PEREMPUAN
TERORIS
Oleh: Sugiyanto
SMA NEGERI PULUNG
PONOROGO
Indonesia
1997. Bulan Januari. Di sebuah malam,
seorang perempuan dengan gelisah terduduk di kamarnya. Kamar elit di sebuah
hotel berbintang. Wajahnya lembut terbalut dendam. Senyumnya tipis menghunus
belati. Rambutnya setengah ikal menyembunyikan kesumat pada bangsanya.
“Jakarta
adalah kota yang paling munafik di dunia,” akunya dalam batin. Ia membuka-buka
buku hariannya. “Kota ini, simbol keterpurukan
SDM bangsa. Kemampuan baca anak SD terendah di Asean. Negara penghutang
terbesar setelah Brasil. Negara terkorup.” Dia melihat bagaimana bebasnya
koruptor negeri berkeliaran. Dia mengusap wajahnya, “Ah! Sebuah negeri
drakula.” Ya, negeri para bandit.
***
“Pak De, beri aku 1 Milyar saja. Ya, 1 M.”
rajuknya pada seorang paranormal yang malam itu ia datangi. Lelaki tua yang
dipanggilnya Pak De hanya tersenyum. Menggeleng. Tetapi matanya teduh
memancarkan cahaya kenabian. “Pak De ragu akan tekatku?” sudut perempuan itu
sembari melotot. “Tekatku satu Pak De: jadi teroris untuk menghancurkan para
koruptor yang berkeliaran.” Mata perempuan itu berubah api. Memancarkan
kebencian yang nyaris tak terukur. “Nak, bagaimanapun baiknya niatmu kalau
masih kaulapisi dendam, akan berbuah petaka. Bagaimanapun agungnya citamu kalau
jalan yang kau tempuh menikung akan berbuah marabahaya.” sahut Pak De kemudian.
“Tapi ini jihad, Pak De!”
“Ah, jihad
tak usah diucapkan.”
Perempuan itu
tertunduk. Dia paham kalau lelaki itu wajahnya sudah berubah, ia tahu bahwa dia
tidak setuju dengan apa yang ia inginkan.
***
“Kiai, beri
aku 1 Milyar saja. Ya, 1 M.” pintanya pada kesempatan lain ketika Pak De tidak
mau mengabulkan permintaannya. “Sulap saja kiai kertas-kertas itu jadi rupiah.
Atau, kirim jin kiai untuk mencuri uang para koruptor negeri ini.” Perempuan
itu --yang dulu dikenal sebagai simpanan
seorang menteri di zaman Orde Baru— membelakkan mata. “Apa kiai setuju dengan
para bajingan itu sehingga tidak menyetujui rencanaku?” Lelaki yang dipanggil
kiai itu mengangkat jidatnya. Tersenyum getir. Kemudian menggeleng. “Nurani
manakah yang berpihak pada kejahatan?” Jawabnya pendek.
Sebagai
perempuan simpanan yang malang-melintang berpuluh tahun di dunia intertaitment
seks, ia tahu betul bagaimana mentalitas birokrat dan pejabat negeri ini.
Orang-orang yang dilayani –yang rata-rata pejabat—nyaris selalu menceritakan
kebanggaannya akan kecerdikannya merampok negara. “Bangsa ini adalah bangsa
yang bodoh,” begitu kata seorang birokrat yang pernah dilayaninya.
Perempuan itu
menggeleng. “Memangnya?”
“Mana mungkin
menyulap kemajuan dengan utang. Mendingan aku, menyulap kehidupanku dengan
korupsi.” Lelaki itu setengah menebah dadanya kemudian mengurai pakaian
dinasnya dengan penuh semangat. Perempuan itu kecut. Dilihatnya, masih ada sisa
keringat –yang bukan karena kerja, tetapi karena makan siangnya yang kelewat
batas— ia bayangkan ada sisa kecut di tubuhnya. Bau apak di sekitar bibirnya.
Tetapi perempuan itu bangga. Pengalamannya mengatakan, bahwa lelaki perokok
jauh lebih maniak seks daripada yang tidak. “Bau apak adalah gelora tersendiri
dalam hidupnya.” Ungkapnya suatu waktu.
Lelaki itu
dengan sigap, dan sisa gairah makan siangnya; berjalan mantap ke kamar.
Kemudian dengan sigap pula, menguliti perempuan di hadapannya seperti sigapnya
menyantap buah pisang usai makan siangnya.
***
Lima tahun
kemudian.
Air bah
meluap ke mana-mana. Wajah kota tenggelam. Dan vila kontrakannya, 220 meter
persegi terendam air. Ia berpikir, “Kini, bahasa apa lagi yang harus kupahami
dari isyarat air. Jakarta tak pernah banjir sedahsyat ini.” Ia teringat, lelaki
langganannya yang pernah bercerita demikian bangga tentang pembangunan vila
pribadinya di Puncak. Meski, melanggar tata ruang kota, pejabat itu dengan
setengah kelakar bilang, “Ah, itu kan bisa diatur. Apa yang tidak bisa diatur
di negeri ini?”
Perempuan itu
diam, dia paham betul apa arti “bahasa diatur” bagi seorang birokrat. Diatur
itu salah satu bentuk kolusi. Hutan-hutan beratus juta hektar yang dibakar itu
pun bisa diatur. Lima tahun lalu, bagaimana hutan-hutan membara. Gundul.
“Inikah salah satu jawaban dari kelicikan konglomerat yang tak tahu malu itu?”
sudut batin perempuan itu keras.
Malam itu,
ketika banjir ia dapat call dari rekanannya. Kali ini, yang menghendaki
seorang konglomerat pribumi, yang tidak saja memiliki aset ratusan milyar,
tetapi juga aktif dalam eforia politik. Era reformasi baginya, adalah laut
lepas dengan gelombang badai yang ia
arungi dengan kapal selam super canggih.
“Bagaimana,
Laras?” begitu suara dari balik handphone-nya. “Tentu.” Jawab perempuan
itu. “Di mana?” ucap bibirnya lembut. “Hotel berbintang dekat bundaran HI?
Oke?” lagi-lagi begitu suara di balik handphone-nya bersemangat.
Perempuan itu berpikir, dua kali ia datangi paranormal dan seorang kiai, gagal.
Kali ini, tidak boleh! Bisiknya.
Dari mobil
mewahnya, BMW secondhand perempuan itu meluncur. Menyemut di antara
kendaraan yang melintas di jantung kota. Sambil berpikir, perempuan itu
terbayang akan niatnya menjadi perempuan teroris. Sudah beberapa hari, dia
belajar bahasa teror ala Putu Wijaya yang demikian kental melalui
cerita-ceritanya. “Aku harus berhasil!” tekad batinnya keras.
***
“Bagaimana
Mas Mot? Kangenku, adalah serigala betina yang liar menyusuri belantara baru.”
Ucap perempuan itu mengawali. Lelaki yang dipanggilnya Mas Mot tersenyum teduh.
Kumisnya yang hitam lebat, kali ini dicukur tipis mengingatkan akan demikian
romantisnya permainan lelaki itu. Ya, lelaki konglomerat yang kaya akan
permainan. Lelaki itu, kaya segalanya.
Ketika masuki
kamar hotel di lantai 4, perempuan itu
berdoa “Mudah-mudahan lelaki yang satu ini, mengabulkan permintaannya
untuk memberikan satu milyar. Ya, 1 M.
Lelaki itu
menggandeng lembut. Laras tersenyum puas. Hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu di
simpang jalan adalah lalu lalang emosi seks dan emosi dendamnya yang saling
menikung. “Ah, aku tak boleh gagal,” bisiknya. Bibir perempuan itu komat-komat
seakan membaca mantra. Matanya tajam, wajahnya anggun: tetapi bermata elang.
Siapa percaya perempuan secantik itu menjalani hidupnya seperti judi.
Pukul 21.00
WIB.
Di kamar itu,
lelaki ganteng itu langsung menyalakan tv untuk mencari channel yang di-sander dari “stasiun hotel”
yang menayangkan film unyil. Ya, film unyil yang disiarkan sebagai salah satu servis
hotel terhadap tamu. Biasanya diputar hingga pukul 01.00 WIB.
Sambil
merebahkan tubuhnya lelaki itu bilang, ”Bagaimana Laras?” tanyanya lembut.
“Maksud, Mas Mot?” sahutnya genit.
“Baru dua
minggu kamu sudah lupa, sayang?”
Perempuan itu
menggeleng. Untuk menjaga human relations dengan para klien-nya,
ia selalu berbahasa “positif’. Hal itu, semata-mata untuk menghindarkan sisip
komunikasi saja. Selebihnya, tegantung.
Sambil
menonton film semi blue: yang bercerita tentang seorang guru privat
memberikan bimbingan les, kepada anak lelaki yang beberapa tahun membunuh habis
keluarganya. Guru privat itu menyimpan dendam. Dua anak laki-lakinya
diajari bagaimana dapat “bermain-main” naluri laki-laki di sela-sela ia
mengajarkan materi bidang studi di sekolah. Dua lelaki itu sangat terkesan dengan
guru privatnya. Ibunya, dibius dengan laku seorang guru yang keibuan:
pembimbing. Ibunya bangga. Perempuan, si guru itu hatinya tertawa.
“Lihat,
bagaimana Laras?”
Laras
tersenyum kecil. “Guru itu pinter sekali, Laras.” Puji lelaki itu.
Perempuan itu
hanya menggangguk, “Lalu?”
“Bagaimana?”
Certaint.
***
Laras
memasuki gedung Kejaksaan. Dengan rileks perempuan itu menganyam tipu. Pesan
Mas Mot dilaksanakannya dengan hati-hati. Dengan gaya seorang feminis,
perempuan itu tampak dinamis. Potret perempuan karier sejati. Dari sisi lubuk
hatinya bilang, “Aku memang benci konglomerat. Tetapi aku tak bisa membenci
konglomerat yang satu ini. Tempat ini, menjadi pergulatan dendam dan cinta.”
bisiknya.
30 menit
kemudian bom meledak. Pegawai kejaksaan panik. Para tamu heboh. Gedung rontok.
Dari kejauhan, Laras tersenyum: “Aku cinta padamu, Mas. Katamu, kau akan kasih aku surprise
setelah ini. Satu milyar, kan?” bisik hatinya kuat.
Dari vila
mewahnya di Puncak, lelaki teman kencan Laras; lima menit berikutnya menyaksikan
luluh lantaknya gedung bundar dengan bangga. Jemari tangannya mengepal. Sorot
matanya puas. Ia petik bungkusan yang menggelantung di samping ruang tamu, ia
taburkan isinya di atas lepek kaca. Ia hirup dalam. Sakaw.
“Ha ha ha,
kau memang pintar, Laras.” teriaknya. “Mana ada perempuan secantik kamu?
Secerdik kamu? Akan kuhadiahkan kepadamu, lima bungkus obat kuat, lima tablet
hemaviton action, dan empat bungkus Irex. Bagaimana?”
***
Siapa menyangka kalau perempuan selembut
itu begitu kejam. Ia sesungguhnya korban dari sebuah sejarah: ibu dan bapaknya
tewas dari sebuah peristiwa hitam tahun 1965. Enam kakak laki-lakinya, dua di
antaranya menjadi saksi atas kebiadaban sejarah. Empat saudaranya melengkapi
peristiwa tragis yang tidak pernah ia bayangkan. Dan, perempuan itu –si
bungsu--; menjadi satu-satunya perempuan yang dapat melukiskan peristiwa itu
dengan detail. Melalui hatinya.
Perempuan itu
menganyam dendam. Ia kemas tubuh cantiknya dengan wajah bidadari di satu sisi,
dan ia lukis monumen kekejaman di sisi
lainnya. Sekeping bulan purnama dengan pendar cahaya yang terbelah. Dua puluh
tahun berikutnya, ia mengubah hidupnya menjadi intertiment emosi yang
ulung. Di Jakarta ia malang-melintang. Striptise.
Dua kali ia
pernah bersuami. Tetapi begitu juga suami-suaminya –seperti umumnya lelaki—ia
memintal hidupnya dengan egoisme--. Perempuan suamiku yang pertama, sepertiku
–dan aku banyak belajar darinya--. Sebelum, asa itu tiba, perempuan suamiku yang kedua justru seorang perempuan
birokrat. Setan gundul. “Bagaimana aku harus membenci sesama perempuan?
Bukankah mereka diriku sendiri?” tanya batinnya keras. “Mengapa aku tidak
membenci laki-laki saja? Bukankah perempuan adalah makhluk yang lemah?”
Malam itu, di
vilanya yang indah; Laras membuka-buka kembali buku hariannya. Ia menghitung
tamu-tamunya: 199 nama birokrat, 47 menteri, 4 orang pegawai kejaksaan, 76
perwira dan jenderal, 2 orang dosen, 1 orang peneliti, 2 kiai, 17 orang
advokat, 5 orang dokter, 47 konglomerat, dan 13 seniman. Semuanya tergurat jelas
dengan paraf kehadiran. Tamu pertamanya, seorang birokrat tertanggal: 17 Agustus 1977, ketika ia
berumur 16 tahun. Kini ia berumur 41 tahun. Tetapi wajahnya bicara ia berkisar
30 tahun. Dia masih jelas untuk melukis bagaimana wajah mereka. Gaya bicara, gaya
bermain, sampai bagaimana permintaan mereka masing-masing. Di antara semua itu,
ia sangat terkesan dengan 2 orang tamu
seniman. “Mungkin, seniman itu
berhati seni, perokok, dan pemabuk. Mengenangnya, 25 kali lipat lebih indah daripada tamu
menteri.” Akunya lembut.
Ia membuka
bajunya, satu-satu. Bugil. Di kamarnya yang semerbak harum, perempuan itu
terlentang. Ia bayangkan memetik bulan. Memindah-mindah bintang seperti mainan
anak-anak. Di langit-langit kamarnya, ia bermimpi menjadi Presiden RI. “Bukankah
aku banyak akses dengan berbagai lapisan?” sudut batinnya. Dengan sprei berwarna merah, dua guling yang
merah, selimut merah, perempuan itu tersenyum merah. Di balik bantalnya, 3-4
bom aktif masih tersisa dari tugas teman kencannya kemarin malam. Terlentang.
Sambil memandang ayat kursi yang terpajang di dinding kamarnya, dia berdoa
sebelum tidur. Dia berdoa agar kencannya dengan elit legislatif besok
tidak terhalang. “Tuhan, ajari aku
bahasa politik untuk menaklukkan elit politik itu di pantatku.” Ucapnya dengan
khusuk.
***
Ponorogo, Februari 2010
Drs.
Sugiyanto
Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar