Senin, 10 Oktober 2016

Apresiasi Puisi Zamawi "IBU" Oleh : Sugiyanto

Apresiasi Puisi Zawawi

IBU

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting
hanya  mata airmu airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah Gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci mulut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian dan ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan ku sebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah aku kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit baru
dengan sajakku

1966

D. Zawawi Imron (Bantalku Ombak Selimutku Angin,2002:21)



Bagaimanakah jika ketulusan kasih sayang seorang ibu berbalutkan dengan metafora akan keindahan semesta? Jawabnya mungkin hamparan gunung dengan berbagai balutan tebing. Tempat  mata air, danau dan aneka flora serta fauna menyanyikan lagu hidup. Luas lautan dengan deretan pantai. Lautan  lengkap dengan manikam riak-riak ombak kecil. Di dalamnya menyediakan berbagai ikan dan butiran mutiara. Bahkan tiupan angin dan kesegaran udara menjadikan semakin lengkapnya pesona semesta. Panorama itu memberikan pencitraan keindahan luar biasa pada manusia. Bahkan panorama itu juga kekayaan alam yang memberikan energy kehidupan terhadap manusia. Ternyata tidak demikian dengan  Zawawi. Penyair ini memercikkan berbagai pesona itu dengan estetika tersendiri. Bahkan sering menampilkan sebuah paradoks.
Kedekatan nuansa alam dalam diri penyair sudah kita rasakan mulai dari judul kumpulan puisi ini, Bantalku Ombak Selimutku Angin. Nuansa alam ini benarkah mampu melahirkan sebuah makna sekaligus daya estetika. Mungkinkah pemilihan diksi yang terkait dengat nuansa alam sudah cukup dalam membangun sebuah puisi?  Tentu saja belum estetika puisi ditentukan juga stuktur-struktur pembangun estetika yang lain seperti: diksi, tone, metaphor, simile, onomatope, paradoks dan ironi. Lihat Sutejo dan Kasnadi (Kajian Puisi,2009:144) Bagaimana dengan salah satu puisi Zawawi di atas?
Lapisan pertama atau bahan mentah puisi adalah bunyi-kata, termasuk bentukan-bentukan fonetis yang dibangun berdasarkan bunyi tersebut, lihat Suminto A. Sayuti (Berkenalan dengan  Puisi, 2008:101) Perhatikan bait pertama  // Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau//sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting //hanya  mata airmu airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir//. Apa yang dapat kita rasakan dalam deret baris ini adalah keindahan  fonetis /ku/rau/lu/rau/ur-ur/ur/ ditambah dengan  konstruk frasa //mata airmu airmatamu//  memunculkan  efek-efek estetis luar biasa. Bunyi-bunyi itu begitu intens melapisi kata kemarau, sumur kering, daun gugur, reranting yang tidak lain adalah paradoks pesona alam. Perpaduan bunyi dan diksi pada bait ini seakan membawa pembaca pada sebuah panorama hati akan semesta dan sosok seorang ibu.
//bila aku merantau// Anaforis -merujuk sesuatu yang telah kita ketahui- menurut Teuuw akan menghasilkan makna atau sarana dalam menginterprestasikan sebuah puisi  (Tergantung Pada Kata, 1978:131) Kata merantau  pada dua bait awal sedikit banyak bersinggungan dengan kultur asal penyair yaitu Madura. Masyarakat Madura memang kental dengan kehidupan perantauan. Kata ini mampu menghasilkan sebuah interprestasi begitu jauhnya jarak geografis (alam) antara anak dan ibu. Tetapi kondisi demikian mampu tertutup dengan kedekatan jarak emosi dengan //sedap kopyor susumu dan ronta kenalanku//. Penggalan itu mengintenskan makana kedekatan anak dan ibu. Penyair begitu cerdas memilih kata /kopyor/ sebagai salah satu anugrah alam akan jenis buah kelapa muda yang nikmat. Dengan kata itu menghasilkan imajinasi sedikit nakal tetapi mempertajam makna. Ikatan emosi untuk kembali pada kasih sayang ibu dipertajam lagi dengan //di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/. Apalagi telah kita sadari bahwa air susu ibu adalah hutang setiap manusi yang tak dapat terbayarkan /lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Kembali sebuah ketulusan kasih mampu terekspresikan dengan panorama semesta oleh penyair.
Pengarang kembali menghadirkan sebuah panorama semesta dalam //ibu adalah Gua pertapaanku/. Kata gua mampu membimbing kepada kita dalam sebuah tempat yang sangat luas maupun sangat sempit. Seorang ibu adalah tempat berlindung ataupun tempat kita bermunajab akan makna hidup selamanya. Tempat yang tenang dan begitu melindungi. Ibu sebagai awal kehidupan kita tampak tegas dinyatakan //dan ibulah yang meletakkan aku di sini//. Sosok yang pertama menaburkan bau harum kasih sayang pada kita tetekspresikan dengan tulus //saat bunga kembang menyemerbak bau sayang//. Ibu adalah guru pertama kita yang memberikan pendidikan akan makna hidup. Pendidikan tentang kemana arah hidup. Pendidikan tentang pondasi hidup. Pernyataan-pernyataan itu dapat kita rasakan dalam //ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi//. Pemilihan kata /langit/bumi/ tak lepas dengan kedekatan penyair dengan semesta ini. Dalam realitas proses pendidikan seorang ibu begitu kepada anaknya adalah sesuatu yang tidak dapat dipertentangkan(sebuah dogmatis) //aku mengangguk meskipun kurang mengerti//.
Makna keberadaan seorang ibu yang memberikan arah hidup bagi seorang anak di atas diperkuat dalam bait //bila aku berlayar lalu datang angin sakal//Tuhan yang ibu tunjukkan telah aku kukenal// Seorang ibu memberikan arah hidup kepada anaknya. Seorang ibu selayaknya “mengenalkan” pada anaknya akan orang tua, kerabat, masyarakat, nabi dan Tuhan. Ternyata pondasi hidup ini adalah energy untuk menghadapi derasnya gelombang kehidupan. Kembali pengakuan demikian Zawawi kaitkan dengan fenomena alam yaitu / bila aku berlayar lalu datang angin sakal//. Tampaklah disamping sentuhan estetis penggalan ini menghasilkan efek norma. Norma akan kehidupan seorang ibu dimata seorang anak.
Apa yang dapat kita interprsetasikan dengan deret larik berikut adalah totalitas penggunaan metaphor kembali ke alam. //bila kasihmu ibarat samudra// sempit lautan teduh//tempatku mandi, mencuci mulut pada diri tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh//lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku//. Baris-baris begitu total menggunakan diksi terkait dengan panorama semesta. Ada frasa unik ketika terbaca sempit lautan teduh. Keteduhan selama ini cenderung diinterprestasikan dengan sesuatu yang menaungi. Tetapi penyair mampu menyajikannya dengan imajiner yang tepat. Diksi ini mampu mengkristalkan makna kasih sayang seorang ibu. Seperti alam ibu memberikan apa yang dimiliki untuk hidup seorang anak. Ibu adalah dermaga dari biduk kehidupan seorang anak. Ibu adalah pelabuhan para rantau untuk kembali. Zawawi mampu  menghadirkan citraan yang begitu kuat dalam menghadirkan ibu secara psikologis. //kalau aku ikut ujian dan ditanya tentang pahlawan//namamu, ibu, yang kan ku sebut paling dahulu//lantaran aku tahu//engkau ibu dan aku anakmu//. Sebuah totalitas pengakuan keberadaan seorang ibu tidak hanya dalam konteks sempit keluarga. Pengakuan sosok pahlawan sebagai jawaban dari segala macam ujian adalah sebuah filosofi hidup. Bukan hanya ujian formal dalam konteks pendidikan tetapi juga ujian akan perjalanan hidup. Ibu adalah pelindung anak mulai dari segumpal darah sampai dengan titik kematian.
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala//sesekali datang padaku//menyuruhku menulis langit baru//dengan sajakku. Fatamorgana dalam mencapai cita-cita kehidupan terus disugestikan oleh seorang ibu pada anaknya. Dalam bait terakhir ini kembali kita diajak untuk menikmati kata //bianglala//langit biru// sebuah imajinasi dari tingginya cita-cita seorang ibu pada anaknya. Sedangkan /bidadari/ adalah sosok penuh kasih dan penuh keajaiban dalam memberikan sentuhan pertolongan. /dengan sajakku/ dapat kita interprestasikan secara makro adalah jalan hidup seorang anak. Sekali lagi ibu memberikan ruang dan waktu yang begitu terbuka akan jalan hidup anaknya.
Menikmati metafora Zawawi dalam puisi ini memang kental akan pesona semesta. Uniknya metaphor itu tidak menghasilkan hiperbol. Malah sebaliknya paradoks-paradoks sederhana akan semesta memunculkan imajinasi mendalam pada pembaca perhatikan diksi /kemarau/sumur kering/kopyor susu/mayang siwalan/bunga kembang// samudera/sempit lautan teduh/gua pertapaan/angin sakal/bianglala/. Lebih lagi media itu digunakan dalam mengekspresikan akan makna seorang ibu dalam kehidupan. Munculnya rasa haru, kasih dan ketakjudan secara psikologis bermetapfora dengan realitas pesona semesta. Tentu saja keindahan itu semakin kuat karena terbangun oleh karakteristik estetika puisi.

Sugiyanto, Guru SMAN 1 Pulung 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar