Selasa, 25 Oktober 2016

Cerpen PEREMPUAN TERORIS


PEREMPUAN TERORIS 
Oleh: Sugiyanto
SMA NEGERI PULUNG PONOROGO

Indonesia 1997. Bulan Januari.  Di sebuah malam, seorang perempuan dengan gelisah terduduk di kamarnya. Kamar elit di sebuah hotel berbintang. Wajahnya lembut terbalut dendam. Senyumnya tipis menghunus belati. Rambutnya setengah ikal menyembunyikan kesumat pada bangsanya.
“Jakarta adalah kota yang paling munafik di dunia,” akunya dalam batin. Ia membuka-buka buku hariannya. “Kota ini, simbol keterpurukan   SDM bangsa. Kemampuan baca anak SD terendah di Asean. Negara penghutang terbesar setelah Brasil. Negara terkorup.” Dia melihat bagaimana bebasnya koruptor negeri berkeliaran. Dia mengusap wajahnya, “Ah! Sebuah negeri drakula.” Ya, negeri para bandit.
***
“Pak De, beri aku 1 Milyar saja. Ya, 1 M.” rajuknya pada seorang paranormal yang malam itu ia datangi. Lelaki tua yang dipanggilnya Pak De hanya tersenyum. Menggeleng. Tetapi matanya teduh memancarkan cahaya kenabian. “Pak De ragu akan tekatku?” sudut perempuan itu sembari melotot. “Tekatku satu Pak De: jadi teroris untuk menghancurkan para koruptor yang berkeliaran.” Mata perempuan itu berubah api. Memancarkan kebencian yang nyaris tak terukur. “Nak, bagaimanapun baiknya niatmu kalau masih kaulapisi dendam, akan berbuah petaka. Bagaimanapun agungnya citamu kalau jalan yang kau tempuh menikung akan berbuah marabahaya.” sahut Pak De kemudian. “Tapi ini jihad, Pak De!”
“Ah, jihad tak usah diucapkan.”
Perempuan itu tertunduk. Dia paham kalau lelaki itu wajahnya sudah berubah, ia tahu bahwa dia tidak setuju dengan apa yang ia inginkan.
***
“Kiai, beri aku 1 Milyar saja. Ya, 1 M.” pintanya pada kesempatan lain ketika Pak De tidak mau mengabulkan permintaannya. “Sulap saja kiai kertas-kertas itu jadi rupiah. Atau, kirim jin kiai untuk mencuri uang para koruptor negeri ini.” Perempuan itu  --yang dulu dikenal sebagai simpanan seorang menteri di zaman Orde Baru— membelakkan mata. “Apa kiai setuju dengan para bajingan itu sehingga tidak menyetujui rencanaku?” Lelaki yang dipanggil kiai itu mengangkat jidatnya. Tersenyum getir. Kemudian menggeleng. “Nurani manakah yang berpihak pada kejahatan?” Jawabnya pendek.
Sebagai perempuan simpanan yang malang-melintang berpuluh tahun di dunia intertaitment seks, ia tahu betul bagaimana mentalitas birokrat dan pejabat negeri ini. Orang-orang yang dilayani –yang rata-rata pejabat—nyaris selalu menceritakan kebanggaannya akan kecerdikannya merampok negara. “Bangsa ini adalah bangsa yang bodoh,” begitu kata seorang birokrat yang pernah dilayaninya.
Perempuan itu menggeleng. “Memangnya?”
“Mana mungkin menyulap kemajuan dengan utang. Mendingan aku, menyulap kehidupanku dengan korupsi.” Lelaki itu setengah menebah dadanya kemudian mengurai pakaian dinasnya dengan penuh semangat. Perempuan itu kecut. Dilihatnya, masih ada sisa keringat –yang bukan karena kerja, tetapi karena makan siangnya yang kelewat batas— ia bayangkan ada sisa kecut di tubuhnya. Bau apak di sekitar bibirnya. Tetapi perempuan itu bangga. Pengalamannya mengatakan, bahwa lelaki perokok jauh lebih maniak seks daripada yang tidak. “Bau apak adalah gelora tersendiri dalam hidupnya.” Ungkapnya suatu waktu.
Lelaki itu dengan sigap, dan sisa gairah makan siangnya; berjalan mantap ke kamar. Kemudian dengan sigap pula, menguliti perempuan di hadapannya seperti sigapnya menyantap buah pisang usai makan siangnya.
***
Lima tahun kemudian.
Air bah meluap ke mana-mana. Wajah kota tenggelam. Dan vila kontrakannya, 220 meter persegi terendam air. Ia berpikir, “Kini, bahasa apa lagi yang harus kupahami dari isyarat air. Jakarta tak pernah banjir sedahsyat ini.” Ia teringat, lelaki langganannya yang pernah bercerita demikian bangga tentang pembangunan vila pribadinya di Puncak. Meski, melanggar tata ruang kota, pejabat itu dengan setengah kelakar bilang, “Ah, itu kan bisa diatur. Apa yang tidak bisa diatur di negeri ini?”
Perempuan itu diam, dia paham betul apa arti “bahasa diatur” bagi seorang birokrat. Diatur itu salah satu bentuk kolusi. Hutan-hutan beratus juta hektar yang dibakar itu pun bisa diatur. Lima tahun lalu, bagaimana hutan-hutan membara. Gundul. “Inikah salah satu jawaban dari kelicikan konglomerat yang tak tahu malu itu?” sudut batin perempuan itu keras.
Malam itu, ketika banjir ia dapat call dari rekanannya. Kali ini, yang menghendaki seorang konglomerat pribumi, yang tidak saja memiliki aset ratusan milyar, tetapi juga aktif dalam eforia politik. Era reformasi baginya, adalah laut lepas  dengan gelombang badai yang ia arungi dengan kapal selam super canggih.
“Bagaimana, Laras?” begitu suara dari balik handphone-nya. “Tentu.” Jawab perempuan itu. “Di mana?” ucap bibirnya lembut. “Hotel berbintang dekat bundaran HI? Oke?” lagi-lagi begitu suara di balik handphone-nya bersemangat. Perempuan itu berpikir, dua kali ia datangi paranormal dan seorang kiai, gagal. Kali ini, tidak boleh! Bisiknya.
Dari mobil mewahnya, BMW secondhand perempuan itu meluncur. Menyemut di antara kendaraan yang melintas di jantung kota. Sambil berpikir, perempuan itu terbayang akan niatnya menjadi perempuan teroris. Sudah beberapa hari, dia belajar bahasa teror ala Putu Wijaya yang demikian kental melalui cerita-ceritanya. “Aku harus berhasil!” tekad batinnya keras.
***
“Bagaimana Mas Mot? Kangenku, adalah serigala betina yang liar menyusuri belantara baru.” Ucap perempuan itu mengawali. Lelaki yang dipanggilnya Mas Mot tersenyum teduh. Kumisnya yang hitam lebat, kali ini dicukur tipis mengingatkan akan demikian romantisnya permainan lelaki itu. Ya, lelaki konglomerat yang kaya akan permainan. Lelaki itu, kaya segalanya.
Ketika masuki kamar hotel di lantai 4, perempuan itu  berdoa “Mudah-mudahan lelaki yang satu ini, mengabulkan permintaannya untuk memberikan satu milyar. Ya, 1 M.
Lelaki itu menggandeng lembut. Laras tersenyum puas. Hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu di simpang jalan adalah lalu lalang emosi seks dan emosi dendamnya yang saling menikung. “Ah, aku tak boleh gagal,” bisiknya. Bibir perempuan itu komat-komat seakan membaca mantra. Matanya tajam, wajahnya anggun: tetapi bermata elang. Siapa percaya perempuan secantik itu menjalani hidupnya seperti judi.
Pukul 21.00 WIB.
Di kamar itu, lelaki ganteng itu langsung menyalakan tv untuk mencari channel  yang di-sander dari “stasiun hotel” yang menayangkan film unyil. Ya, film unyil yang disiarkan sebagai salah satu servis hotel terhadap tamu. Biasanya diputar hingga pukul 01.00 WIB.
Sambil merebahkan tubuhnya lelaki itu bilang, ”Bagaimana Laras?” tanyanya lembut. “Maksud, Mas Mot?” sahutnya genit.
“Baru dua minggu kamu sudah lupa, sayang?”
Perempuan itu menggeleng. Untuk menjaga human relations dengan para klien-nya, ia selalu berbahasa “positif’. Hal itu, semata-mata untuk menghindarkan sisip komunikasi saja. Selebihnya, tegantung.
Sambil menonton film semi blue: yang bercerita tentang seorang guru privat memberikan bimbingan les, kepada anak lelaki yang beberapa tahun membunuh habis keluarganya. Guru privat itu menyimpan dendam. Dua anak laki-lakinya diajari bagaimana dapat “bermain-main” naluri laki-laki di sela-sela ia mengajarkan materi bidang studi di sekolah. Dua lelaki itu sangat terkesan dengan guru privatnya. Ibunya, dibius dengan laku seorang guru yang keibuan: pembimbing. Ibunya bangga. Perempuan, si guru itu hatinya tertawa.
“Lihat, bagaimana Laras?”
Laras tersenyum kecil. “Guru itu pinter sekali, Laras.” Puji lelaki itu.
Perempuan itu hanya menggangguk, “Lalu?”
“Bagaimana?”
Certaint.
***
Laras memasuki gedung Kejaksaan. Dengan rileks perempuan itu menganyam tipu. Pesan Mas Mot dilaksanakannya dengan hati-hati. Dengan gaya seorang feminis, perempuan itu tampak dinamis. Potret perempuan karier sejati. Dari sisi lubuk hatinya bilang, “Aku memang benci konglomerat. Tetapi aku tak bisa membenci konglomerat yang satu ini. Tempat ini, menjadi pergulatan dendam dan cinta.” bisiknya.
30 menit kemudian bom meledak. Pegawai kejaksaan panik. Para tamu heboh. Gedung rontok. Dari kejauhan, Laras tersenyum: “Aku cinta padamu, Mas.  Katamu, kau akan kasih aku surprise setelah ini. Satu milyar, kan?” bisik hatinya kuat.
Dari vila mewahnya di Puncak, lelaki teman kencan Laras; lima menit berikutnya menyaksikan luluh lantaknya gedung bundar dengan bangga. Jemari tangannya mengepal. Sorot matanya puas. Ia petik bungkusan yang menggelantung di samping ruang tamu, ia taburkan isinya di atas lepek kaca. Ia hirup dalam. Sakaw.
“Ha ha ha, kau memang pintar, Laras.” teriaknya. “Mana ada perempuan secantik kamu? Secerdik kamu? Akan kuhadiahkan kepadamu, lima bungkus obat kuat, lima tablet hemaviton action, dan empat bungkus Irex. Bagaimana?”
***
Siapa menyangka kalau perempuan selembut itu begitu kejam. Ia sesungguhnya korban dari sebuah sejarah: ibu dan bapaknya tewas dari sebuah peristiwa hitam tahun 1965. Enam kakak laki-lakinya, dua di antaranya menjadi saksi atas kebiadaban sejarah. Empat saudaranya melengkapi peristiwa tragis yang tidak pernah ia bayangkan. Dan, perempuan itu –si bungsu--; menjadi satu-satunya perempuan yang dapat melukiskan peristiwa itu dengan detail. Melalui hatinya.
Perempuan itu menganyam dendam. Ia kemas tubuh cantiknya dengan wajah bidadari di satu sisi, dan ia lukis  monumen kekejaman di sisi lainnya. Sekeping bulan purnama dengan pendar cahaya yang terbelah. Dua puluh tahun berikutnya, ia mengubah hidupnya menjadi intertiment emosi yang ulung. Di Jakarta ia malang-melintang. Striptise.
Dua kali ia pernah bersuami. Tetapi begitu juga suami-suaminya –seperti umumnya lelaki—ia memintal hidupnya dengan egoisme--. Perempuan suamiku yang pertama, sepertiku –dan aku banyak belajar darinya--. Sebelum, asa itu tiba, perempuan  suamiku yang kedua justru seorang perempuan birokrat. Setan gundul. “Bagaimana aku harus membenci sesama perempuan? Bukankah mereka diriku sendiri?” tanya batinnya keras. “Mengapa aku tidak membenci laki-laki saja? Bukankah perempuan adalah makhluk yang lemah?”
Malam itu, di vilanya yang indah; Laras membuka-buka kembali buku hariannya. Ia menghitung tamu-tamunya: 199 nama birokrat, 47 menteri, 4 orang pegawai kejaksaan, 76 perwira dan jenderal, 2 orang dosen, 1 orang peneliti, 2 kiai, 17 orang advokat, 5 orang dokter, 47 konglomerat, dan 13 seniman. Semuanya tergurat jelas dengan paraf kehadiran. Tamu pertamanya, seorang birokrat  tertanggal: 17 Agustus 1977, ketika ia berumur 16 tahun. Kini ia berumur 41 tahun. Tetapi wajahnya bicara ia berkisar 30 tahun. Dia masih jelas untuk melukis bagaimana wajah mereka. Gaya bicara, gaya bermain, sampai bagaimana permintaan mereka masing-masing. Di antara semua itu, ia sangat terkesan dengan 2 orang tamu  seniman. “Mungkin,  seniman itu berhati seni, perokok, dan pemabuk. Mengenangnya,  25 kali lipat lebih indah daripada tamu menteri.” Akunya lembut.
Ia membuka bajunya, satu-satu. Bugil. Di kamarnya yang semerbak harum, perempuan itu terlentang. Ia bayangkan memetik bulan. Memindah-mindah bintang seperti mainan anak-anak. Di langit-langit kamarnya, ia bermimpi menjadi Presiden RI. “Bukankah aku banyak akses dengan berbagai lapisan?” sudut batinnya.  Dengan sprei berwarna merah, dua guling yang merah, selimut merah, perempuan itu tersenyum merah. Di balik bantalnya, 3-4 bom aktif masih tersisa dari tugas teman kencannya kemarin malam. Terlentang. Sambil memandang ayat kursi yang terpajang di dinding kamarnya, dia berdoa sebelum tidur. Dia berdoa agar kencannya dengan elit legislatif besok tidak   terhalang. “Tuhan, ajari aku bahasa politik untuk menaklukkan elit politik itu di pantatku.” Ucapnya dengan khusuk.
***

                                                           Ponorogo, Februari 2010

                                     Drs. Sugiyanto
                                                                Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar