Penilaian Sikap dalam Konteks Nurturant Effect
Oleh:
Sugiyanto*
Judul artikel
ini merupakan esensi penilaian sikap pada Kurikulum 2013. Penilian sikap
memerlukan kecermatan jika dibandingkan dengan pengetahuan dan keterampilan.
Penilaian sikap perlu pengelolaan tersendiri dari pendidik. Pengelolaan
dimaksud terkait perencanaan dan
pelaksanaan. Selain hal itu, konsep tentang nurturant
effek memerlukan interprestasi secara komprehensif. Secara riil membahas
penilaian tak lepas dari pembelajaran. Paparan ini mendiskusikan kontens pembelajaran,
instructional effect dan nurturant
effect, serta penilaian sikap.
Kurikulum
berbasis kompetensi, terkait dengan penilaian, mengacu pada sistem belajar
tuntas (mastery learning). Sistem
Belajar Tuntas mengimplementasikan (mengadaptasi) pengajaran kelompok dengan
jumlah siswa banyak. Sistem ini mampu memperhatikan perbedaan kompetensi
masing-masing individu secara cukup. Sistem belajar tuntas diharapkan dapat
lebih memberikan penilaian komprehensip terhadap perbedaan individu. (Winnkel,
2009:426) Hal tersebut mensyaratkan bahwa masing-masing peserta didik tidak
terbedakan antara yang pandai dan kurang
dalam mencapai ketuntasan belajar. Setiap peserta didik diharapkan dapat mencapai
kompetensi yang diharapkan. Semua pencapaian kompetensi tersebut diupayakan
melalui sebuah proses pembelajaran.
Permendiknas No
103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah menyatakan bahwa Kurikulum 2013 menggunakan modus pembelajaran
langsung (direct instructional) dan tidak langsung (indirect
instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang
mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan
pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang
dirancang dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung peserta didik
melakukan kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba,
menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran (instructional
effect).
Pembelajaran
tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi secara implicit selama proses
pembelajaran langsung. Pembelajaran
inilah yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect).
Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap yang
terkandung dalam KI-1 dan KI-2. Hal ini berbeda dengan pengetahuan tentang
nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata
pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Pengembangan nilai dan sikap sebagai proses pengembangan moral
dan perilaku, dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan
yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat.
Secara dikotomi
pembelajaran langsung (direct instructional) diharapkan dapat menghasilkan dampak pembelajaran (instructional
effect). Pembelajaran tidak langsung (indirect instructional)
diharapkan menghasilkan dampak pengiring (nurturant effect). Joyce, dkk (2009:115) memberikan paparan dan
contoh terkait dampak pembelajaran dan dampak
pengiring tersebut diantaranya sebagai
berikut.
Pertama model pembelajaran berfikir induktif. Model ini menghasilkan
dampak pembelajaran (intstruksional effect) sebagai berikut (i)
mendapatkan informasi, konsep, keterampilan, pembentukan hipotesis; (ii)
proses-proses pembentukan konsep, dan (iii) konsep dan system konseptual dan
penerapannya. Dampak pengiring (nurturant effect) dari model ini adalah:
(i) spirit pengetahuan, (ii) kesadaran atas sifat pengetahuan, dan (iii)
berfikir logis.
Kedua, model pencapaian konsep yang menghasilkan dampak intruksional;
(i) sifat konsep, (ii) konsep, system konseptual, dan penerapannya, (iii) strategi-strategi pembelajaran konsep.
Dan berdampak pengiring (i) fleksibelitas konseptual, (iii) pemikiran induktif,
dan (iii) toleran terhadap ambiguitas. (Ibid:143)
Ketiga, model penelitian yang menghasilkan dampak intruksional: (i)
pengetahuan ilmiah (saintifik), (ii) proses penelitian. Dan berdampak pengiring
(i) komitmen terhadap penelitian, (ii) pemikiran terbuka (kemampuan
menyeimbangkan alternative), dan (iii) jiwa dan skill kooperatif). (Ibid:198)
Keempat, model sinektik yang menghasilkan dampak intruksional: (i)
kohesi dan produktifitas kelompok. (ii) perangkat-perangkat berfikir metaforis,
dan (iii) kapabilitas dalam pemecahan masalah. Dengan dampak pengiring (i)
harga diri, (ii) kepetualangan, dan (iii) pencapaian materi kurikulum. (Ibid:272)
Kelima, model investgasi kelompok yang berdampak intruksional: (i)
proses dan pengelolaan kelompok efektif, (ii) pandangan kontruktivitis tentang
pengetahuan, dan (iii) disiplin serta penelitian kolaboratif. Dan berdampak
pengiring: (1) kemandirian sebagai pembelajar, (ii) penghargaan pada martabat
orang lain, (iii) penelitian social senagai pandangan hidup, dan (iv)
kehangatan dan interprestasi interpersonal. (Ibid:332)
Keenam, model bermain peran yang berdampak intrusional: (i) empati,
hormat, (ii) analisis tentang nilai dan perilaku personal, dan (iii) strategi
dalam memecahkan masalah interpersonal. Dan berdampak pengiring: (i)
keterpaduan, (ii) kenyamanan mengeluarkan pendapat, dan (iii) keterampilan
bernegosiasi. (ibid:345)
Ketujuh, instruksi langsung yang berdampak instruksional: (i)
penguasaan materi akademik dan keterampilan, (ii) motivasi siswa, dan (iii)
kemampuan memberikan langkah cepat. Dan berdampak pengiring munculnya harga
diri.
Beberapa paparan terkait dengan dampak instruksional dan pengiring di
atas dapat dijadikan referensi bahwa sebuah implementasi model pembelajaran
selalu menghasilkan dampak instruksional dan pengiring. Dampak instruksional
menunjukkan capaian ataupun proses langsung dari implementasi sebuah mosel.
Pada sisi lain dampak pengiring adalah perilaku ataupun capaian lain sebagai penyerta (dampak) dari sebuah
implementasi pembelajaran.
Secara konseptual pemahaman tentang kontens dampak intruksional dan
pengiring memberikan acuan tentang implementasi model pembelajaran. Pendidik
akan menyadari bahwa model yang digunakan dalam pembelajaran tidak sekadar
ketersampaian materi tetapi akan menghasilkan dampak pengiring pada peserta
didik.
Pembelajaran pada Kurikulum 2013 (K13) menggunakan
pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan.. Model
pembelajaran yang diharapkan terlaksanaadalah: discovery learning,
project-based learning, problem-based learning, inquiry learning. Meskipun
demikian pada tataran implementasi ada beberapa mata pelajaran yang kurang cocok
dengan model-model di atas. Hal tersebut terjadi terkait dengan karakteristik mata
pelajaran. Permendiknas No 59 Tahun 2014 memaparkan relevansi model
pembelajaran sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran tersebut. Jika dicermati
model-model pembelajaran yang disarankan di atas tidak terlepas dari strategi
kontekstual.
Filosofi strategi kontekstual tersebut tidak
terlepas dari kerangka berfikir kontruktivitis. Prinsip-prinsip kontruktivisme
meliputi: (1) Pengetahuan dibangun siswa secara aktif; (2) Aktifitas
pembelajaran terpusat pada siswa; (3) Mengajar membantu siswa dalam belajar;
(4) Pembelajaran mengutamakan proses bukan pada hasil akhir hasil; (5)
Kurikulum menekankan partisipasi siswa; (6) Guru adalah fasilitator; dan (7) Terkait
konteks social mengutamakan belajar bersama. (Suparno, 1997:23) Filosofi konstruktivitis ini juga dipedomani
oleh model-model pembelajaran lain bukan hanya keempat model yang disarankan
kurikulum 2013. Dengan demikian dalam kontens pembelajaran guru diperkenankan menggunakan
model atau teknik lain. Meskipun demikian model yang digunakan harus tetap
mengacu pada ketercapaian dampak pembelajaran dan dampak pengiring. Hal
tersebut berkaitan dengan filosofi ketercapaian indicator kompetensi dasar
(KD). Dapat diartikan ketidaktepatan pemilihan model pembelajaran berarti tidak
tercapainya tuntutan indicator KD.
Indikator
pencapaian kompetensi dalam K13 adalah: (a) perilaku yang dapat diukur dan/atau
diobservasi untuk kompetensi dasar (KD) pada kompetensi inti (KI)-3 dan KI-4;
dan (b) perilaku yang dapat diobservasi untuk disimpulkan sebagai pemenuhan KD
pada KI-1 dan KI-2, yang kedua-duanya menjadi acuan penilaian mata pelajaran. KI-1
dan KI-2 inilah yang disebut kompetensi sikap.
KI-1 Menghayati
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI-2 Menghayati dan mengamalkan
perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama,
toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif
dan menunjukkan sikap sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahandalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
Interprestasi pernyataan di atas bahwa implementasi
pendekatan saintifik model-model pembelajaran kontruktivitis secara umum
diaharapkan menghasilkan dua hal. Pertama dampak intruksional siswa mampu
mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan
pengetahuan peserta didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar.
Kedua dampak pengiring (i) Siswa menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya, dan (ii) Siswa Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,
responsif dan pro-aktif. Pengukuran
dua hal tersebut dilakukan dengan penilaian pembelajaran.
Kurikulum 2013 mempersyaratkan
penggunaan penilaian autentik (authentic assesment). Secara paradigmatik
penilaian autentik memerlukan perwujudan pembelajaran autentik (authentic
instruction) dan belajar autentik (authentic learning). Hal ini
diyakini bahwa penilaian autentik lebih mampu memberikan informasi kemampuan
peserta didik secara holistik dan valid.
Nurgiyantoro (2010:306)
menyampaikan penilaian otentik adalah penilaian yang yang dilakukan dengan
berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, menyangkut proses dan
produk. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret,
benar-benar hasil tampilan peserta didik. Serta akurat dan bermakna. Nurhadi
(2004:52-53) menyatakan Authentik Asesmen
adalah prosedur pembelajaran kontekstual. Penilaian belajar harus dinilai dari
proses bukan melulu hasil. Data bukan mencari sejauh mana belajar siswa tetapi
membantu siswa bagaimana mampu mempelajarai. Supardi (2015:25) menyatakan proses memperoleh
informasi tentang perkembanagan belajar dan perubahan tingkah laku yang
dimiliki siswa setelah kegiatan belajar berakhir. Penilaian ini untuk
mengetahui perubahan tingkah laku siswa apakah mereka terlibat dalam pengalaman
belajar, atau apakag proses belajar mengajar yang telah dilakukan memiliki
nil;ai positif.
Permendikbud No 14 Tahun 2014 menyatakan terdapat
lima belas (15) prinsip penilaian autentik, yang terkait penilaian sikap
diantaranya: (i) Materi penilaian dikembangkan dari kurikulum; (ii) Menekankan
pada kegiatan dan pengalaman belajar
peserta didik, (iii) Menekankan
keterpaduan sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (iv) Menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari pembelajaran; dan
(v) Menggunakan berbagai cara dan instrumen.
Berdasarkan pendapat dan paparan di atas,
karakteristik penilaian
autentik ( authentic assessment)
dapat dikatakan beberapa hal: (1) Penilain wajib dilakukan dalam konteks
pembelajaran; (2) Penilaian mengukur ketercapaian tujuan atau kompetensi; (3)
Penilaian mengutamakan perkembangan masing-masing individu, dan mengutamakan
proses; (4) Penilaian menggunkan beraneka macam alat penilaian; (5) Penilaian
pembelajaran memotivasi siswa untuk belajar; dan (6) Penilaian juga mengukur
keefektifan pembelajaran.
Penilaian sikap berkarakter autentik berarti terkait
dengan hakikat yang dinilai dan cara menilai. Penilaian sikap (afektif) jelas
menilai sikap religius dan sosial. Terkait cara penilaian
sikap sesuai dengan Permendiknas 104
tahun 201 adalah sebagai berikut. Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak
suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek.
Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki
oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perubahan perilaku atau
tindakan yang diharapkan. Ada beberapa
cara yang dapat digunakan untuk menilai sikap peserta didik, antara lain
melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan penilaian
jurnal.
Penilaian sikap melalui observasi
dengan cara mengobservasi sikap dan perilaku keseharian peserta didik direkam
melalui pengamatan dengan menggunakan format yang berisi sejumlah indikator
perilaku yang diamati, baik yang terkait dengan mata pelajaran maupun secara
umum. Pengamatan terhadap sikap dan perilaku yang terkait dengan mata pelajaran
dilakukan oleh guru yang bersangkutan selama proses pembelajaran berlangsung,
seperti: ketekunan belajar, percaya diri, rasa ingin tahu, kerajinan,
kerjasama, kejujuran, disiplin, peduli lingkungan, dan selama peserta didik
berada di sekolah atau bahkan di luar sekolah selama perilakunya dapat diamati
guru.
Penilaian diri
digunakan untuk memberikan penguatan (reinforcement) terhadap kemajuan
proses belajar peserta didik. Penilaian diri berperan penting bersamaan dengan
bergesernya pusat pembelajaran dari guru ke peserta didik yang didasarkan pada
konsep belajar mandiri (autonomous learning).
Penilaian teman
sebaya atau antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta
peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi.
Instrumen yang digunakan berupa lembar pengamatan antarpeserta didik. Penilaian
teman sebaya dilakukan oleh peserta didik terhadap 3 (tiga) teman sekelas atau
sebaliknya. Format yang digunakan untuk penilaian sejawat dapat menggunakan
format seperti contoh pada penilaian diri.
Penilaian jurnal
(anecdotal record) merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau
tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif
atau negatif, selama dan di luar proses pembelajaran mata pelajaran.
Berdasarkan
paparan di atas ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait penilaian sikap.
Pertama penilaian sikap merupakan dampak pengiring dari implementasi model
pembelajaran. Kedua ada empat cara dalam menilai sikap.
Penilaian sikap
merupakan dampak pengiring dari implementasi model pembelajaran. Implementasi
dari konsep tersebut adalah bahwa penilaian sikap dapat dilakukan jika
pemilihan model/strategi ataupun teknik pembelajaran guru tepat. Ketepatan
tersebut terukur dari kemungkinan kemunculan dampak pengiring. Selain hal
tersebut pendidik harus menginterprestasi alat apa yang akan digunakan untuk
mengukur. Tidak kalah pentingnya adalah menetapkan indicator apa yang ingin
dicapai dalam pertemuan tersebut.
Langkah riil
implementasi di atas adalah sebagai berikut. Pertama tentukan Kompetensi Inti
(KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Kedua tentukan indicator. Penentuan indicator
ini merupakan langkah signifikan. Pada langkah ini diperlukan kompetensi dalam
penentuan kata kerja operasional. Tentu saja penetapan indicator untuk KD-3 dan
KD-4 perlu dilakukan dulu, kemudian KD-1 dan KD-2. Selain hal tersebut,
diperlukan pembatasan jumlah indicator (contoh: jujur, tanggung jawab dan
disiplin). Ketiga penetapan model
pembelajaran. Penetapan model pembelajaran ini dengan mempertimbangkan dampak pengiring KD-1
dan KI-2. Pada implementasi model
pembelajaran inilah indicator KD-1dan KD-2 dinilai. Keempat pilihlah alat
penilaian yang sesuai misalnya lembar observasi, penilaian diri, penilaian
teman sejawat atau jurnal.
Dalam kontens
pengamatan sikap siswa saat pembelajaran tampaknya lembar observasi lebih
efektif. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan alat penilaian yang lain
digunakan. Sesuaikan lembar observasi dengan sintaks pembelajaran.
Perhatikan
contoh lembar observasi –contoh ini sengaja tidak menyajikan gradasi secara
detail- berikut.
NO
|
Aspek
|
Skor
|
1
|
Kejujuran
|
|
Siswa selalu jujur menyampaiakan
gagasan dalam diskusi kelompok
|
4
|
|
2
|
Tanggung jawab
|
|
Siswa selalu bertanggung jawab menyelesaikan
tugas kelompok
|
4
|
Kemunculan aspek menyampaikan gagasan
dan menyelesaikan tugas kelompok bukanlah secara kebetulan. Tetapi sintaks pembelajaran guru telah
menetapkan adanya kegiatan diskusi. Dalam kegiatan diskusi inilah peserta didik
akan memunculkan sikap jujur dan tanggung jawab. Dengan demikian penilaian
sikap memang benar terkait dengan
kegiatan pembelajaran.
Tentu
saja dimungkinkan peserta didik melakukan penilaian terhadap diri sendiri dan
penilaian teman sejawat dengan mengaitkan pada kontens pembelajaran saat itu.
Contoh penilaian tersebut adalah Saya
selalu jujur menyampaikan gagasan dalam diskusi kelompok. Pada penilaian
teman sejawat akan ada pernyataan teman
saya selalu jujur menyampaiakan gagasan dalam diskusi kelompok. Sekali lagi
bahwa penilain sikap terkait mata pelajaran bukan serta merta muncul. Penilaian
itu wajib dimunculkan melalui sebuah proses belajar. Dengan demikian jika guru
sekadar berceramah atau menugasi mengerjakan lks rasanya tidak logis
menghasilkan nilai sikap.
Sekarang bagaimana
dengan indikator yang tidak dimungkinkan terukur? Ada beberapa indikator yang
dimungkinkan tidak terakomodasi dalam kontens pembelajaran. Indikator
kepedulian lingkungan, sikap relijius, atau mengamalkan nilai agama tentu
memrlukan teknik lain untuk mengamati. Pada masalah demikian penilain jurnal
lebih efektif. Dan demikianlah memang karakteristik penilaian autentik.
Sekali lagi,
penilaian sikap bukan hanya memerlukan kecermatan pendidik. Namun demikian
kepahaman dan kemauan pendidik adalah factor utama. Pemaknaan dan pemahaman
konsep tentang instructional effect
dan nurturant effect, perlu
dipertajam. Perlu disepakati bahwa belakang parangpun jika diasah akan menjadi
tajam. Dan yang terpenting adalah lakukan dengan keikhlasan.
Daftar Pustaka
Joyce,
Bruce. dkk. 2009. Models of Teaching.
Penerjemah Ahmad Fawaid dan Atellia Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran
Bahasa. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Nurhadi.
Dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang
Permendiknas No.
103 tahun 2014 tentang Pembelajaran Pada Sekolah Dasar dan Menengah
Permendiknas
No. 104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada
Pendidikan Dasar dan Menengah
Supardi.
2015. Penilaian Autentik Pembelajaran
Afektif, Kognitif, dan Psikomotor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suparno,
Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Kanisius
*Penulis guru
SMAN 1 Pulung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar