Rabu, 12 Oktober 2016

Menagih Janji Ujian Nasional



Menagih Janji Ujian Nasional
Oleh: Sugiyanto*

Kemendikbud menyatakan Ujian Nasional tahun 2014/2015 digunakan sebagai pemetaan pendidikan. Sementara itu, Bulan April 2016 Ujian Nasional kembali dilaksanakan yang dimulai jenjang SMA/SMK. Pertanyaannya sudahkah janji  UN 2014/2015 telah terpenuhi?
Janji pemetaan pendidikan begitu membuai. Terbayangkan setiap sekolah akan mendapatkan fakta-fakta riil profil sekolah. Guru dan segenap stake holder sekolah akan mendapat rapor dari sebuah kinerja. Adanya peta sekolah juga memudahkan lembaga untuk menentukan prioritas program. Program-program seperti peningkatan SDM, pengadaan sarana dan prarana sekolah, peningkatan mutu sekolah, dan pengembanagan profesi guru terencana dengan baik. Akan lebih optimal ketika tersinergikan dengan Dinas Pendidikan , Dinas Pendidikan Provinsi, apalagi sampai tingkat Nasional. Dengan demikian program sekolah benar-benar diketahui oleh stake holder terkait.
Terbayangkan guru akan mendapatkan rapor kerjanya jika dibanding sekolah lain. Ada rasa kompetitif yang mendorong guru untuk lebih meningkatkan kompetensi. Dinas Pendidikan akan memiliki data akurat terkait peningkatan SDM. Dengan demikian pelatihan-pelatihan guru terencana dengan baik. Bukan sebaliknya, Dinas Pendidikan tidak memprogram peningkatan SDM dengan tepat. Bahkan mungkin tidak perlu melaksanakan program tersebut. Kondisi demikian terjadi jika pemetaan pendidikan tidak akurat. Berdasarkan pemetaan pendidikan, kepengawasan terhadap kepedulian sekolah dalam program peningkatan SDM juga lebih optimal.
Program pemerintah terkait dengan sarana dan prasarana sekolah semakin akurat. Berdasarkan pemetaan itu bisa meminimalis ketidaktepatan program.  Ketidaktepatan tersebut dimungkinkan terjadi dalam hal berikut. 1) Sekolah dengan rombel sedikit malah mendapat RKB; 2) Penerima program pengembangan hanya sekolah-sekolah tertentu dari tahun ke tahun; 3) Ada sekolah yang laboratoriumnya sudah berlebih ada yang belum punya; dan 4) Ada sekolah yang kebutuhan sekundernya saja belum cukup, sekolah lain sudah mendapat fasilitas mewahnya.  Kondisi inilah salah satu penyebab munculnya ketidakmerataan kualitas pendidikan.
Lebih parah lagi kalau dasar penyaluran program sarana berdasarkan pada koneksitas, like dislike, atau faktor tahu sama tahu. Sekali lagi pemetaan sekolah akan meminimalkan kondisi demikian. Seraya sempurna kelelahan sekolah ketika semuanya itu harus berlomba dengan proposal, kalau seperti ini terus kapan siswa mendapatkan layanan pendidikan optimal sehingga mencapai hasil UN tinggi. Dan apa jadinya kalau manajerial sekolah lebih tertarik membuat proposal. Bukan hanya sarana dan prasarana sekolah yang  menghambat. Sekolah kadang harus berurusan dengan akses jalan.
Terimajinasikan juga bahwa pemetaan sekolah akan menghasilkan tinjauan akan pembiayaan sekolah. Semua pihak akan memahami secara baik tentang perbedaan pembiayaan sekolah. Pembiayaan minimal satu sekolah dengan sekolah tentu berbeda. Pemetaan pendidikan akan memberikan gambaran pembiayaan minimal tiap sekolah. Pada akhirnya tidak muncul statemen-statemen negatif tentang biaya sekolah. Pada sisi lain semua pihak mengetahui seberapa besar perhatian pemerintah daerah pada pendidikan. Akhirnya  pemerintah daerah akan mengetahui kebutuhan pendanaan setiap sekolah secara komprehensif.
Selama ini, Euforia UN saat pelaksanaan begitu menarik bagi segenap pihak. Legeslatif, eksekutif, kepolisian, dan beberapa lembaga lain begitu intens memperhatikan sekolah. Kepedulian itu seharusnya dilanjutkan pasca kegiatan. Jika tujuan UN untuk pemetaan, seharusnya pihak-pihak terkait tersebut juga mengawal hal tersebut. Jangan hanya melihat program pendidikan tersebut secara sesaat. Sehingga ketertarikan semua pihak terhadap pendidikan terkesan  bersifat seremonial semu. Semoga janji itu bukan sekedar janji.
                                                                                 *Penulis Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar