Menagih Janji Ujian Nasional
Oleh: Sugiyanto*
Kemendikbud menyatakan Ujian Nasional tahun 2014/2015
digunakan sebagai pemetaan pendidikan. Sementara itu, Bulan April 2016 Ujian
Nasional kembali dilaksanakan yang dimulai jenjang SMA/SMK. Pertanyaannya sudahkah
janji UN 2014/2015 telah terpenuhi?
Janji pemetaan pendidikan begitu membuai. Terbayangkan
setiap sekolah akan mendapatkan fakta-fakta riil profil sekolah. Guru dan
segenap stake holder sekolah akan mendapat rapor dari sebuah kinerja. Adanya
peta sekolah juga memudahkan lembaga untuk menentukan prioritas program.
Program-program seperti peningkatan SDM, pengadaan sarana dan prarana sekolah,
peningkatan mutu sekolah, dan pengembanagan profesi guru terencana dengan baik.
Akan lebih optimal ketika tersinergikan dengan Dinas Pendidikan , Dinas
Pendidikan Provinsi, apalagi sampai tingkat Nasional. Dengan demikian program
sekolah benar-benar diketahui oleh stake
holder terkait.
Terbayangkan guru akan mendapatkan rapor kerjanya jika
dibanding sekolah lain. Ada rasa kompetitif yang mendorong guru untuk lebih
meningkatkan kompetensi. Dinas Pendidikan akan memiliki data akurat terkait
peningkatan SDM. Dengan demikian pelatihan-pelatihan guru terencana dengan
baik. Bukan sebaliknya, Dinas Pendidikan tidak memprogram peningkatan SDM
dengan tepat. Bahkan mungkin tidak perlu melaksanakan program tersebut. Kondisi
demikian terjadi jika pemetaan pendidikan tidak akurat. Berdasarkan pemetaan
pendidikan, kepengawasan terhadap kepedulian sekolah dalam program peningkatan
SDM juga lebih optimal.
Program pemerintah terkait dengan sarana dan prasarana
sekolah semakin akurat. Berdasarkan pemetaan itu bisa meminimalis
ketidaktepatan program. Ketidaktepatan
tersebut dimungkinkan terjadi dalam hal berikut. 1) Sekolah dengan rombel
sedikit malah mendapat RKB; 2) Penerima program pengembangan hanya
sekolah-sekolah tertentu dari tahun ke tahun; 3) Ada sekolah yang
laboratoriumnya sudah berlebih ada yang belum punya; dan 4) Ada sekolah yang
kebutuhan sekundernya saja belum cukup, sekolah lain sudah mendapat fasilitas
mewahnya. Kondisi inilah salah satu penyebab munculnya
ketidakmerataan kualitas pendidikan.
Lebih parah lagi kalau dasar penyaluran program sarana
berdasarkan pada koneksitas, like dislike,
atau faktor tahu sama tahu. Sekali lagi pemetaan sekolah akan meminimalkan
kondisi demikian. Seraya sempurna kelelahan sekolah ketika semuanya itu harus
berlomba dengan proposal, kalau seperti ini terus kapan siswa mendapatkan
layanan pendidikan optimal sehingga mencapai hasil UN tinggi. Dan apa jadinya
kalau manajerial sekolah lebih tertarik membuat proposal. Bukan hanya sarana
dan prasarana sekolah yang menghambat.
Sekolah kadang harus berurusan dengan akses jalan.
Terimajinasikan juga bahwa pemetaan sekolah akan
menghasilkan tinjauan akan pembiayaan sekolah. Semua pihak akan memahami secara
baik tentang perbedaan pembiayaan sekolah. Pembiayaan minimal satu sekolah
dengan sekolah tentu berbeda. Pemetaan pendidikan akan memberikan gambaran
pembiayaan minimal tiap sekolah. Pada akhirnya tidak muncul statemen-statemen
negatif tentang biaya sekolah. Pada sisi lain semua pihak mengetahui seberapa
besar perhatian pemerintah daerah pada pendidikan. Akhirnya pemerintah daerah akan mengetahui kebutuhan
pendanaan setiap sekolah secara komprehensif.
Selama ini, Euforia UN saat pelaksanaan begitu menarik
bagi segenap pihak. Legeslatif, eksekutif, kepolisian, dan beberapa lembaga
lain begitu intens memperhatikan sekolah. Kepedulian itu seharusnya dilanjutkan
pasca kegiatan. Jika tujuan UN untuk pemetaan, seharusnya pihak-pihak terkait
tersebut juga mengawal hal tersebut. Jangan hanya melihat program pendidikan
tersebut secara sesaat. Sehingga ketertarikan semua pihak terhadap pendidikan
terkesan bersifat seremonial semu.
Semoga janji itu bukan sekedar janji.
*Penulis Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar