Apresiasi Puisi Zawawi
IBU
Kalau aku merantau lalu datang musim
kemarau
sumur-sumur kering, daun pun gugur
bersama reranting
hanya
mata airmu airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan
sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa
kubayar
ibu adalah Gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila
kasihmu ibarat samudra
sempit
lautan teduh
tempatku
mandi, mencuci mulut pada diri
tempatku
berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut
semua bagiku
kalau aku ikut ujian dan ditanya tentang
pahlawan
namamu, ibu, yang kan ku sebut paling
dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin
sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah aku
kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang
bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit baru
dengan sajakku
1966
D. Zawawi
Imron (Bantalku Ombak Selimutku Angin,2002:21)
Bagaimanakah
jika ketulusan kasih sayang seorang ibu berbalutkan dengan metafora akan
keindahan semesta? Jawabnya mungkin hamparan gunung dengan berbagai balutan
tebing. Tempat mata air, danau dan aneka
flora serta fauna menyanyikan lagu hidup. Luas lautan dengan deretan pantai.
Lautan lengkap dengan manikam riak-riak
ombak kecil. Di dalamnya menyediakan berbagai ikan dan butiran mutiara. Bahkan
tiupan angin dan kesegaran udara menjadikan semakin lengkapnya pesona semesta.
Panorama itu memberikan pencitraan keindahan luar biasa pada manusia. Bahkan
panorama itu juga kekayaan alam yang memberikan energy kehidupan terhadap
manusia. Ternyata tidak demikian dengan Zawawi. Penyair ini memercikkan berbagai
pesona itu dengan estetika tersendiri. Bahkan sering menampilkan sebuah paradoks.
Kedekatan nuansa
alam dalam diri penyair sudah kita rasakan mulai dari judul kumpulan puisi ini,
Bantalku Ombak Selimutku Angin.
Nuansa alam ini benarkah mampu melahirkan sebuah makna sekaligus daya estetika.
Mungkinkah pemilihan diksi yang terkait dengat nuansa alam sudah cukup dalam
membangun sebuah puisi? Tentu saja belum estetika puisi ditentukan
juga stuktur-struktur pembangun estetika yang lain seperti: diksi, tone,
metaphor, simile, onomatope, paradoks dan ironi. Lihat Sutejo dan Kasnadi (Kajian Puisi,2009:144) Bagaimana dengan
salah satu puisi Zawawi di atas?
Lapisan pertama
atau bahan mentah puisi adalah bunyi-kata, termasuk bentukan-bentukan fonetis
yang dibangun berdasarkan bunyi tersebut, lihat Suminto A. Sayuti (Berkenalan dengan Puisi, 2008:101) Perhatikan bait pertama // Kalau aku merantau lalu datang musim
kemarau//sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting //hanya mata airmu airmatamu, ibu, yang tetap lancar
mengalir//. Apa yang dapat kita rasakan dalam deret baris ini adalah keindahan fonetis /ku/rau/lu/rau/ur-ur/ur/ ditambah
dengan konstruk frasa //mata airmu
airmatamu// memunculkan efek-efek estetis luar biasa. Bunyi-bunyi itu
begitu intens melapisi kata kemarau, sumur kering, daun gugur, reranting yang
tidak lain adalah paradoks pesona alam. Perpaduan bunyi dan diksi pada bait ini
seakan membawa pembaca pada sebuah panorama hati akan semesta dan sosok seorang
ibu.
//bila aku
merantau// Anaforis -merujuk sesuatu yang telah kita ketahui- menurut Teuuw
akan menghasilkan makna atau sarana dalam menginterprestasikan sebuah
puisi (Tergantung Pada Kata, 1978:131) Kata merantau pada dua bait awal sedikit banyak
bersinggungan dengan kultur asal penyair yaitu Madura. Masyarakat Madura memang
kental dengan kehidupan perantauan. Kata ini mampu menghasilkan sebuah
interprestasi begitu jauhnya jarak geografis (alam) antara anak dan ibu. Tetapi
kondisi demikian mampu tertutup dengan kedekatan jarak emosi dengan //sedap
kopyor susumu dan ronta kenalanku//. Penggalan itu mengintenskan makana
kedekatan anak dan ibu. Penyair begitu cerdas memilih kata /kopyor/ sebagai
salah satu anugrah alam akan jenis buah kelapa muda yang nikmat. Dengan kata
itu menghasilkan imajinasi sedikit nakal tetapi mempertajam makna. Ikatan emosi
untuk kembali pada kasih sayang ibu dipertajam lagi dengan //di hati ada mayang
siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/. Apalagi telah kita sadari bahwa air
susu ibu adalah hutang setiap manusi yang tak dapat terbayarkan /lantaran
hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Kembali sebuah ketulusan kasih mampu
terekspresikan dengan panorama semesta oleh penyair.
Pengarang
kembali menghadirkan sebuah panorama semesta dalam //ibu adalah Gua pertapaanku/.
Kata gua mampu membimbing kepada kita dalam sebuah tempat yang sangat luas
maupun sangat sempit. Seorang ibu adalah tempat berlindung ataupun tempat kita
bermunajab akan makna hidup selamanya. Tempat yang tenang dan begitu melindungi.
Ibu sebagai awal kehidupan kita tampak tegas dinyatakan //dan ibulah yang
meletakkan aku di sini//. Sosok yang pertama menaburkan bau harum kasih sayang pada
kita tetekspresikan dengan tulus //saat bunga kembang menyemerbak bau sayang//.
Ibu adalah guru pertama kita yang memberikan pendidikan akan makna hidup.
Pendidikan tentang kemana arah hidup. Pendidikan tentang pondasi hidup.
Pernyataan-pernyataan itu dapat kita rasakan dalam //ibu menunjuk ke langit, kemudian
ke bumi//. Pemilihan kata /langit/bumi/ tak lepas dengan kedekatan penyair
dengan semesta ini. Dalam realitas proses pendidikan seorang ibu begitu kepada
anaknya adalah sesuatu yang tidak dapat dipertentangkan(sebuah dogmatis) //aku
mengangguk meskipun kurang mengerti//.
Makna keberadaan
seorang ibu yang memberikan arah hidup bagi seorang anak di atas diperkuat
dalam bait //bila aku berlayar lalu datang angin sakal//Tuhan yang ibu
tunjukkan telah aku kukenal// Seorang ibu memberikan arah hidup kepada anaknya.
Seorang ibu selayaknya “mengenalkan” pada anaknya akan orang tua, kerabat,
masyarakat, nabi dan Tuhan. Ternyata pondasi hidup ini adalah energy untuk
menghadapi derasnya gelombang kehidupan. Kembali pengakuan demikian Zawawi
kaitkan dengan fenomena alam yaitu / bila aku berlayar lalu datang angin sakal//.
Tampaklah disamping sentuhan estetis penggalan ini menghasilkan efek norma.
Norma akan kehidupan seorang ibu dimata seorang anak.
Apa yang dapat
kita interprsetasikan dengan deret larik berikut adalah totalitas penggunaan
metaphor kembali ke alam. //bila kasihmu ibarat samudra// sempit lautan teduh//tempatku
mandi, mencuci mulut pada diri tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar
sauh//lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku//. Baris-baris begitu
total menggunakan diksi terkait dengan panorama semesta. Ada frasa unik ketika
terbaca sempit lautan teduh. Keteduhan selama ini cenderung diinterprestasikan
dengan sesuatu yang menaungi. Tetapi penyair mampu menyajikannya dengan
imajiner yang tepat. Diksi ini mampu mengkristalkan makna kasih sayang seorang
ibu. Seperti alam ibu memberikan apa yang dimiliki untuk hidup seorang anak.
Ibu adalah dermaga dari biduk kehidupan seorang anak. Ibu adalah pelabuhan para
rantau untuk kembali. Zawawi mampu
menghadirkan citraan yang begitu kuat dalam menghadirkan ibu secara
psikologis. //kalau aku ikut ujian dan ditanya tentang pahlawan//namamu, ibu,
yang kan ku sebut paling dahulu//lantaran aku tahu//engkau ibu dan aku anakmu//.
Sebuah totalitas pengakuan keberadaan seorang ibu tidak hanya dalam konteks
sempit keluarga. Pengakuan sosok pahlawan sebagai jawaban dari segala macam
ujian adalah sebuah filosofi hidup. Bukan hanya ujian formal dalam konteks
pendidikan tetapi juga ujian akan perjalanan hidup. Ibu adalah pelindung anak mulai
dari segumpal darah sampai dengan titik kematian.
Ibulah itu,
bidadari yang berselendang bianglala//sesekali datang padaku//menyuruhku
menulis langit baru//dengan sajakku. Fatamorgana dalam mencapai cita-cita
kehidupan terus disugestikan oleh seorang ibu pada anaknya. Dalam bait terakhir
ini kembali kita diajak untuk menikmati kata //bianglala//langit biru// sebuah
imajinasi dari tingginya cita-cita seorang ibu pada anaknya. Sedangkan
/bidadari/ adalah sosok penuh kasih dan penuh keajaiban dalam memberikan
sentuhan pertolongan. /dengan sajakku/ dapat kita interprestasikan secara makro
adalah jalan hidup seorang anak. Sekali lagi ibu memberikan ruang dan waktu
yang begitu terbuka akan jalan hidup anaknya.
Menikmati
metafora Zawawi dalam puisi ini memang kental akan pesona semesta. Uniknya
metaphor itu tidak menghasilkan hiperbol. Malah sebaliknya paradoks-paradoks
sederhana akan semesta memunculkan imajinasi mendalam pada pembaca perhatikan
diksi /kemarau/sumur kering/kopyor susu/mayang siwalan/bunga kembang//
samudera/sempit lautan teduh/gua pertapaan/angin sakal/bianglala/. Lebih lagi
media itu digunakan dalam mengekspresikan akan makna seorang ibu dalam
kehidupan. Munculnya rasa haru, kasih dan ketakjudan secara psikologis bermetapfora
dengan realitas pesona semesta. Tentu saja keindahan itu semakin kuat karena
terbangun oleh karakteristik estetika puisi.
Sugiyanto, Guru SMAN 1 Pulung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar