hanya memerlukan kecermatan pendidik. Namun demikian kepahaman dan kemauan pendidik adalah factor utama. Pemaknaan dan pemahaman konsep tentang instructional effect dan nurturant effect, perlu dipertajam. Perlu disepakati bahwa belakang parangpun jika diasah akan menjadi tajam. Dan yang terpenting adalah lakukan dengan keikhlasan.




Daftar Pustaka
Joyce, Bruce. dkk. 2009. Models of Teaching. Penerjemah Ahmad Fawaid dan Atellia Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Nurhadi. Dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang
Permendiknas  No.   103 tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Sekolah Dasar dan Menengah
Permendiknas No. 104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Supardi. 2015. Penilaian Autentik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan Psikomotor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Kanisius
                            
                                                                                         *Penulis guru SMAN 1 Pulung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar