MEMBANGUN KULTUR
LITERASI
Oleh: Sugiyanto
Kapasitas
internal sekolah adalah kekuatan untuk
ikut serta dalam dan memelihara berlanjutnya pembelajaran dari guru dan sekolah itu sendiri dengan
tujuan meningkatkan pembelajaran murid. Karenanya, menetapkan kapasitas
internal dan kesiapan untuk berubah amat sangat penting untuk agen perubahan
internal dan eksternal. (Macbeth, 2005: 268) Kapasitas ineternal sekolah adalah
pelaku sekligus daya dukung utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi dan pengembangan sekolah khususnya serta pendidikan pada umumnya.
Kapasitas internal sekolah bertanggung jawab baik secara formal maupun
non-formal terhadap kemajuan sekolah. Tanggung jawab formal berkaitan dengan kapasitas
jabatan. Tanggung jawab non-formal berkaiatan dengan harkat dan pola pikir (mind set). Tanggung jawab tersebut akan
terus mengawal dinamika perkembangan sekolah. Etos kerja dan dinamika kapasitas
internal sekolah menghasilkan sebuah kultur sekolah.
Kultur
sekolah yang membuat suatu perbedaan akan sekolah efektif dan kurang efektif.
Kultur sekolah yang menjawab harapan besar orang tua siswa akan keberlanjutan
masa depan anaknya. Harapan tersebut bersinergi dengan motivasi guru, orang
tua, siswa dan masyarakat melahirkan
prestasi baik akademis maupun non-akademis.
Sekolah-sekolah demikian terwujud bukan karena faktor “sejarah atau pemberian” tetapi hasil dari kultur sekolah
efektif. Tentu saja pada sisi lain
adanya kesadaran bahwa diperlukan kemauan untuk belajar. Demikian juga halnya dengan program
literasi. Program ini mempunyai dua sisi
mata uang jika dikaitakan dengan kultur sekolah. Pertama, literasi akan membawa
kehebatan kultur sekolah. Pada sisi lain literasi hanya sebatas proyek ataupun
slogan semu jika tidak didukung oleh kultur sekolah.
Suhardjono (2016) menyatakan literasi
(keberaksaraan) adalah kemampuan membaca dan menulis. Orang dengan kegemaran
membaca dan menulis, umumnya disebut sebagai orang yang (telah) berbudaya
literasi. Ada pula yang mengatakan, budaya literasi adalah kebiasaan berfikir
yang diikuti oleh proses membaca dan menulis.
Pengertian Literasi Sekolah dalam
konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah kemampuan mengakses, memahami,
dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Berdasarkan paparan
tersebut dapat dinyatakan bahwa literasi adalah berbagai aktivitas yang
berkaitan dengan aktivitas berbahasa, khususnya membaca dan menulis.
Program
GLS . (Dirjen Dikdasmen, 2016:3) yang digulirkan oleh Kemendikbud merupakan
sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai
organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan
publik. Tujuan Umum literasi adalah menumbuhkembangkan
budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang
diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah.agar mereka menjadi pembelajar
sepanjang hayat
Tujuan Khusus
adalah: (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah; (b) Meningkatkan
kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat. (c) Menjadikan sekolah
sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu
mengelola pengetahuan. (d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan
menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
Ferguson
(www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi
informasi yang terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi
media, literasi teknologi, dan literasi visual. Namun secara umum kegiatan
dimaksud berkaitan dengan aktivitas membaca. Kegiatan membaca ini didukung oleh
penumbuhan iklim literasi sekolah yang baik. Dalam tahap pembiasaan, iklim
literasi sekolah diarahkan pada pengadaan dan pengembangan lingkungan fisik,
seperti: (a.) buku-buku non-pelajaran (novel, kumpulan cerpen, buku ilmiah
populer,majalah, komik, dsb.); (b). sudut baca kelas untuk tempat koleksi bahan
bacaan; dan (c) poster-poster tentang motivasi pentingnya membaca. Hal demikian
terkait dengan usaha untuk menciptakan lingkungan sekolah dalam membangun
budaya literasi. Penyajian lingkungan memberikan stimulus kepada siswa atau
warga sekolah terkait dengan literasi. Harapannya semua warga sekolah akan
memberikan respon motivasi sehingga tercipta sebuah iklim belajar sepanjang
hayat dengan budaya literasi.
Kegiatan
Literasi meliputi, kegiatan pada tahap pembiasaan ,kegiatan pengembangan, dan tahap
pembelajaran. Tahap pembiasaan meliputi: membaca selama 15 menit setiap hari,
membaca buku dengan meningkatkan peran perpustakaan, membaca terpandu (guided reading), dan membaca mandiri. Tahap
Pengembangan meliputi; menulis komentar singkat, bedah buku, reading award, iklim literasi. Tahap Pembelajaran;
dalam tahap pembelajaran, semua kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan tindak
lanjut ditahap pengembangan dapat diteruskan sebagai bagian dari pembelajaran
dan dinilai secara akademik. (ibid:8-24)
Implementasi di sekolah dapat dilaksanakan dengan mengkaji kondisi riil daya
dukung yang ada. Dan disadari bersama bahwa titil fokus dalam program ini
adalah kondisi pembiasaan.
Kontens
GLS di atas jika terlaksana dengan optimal akan menjadi sebuah kultur sekolah
atau menjadi sekolah berkultur literasi. Dengan demikian, litearsi bukan hanya sekedar proyek kegiatan.
Sekolah berbudaya literasi akan memberikan fundamental proses belajar dan
pengetahuan. Dimungkinkan akan terjadi lompatan dahsyat terciptanya sekolah
efektif. Kondisi demikian bukan hanya bagi
siswa, guru atupun kepala sekolah tetapi untuk masyarakat pada umumnya.
Tingginya budaya bicara, lemahnya karakter santun berkomunikasi ataupun hilangnya
nilai karakter pada umumnya akan terkurangi dengan budaya literasi.
Pada
sisi lain program GLS digulirkan karena rendahnya kompetensi dan budaya membaca
bagi siswa khususnya dan bangsa pada umunya Pada tingkat sekolah menengah (usia
15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain matematika dan
sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi
(OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalamProgramme for
International Student Assessment (PISA). PISA 2009 menunjukkan peserta didik
Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD
493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada
peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak
65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. (Ibid:1)
Keluhan
akan rendahnya budaya baca sudah disampaikan oleh Taufik Ismail, dengan paparan
Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan
Lumpuh Menulis. Pernyataan tersebut berdasarkan generalisasi dari wawancara
dengan siswa-siswi SMU tiga belas negara. Negara-negara tersebut menunjukkan
bahwa minimal 15 buku sastra harus dibaca siswa setelah tamat tingkat Sekolah
Menengah Atas. Sementra Indonesia 0 buku wajib. Kesenjangan tersebut lebih
parah lagi jika dilihat kompetensi mengarang. Siswa negara tersebut sudah
diwajibkan membuat jurnal dan siswa kita tanpa kewajiban apapun (1998). Dengan
demikian membangun kultur literasi memang memerlukan sebuah energy dan kemauan.
Dan dari lingkungan sekolah khususnya dan pendidikan pada umunya yang mampu
melaksanakan.
Pertanyaannya
sekarang apa yang harus dilkukan oleh sekolah dalam membangun kultur literasi?
Beberapa
hal disarankan terkait kegiatan ini pertama pembentukan Tim Literasi Sekolah
(TLS), pengelolaan area baca, pengadaan bacaan di perpustakaan, dan
pengembangan sudut buku di kelas. TLS harus benar-benar mempunyai motivasi
tinggi bahwa tugas mulia ini akan membangun bangsa secara komprehensif. Dengan
demikian pembuatan program kegiatan, penyiapan guru-guru, keterlaksanaan
program, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus benar-benar terkaji
secara optimal. Jika dicermati TLS bertanggung jawab membuat desain pelaksanaan
GLS, menyiapkan guru, dan akan lebih optimal jika monev dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu.
Faktor
mind set segenap stake holder sekolah juga
harus terbangun ideal. Mulai sekarang, dan jangan sampai terlambat, jangan
ada keraguan dari semua pihak akan manfaat dari GLS. Pola pikir warga sekolah
harus menyadari bahwa budaya literasi adalah kebutuhan hakiki sebuah proses
belajar sepanjang hajat. Ada tanggung jawab moral bahwa kegiatan demikian
bukanlah sebatas proyek. Disadari juga bahwa program demikian bukan sekedar
tanggung jawab individu ataupun kelompok tetapi membutuhkan kepekaan hati semua
warga sekolah. Perlu peranserta semua pihak terutama guru untuk keberlangsungan
program. Program literasi bukanlah program instan yang hasilnya dapat dipetik dalam
jangka pendek apalagi berupa financial.
Faktor
Keteladanan merupakan kontens riil yang dapat diamati siswa. Siswa akan dapat
menilai secara langsung kesungguhan akan budaya literasi guru. Kepala Sekolah
dan Guru menunjukkan hasrat yang tinggi dalam konteks membaca dan menulis.
Guru-guru mempunyai cukup banyak buku baik terkait referensi maupun buku-buku
penunjang. Guru-guru tidak alergi membaca sastra. Guru mau berbagi pengalaman
membaca di depan kelas. Berbagai tulisan guru baik artikel, jurnal, hasil
penelitian, puisi, cerpen, buku dan karya lain dapat dibaca dan dinikmati siswa.
Tantangan demikian bukanlah hal yang sulit bagi guru. Hanya membutuhkan
kesempatan membagi waktu dan memulai untuk menulis.
Faktor
kreativitas TLS dalam menskenario GLS mempengaruhi kesemarakan program.
Sebelum atau bersamaan dengan
pelaksanaan diperlukan kegiatan pelatian terhadap guru-guru. Materi pelatiaan
terkait berbagai genre teks ataupun pelatian jurnalistik. Materi ini sangat
diperlukan mengingat nantinya khususnya dalam kegiatan pengembangan siswa akan
membuat berbagai genre teks. Guru-guru akan mencoba berlatih dan menghasilkan
produk berbagai teks seperti: artikel, resensi, laporan, kegiatan, reproduksi
teks, juranal dan sebaginya. Sangat dimungkinkan diantara para guru belum
pernah berpraktik menulis teks-teks tersebut. Selain hal tersebut penyediaan
majalah dinding tiap kelas, dan/atau menerbitkan majalah sekolah tentu sangat
bermanfaat.
Berbagai
kegiatan kreatif yang layaknya dikembangkan seperti: (i) buatlah perpustakaan
layaknya tempat wisata, (ii) mengajak anak-anak berwisata buku, atau
berpameran, (iii) membeli atau menyediakan buku sesuai hobi anak, (iv)
menuliskan pengalaman baca buku ke dalam 2-3 paragraf, (v) kegiatan berbagi
pengalaman membaca, (vi) guru wajib kaya dengan pengalaman baca buku untuk
model, (vii) adakan lomba resensi buku sederhana, (viii) festival baca dan
cinta buku, (ix) hadirkan pionir literasi di sekolah, (x) iringi dengan
kegiatan mandiri satu hari satu puisi, (xi) satu bulan satu cerita menarik atau
cerpen sederhana, (xii) berikan penghargaan pada siswa pelopor literasi tiap
bulan dan diberikan saat upacara bendera di hari Senin. (xiii) (Sutejo, 2016)
Kegiatan tersebut masih bisa ditambah dengan dengan pementasan drama kreasi
teks siswa, dan pementasan baca cerpen. Berbagai kegiatan kreatif ini sangat
membantu kesuksesan GLS. Kreativitas akan menghilangkan kesan monoton membuaty
siswa cepat jenuh.
Paparan
di atas sebagai upaya bagaimana membangun kultur literasi dimungkinkan dapat
terlaksana dengan baik. Perlu sebuah keyakinan bahwa GLS akan membangun sebuah
kultur literasi. Bukan adanya proyek belaka. Kultur literasi akan menjadi
lompatan sebuah sekolah efektif. Tingginya budaya baca dan tulis oleh segenap
stake holder sekolah menjamin pencapaian sekolah efektif. Selamat berliterasi
guru-guru hebat. Salam literasi.
…………………..
Makalah
disajikan dalam kegiatan sosialisasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
di
SMAN 1 Ponorogo, 8 September 2016
Pustaka
Dirjen
Dikdasmen. 2016. Panduan Gerakan Literasi
di Sekolah Menengah Atas
Hardjono. 2016. Guru dan Budaya Literasi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
PGRI Kab Ponorogo
Ismail, Taufik.
1998. Benarkah Bangsa Kita telah Rabun
Membaca dan Lumpuh Menulis. Makalah
Pelatian Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra bagi guru SMA
Macbeath, John
dan peter Mortimore.2005. Memperbaiki Efektivitas Sekolah.
Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Jakarta: PT Grasindo.
Sutejo, Pilot Projeck Sekolah Literasi. Jawa Pos,
Radar Madiun 2 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar