Kamis, 13 Oktober 2016

MEMBANGUN KULTUR LITERASI



MEMBANGUN KULTUR LITERASI
Oleh: Sugiyanto

Kapasitas internal  sekolah adalah kekuatan untuk ikut serta dalam dan memelihara berlanjutnya pembelajaran  dari guru dan sekolah itu sendiri dengan tujuan meningkatkan pembelajaran murid. Karenanya, menetapkan kapasitas internal dan kesiapan untuk berubah amat sangat penting untuk agen perubahan internal dan eksternal. (Macbeth, 2005: 268) Kapasitas ineternal sekolah adalah pelaku sekligus daya dukung utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengembangan sekolah khususnya serta pendidikan pada umumnya. Kapasitas internal sekolah bertanggung jawab baik secara formal maupun non-formal terhadap kemajuan sekolah. Tanggung jawab formal berkaitan dengan kapasitas jabatan. Tanggung jawab non-formal berkaiatan dengan harkat dan pola pikir (mind set). Tanggung jawab tersebut akan terus mengawal dinamika perkembangan sekolah. Etos kerja dan dinamika kapasitas internal sekolah menghasilkan sebuah kultur sekolah.
Kultur sekolah yang membuat suatu perbedaan akan sekolah efektif dan kurang efektif. Kultur sekolah yang menjawab harapan besar orang tua siswa akan keberlanjutan masa depan anaknya. Harapan tersebut bersinergi dengan motivasi guru, orang tua, siswa dan masyarakat  melahirkan prestasi baik akademis maupun non-akademis.  Sekolah-sekolah demikian terwujud bukan karena faktor “sejarah atau pemberian”  tetapi hasil dari kultur sekolah efektif.  Tentu saja pada sisi lain adanya kesadaran bahwa diperlukan kemauan untuk belajar.  Demikian juga halnya dengan program literasi.  Program ini mempunyai dua sisi mata uang jika dikaitakan dengan kultur sekolah. Pertama, literasi akan membawa kehebatan kultur sekolah. Pada sisi lain literasi hanya sebatas proyek ataupun slogan semu jika tidak didukung oleh kultur sekolah.

Suhardjono (2016) menyatakan literasi (keberaksaraan) adalah kemampuan membaca dan menulis. Orang dengan kegemaran membaca dan menulis, umumnya disebut sebagai orang yang (telah) berbudaya literasi. Ada pula yang mengatakan, budaya literasi adalah kebiasaan berfikir yang diikuti oleh proses membaca dan menulis.
Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Berdasarkan paparan tersebut dapat dinyatakan bahwa literasi adalah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan aktivitas berbahasa, khususnya membaca dan menulis.
Program GLS . (Dirjen Dikdasmen, 2016:3) yang digulirkan oleh Kemendikbud merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Tujuan Umum  literasi adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah.agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat
Tujuan Khusus adalah: (a) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah; (b) Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat. (c) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. (d) Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
Ferguson (www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi yang terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Namun secara umum kegiatan dimaksud berkaitan dengan aktivitas membaca. Kegiatan membaca ini didukung oleh penumbuhan iklim literasi sekolah yang baik. Dalam tahap pembiasaan, iklim literasi sekolah diarahkan pada pengadaan dan pengembangan lingkungan fisik, seperti: (a.) buku-buku non-pelajaran (novel, kumpulan cerpen, buku ilmiah populer,majalah, komik, dsb.); (b). sudut baca kelas untuk tempat koleksi bahan bacaan; dan (c) poster-poster tentang motivasi pentingnya membaca. Hal demikian terkait dengan usaha untuk menciptakan lingkungan sekolah dalam membangun budaya literasi. Penyajian lingkungan memberikan stimulus kepada siswa atau warga sekolah terkait dengan literasi. Harapannya semua warga sekolah akan memberikan respon motivasi sehingga tercipta sebuah iklim belajar sepanjang hayat dengan budaya literasi.
Kegiatan Literasi meliputi, kegiatan pada tahap pembiasaan ,kegiatan pengembangan, dan tahap pembelajaran. Tahap pembiasaan meliputi: membaca selama 15 menit setiap hari, membaca buku dengan meningkatkan peran perpustakaan, membaca terpandu (guided reading), dan membaca mandiri. Tahap Pengembangan meliputi; menulis komentar singkat, bedah buku, reading award, iklim literasi. Tahap Pembelajaran; dalam tahap pembelajaran, semua kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan tindak lanjut ditahap pengembangan dapat diteruskan sebagai bagian dari pembelajaran dan dinilai secara akademik.  (ibid:8-24) Implementasi di sekolah dapat dilaksanakan dengan mengkaji kondisi riil daya dukung yang ada. Dan disadari bersama bahwa titil fokus dalam program ini adalah kondisi pembiasaan.
Kontens GLS di atas jika terlaksana dengan optimal akan menjadi sebuah kultur sekolah atau menjadi sekolah berkultur literasi. Dengan demikian,  litearsi bukan hanya sekedar proyek kegiatan. Sekolah berbudaya literasi akan memberikan fundamental proses belajar dan pengetahuan. Dimungkinkan akan terjadi lompatan dahsyat terciptanya sekolah efektif. Kondisi demikian bukan hanya bagi  siswa, guru atupun kepala sekolah tetapi untuk masyarakat pada umumnya. Tingginya budaya bicara, lemahnya karakter santun berkomunikasi ataupun hilangnya nilai karakter pada umumnya akan terkurangi dengan budaya literasi.
Pada sisi lain program GLS digulirkan karena rendahnya kompetensi dan budaya membaca bagi siswa khususnya dan bangsa pada umunya Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalamProgramme for International Student Assessment (PISA). PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor ratarata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. (Ibid:1)
Keluhan akan rendahnya budaya baca sudah disampaikan oleh Taufik Ismail, dengan paparan Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis. Pernyataan tersebut berdasarkan generalisasi dari wawancara dengan siswa-siswi SMU tiga belas negara. Negara-negara tersebut menunjukkan bahwa minimal 15 buku sastra harus dibaca siswa setelah tamat tingkat Sekolah Menengah Atas. Sementra Indonesia 0 buku wajib. Kesenjangan tersebut lebih parah lagi jika dilihat kompetensi mengarang. Siswa negara tersebut sudah diwajibkan membuat jurnal dan siswa kita tanpa kewajiban apapun (1998). Dengan demikian membangun kultur literasi memang memerlukan sebuah energy dan kemauan. Dan dari lingkungan sekolah khususnya dan pendidikan pada umunya yang mampu melaksanakan.
Pertanyaannya sekarang apa yang harus dilkukan oleh sekolah dalam membangun kultur literasi?
Beberapa hal disarankan terkait kegiatan ini pertama pembentukan Tim Literasi Sekolah (TLS), pengelolaan area baca, pengadaan bacaan di perpustakaan, dan pengembangan sudut buku di kelas. TLS harus benar-benar mempunyai motivasi tinggi bahwa tugas mulia ini akan membangun bangsa secara komprehensif. Dengan demikian pembuatan program kegiatan, penyiapan guru-guru, keterlaksanaan program, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus benar-benar terkaji secara optimal. Jika dicermati TLS bertanggung jawab membuat desain pelaksanaan GLS, menyiapkan guru, dan akan lebih optimal jika monev dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. 
Faktor mind set segenap stake holder sekolah juga  harus terbangun ideal. Mulai sekarang, dan jangan sampai terlambat, jangan ada keraguan dari semua pihak akan manfaat dari GLS. Pola pikir warga sekolah harus menyadari bahwa budaya literasi adalah kebutuhan hakiki sebuah proses belajar sepanjang hajat. Ada tanggung jawab moral bahwa kegiatan demikian bukanlah sebatas proyek. Disadari juga bahwa program demikian bukan sekedar tanggung jawab individu ataupun kelompok tetapi membutuhkan kepekaan hati semua warga sekolah. Perlu peranserta semua pihak terutama guru untuk keberlangsungan program. Program literasi bukanlah program instan yang hasilnya dapat dipetik dalam jangka pendek apalagi berupa financial.  
Faktor Keteladanan merupakan kontens riil yang dapat diamati siswa. Siswa akan dapat menilai secara langsung kesungguhan akan budaya literasi guru. Kepala Sekolah dan Guru menunjukkan hasrat yang tinggi dalam konteks membaca dan menulis. Guru-guru mempunyai cukup banyak buku baik terkait referensi maupun buku-buku penunjang. Guru-guru tidak alergi membaca sastra. Guru mau berbagi pengalaman membaca di depan kelas. Berbagai tulisan guru baik artikel, jurnal, hasil penelitian, puisi, cerpen, buku dan karya lain dapat dibaca dan dinikmati siswa. Tantangan demikian bukanlah hal yang sulit bagi guru. Hanya membutuhkan kesempatan membagi waktu dan memulai untuk menulis.
Faktor kreativitas TLS dalam menskenario GLS mempengaruhi kesemarakan program. Sebelum  atau bersamaan dengan pelaksanaan diperlukan kegiatan pelatian terhadap guru-guru. Materi pelatiaan terkait berbagai genre teks ataupun pelatian jurnalistik. Materi ini sangat diperlukan mengingat nantinya khususnya dalam kegiatan pengembangan siswa akan membuat berbagai genre teks. Guru-guru akan mencoba berlatih dan menghasilkan produk berbagai teks seperti: artikel, resensi, laporan, kegiatan, reproduksi teks, juranal dan sebaginya. Sangat dimungkinkan diantara para guru belum pernah berpraktik menulis teks-teks tersebut. Selain hal tersebut penyediaan majalah dinding tiap kelas, dan/atau menerbitkan majalah sekolah tentu sangat bermanfaat.
Berbagai kegiatan kreatif yang layaknya dikembangkan seperti: (i) buatlah perpustakaan layaknya tempat wisata, (ii) mengajak anak-anak berwisata buku, atau berpameran, (iii) membeli atau menyediakan buku sesuai hobi anak, (iv) menuliskan pengalaman baca buku ke dalam 2-3 paragraf, (v) kegiatan berbagi pengalaman membaca, (vi) guru wajib kaya dengan pengalaman baca buku untuk model, (vii) adakan lomba resensi buku sederhana, (viii) festival baca dan cinta buku, (ix) hadirkan pionir literasi di sekolah, (x) iringi dengan kegiatan mandiri satu hari satu puisi, (xi) satu bulan satu cerita menarik atau cerpen sederhana, (xii) berikan penghargaan pada siswa pelopor literasi tiap bulan dan diberikan saat upacara bendera di hari Senin. (xiii) (Sutejo, 2016) Kegiatan tersebut masih bisa ditambah dengan dengan pementasan drama kreasi teks siswa, dan pementasan baca cerpen. Berbagai kegiatan kreatif ini sangat membantu kesuksesan GLS. Kreativitas akan menghilangkan kesan monoton membuaty siswa cepat jenuh.
Paparan di atas sebagai upaya bagaimana membangun kultur literasi dimungkinkan dapat terlaksana dengan baik. Perlu sebuah keyakinan bahwa GLS akan membangun sebuah kultur literasi. Bukan adanya proyek belaka. Kultur literasi akan menjadi lompatan sebuah sekolah efektif. Tingginya budaya baca dan tulis oleh segenap stake holder sekolah menjamin pencapaian sekolah efektif. Selamat berliterasi guru-guru hebat. Salam literasi.
                                                            …………………..
Makalah disajikan dalam kegiatan sosialisasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
di SMAN 1 Ponorogo, 8 September 2016
Pustaka
Dirjen Dikdasmen. 2016. Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Menengah Atas
Hardjono. 2016. Guru dan Budaya Literasi. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional PGRI Kab Ponorogo
Ismail, Taufik. 1998. Benarkah Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis.   Makalah Pelatian Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra bagi guru SMA
Macbeath, John dan peter Mortimore.2005. Memperbaiki Efektivitas Sekolah. Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Jakarta: PT Grasindo.
Sutejo, Pilot Projeck Sekolah Literasi. Jawa Pos, Radar Madiun 2 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar