TARIAN JIWA
Oleh : Sugiyanto
Malam
baru setapak, gemerisik dedaunan mulai menebar dingin, udara bulan Juli.
Anak-anak bermain gobak sodor dan
petak umpet di dekat Mushola. Mereka
terdengar begitu bergembira. Alkhamdullilah
anak-anak itu masih sempat bermain bersama alam tidak terbius oleh tayangan
televise. Selaian masih jarang penduduk yang memiliki TV, listrikpun menggunakan tenaga diesel
milik seseorang. Biasanya anak-anak itu akan mengakhiri permainan dengan
melantunkan lagu jamuran.
. Sesayup suara gamelan reog mulai
menghiasi malam. Suara kendang, kethuk,
kenong dan terompet menyapa sepi
dan dingin malam. Penduduk desa Pandan Wangi biasanya sebulan dua kali berlatih
reog di balai desa. Apalagi menjelang Purnama bulan ini, reog Onggo Joyo mendapat kesempatan main di
alon-alon Ponorogo. Mereka semakin giat berlatih. Setiap bulan purnama secara
bergiliran masing-masing kelompok reog mendapat kesempatan pentas di alon-alon.
Kegiatan itu tentu selain kegiatan gerebeg
suro yang menyajikan lomba reog nasional.
“Ndok, Ten , njaluk tulung jathil neng
alon-alon iso?”
Kata-kata
itu terus teringat di telinga Sarten. Pak Kepala Desa meminta dia untuk kembali
tampil. Kini dia sudah tidak muda lagi. Anaknya sudah satu. Tetapi mengapa
beliau mengharapkan dia tampil. Apakah masih pantas? Ataukah tidak ada penari
lain. Sedangkan untuk menjawab tidak, betapa beratnya. Suara gamelan reog itu
makin jelas.
Malam
itu Sarten tengah menjahit pakaian anaknya. Rambutnya sedikit menutupi pipi,
matanya lelah. Dia belum berani menyampaikan permintaan kepala desa itu pada
orang tuanya. Emboknya duduk di atas
amben. Perempuan setengah baya itu menunggui sambil memijat kaki cucunya Bocah
itu tampak tidur pulas. Lelah bermain sepanjang hari.
“Apa
reog desa kita mendapat kesempatan tampil ?”
“Aku
tidak tahu.” Jawab Sarten, pura-pura tidak tahu.
Sarten
meletakkan jahitan, berjalan mendekati anaknya. Jarit selimut anaknya dinaikkan
sedikit. Kemudian rambut anak itu dielus rambutnya.
“Tidur
di kamar Mbok.” Kata Sarten melihat Emboknya
mulai mengantuk
“Nanti
saja, paling Thole bangun lagi.”
“Mungkin,
tapi tadi siang dia terus bermain,” sahut Sarten.
Emboknya malah tidur dekat cucunya. Ingin hatinya menyampaikan apa yang
diminta kepala desa. Perasaan takut dan
malu mencengkeram hatinya. Sebetulnya
Sarten maklum sekarang cukup sulit mencari penari jathil. Orang-orang
tua mulai keberatan anaknya menjadi jathil. Di samping itu anak-anak juga mulai
tidak tertarik menjadi jathil. Sarten tidak tahu mengapa mereka semakin
menjahui reog. Padahal kesenian ini bukankah lahir bersama darah orang
Ponorogo. Seperti dirinya. Aku harus
tampil tapi … Kata itu tak mampu dia teruskan.
Sarten tidak mengerti mengapa dirinya menjadi jathil. Padahal dia juga
tahu bahwa diantara sesama penari jathil jarang yang dapat hidup cukup. Parti,
Sarmi dan Siti serta banyak lagi, adalah penari jathil, semasa tua hidupnya
malah susah tidak ada yang peduli. Ada memang satu dua yang
dapat pekerjaan tapi jumlahnya tak sebanding.
Tarian ini semula dimainkan orang laki-laki. Dalam keseharian, penari
jathil (gemblakan) akan dipelihara
oleh seorang tokoh berpengaruh (warok).
Biasanya seorang warok akan memelihara satu atau lebih penari jathil atau gemblak. Sebagai imbalan gemblak akan
mendapatkan sawah atau sapi bila sudah mengikuti seorang warok beberapa tahun.
. Haruskan aku kembali menjadi jathil, mata Sarten menatap eblek usang yang ada di dinding. Benda itu diam
tidak menjawab, dibersihkan debu-debu yang menempel. Kelompok reog mengerti
bahwa eblek yang dia pegang sekarang
adalah kesukaannya. Pemain lain segan untuk memakai. Ketika dia berhenti
bermain, benda itu diserahkan untuk kenang-kenangan.
Gamelan itu semakin jelas. Alam mulai bangun, kali ini suara terompet
mulai hadir. Di luar sinar bulan mulai menjamah alam raya, cukup terang. Sinar
itu hadir di sela-sela dedaunan membuat pemandangan di tanah. Suara hewan malam
mulai hadir mulai suara jangkrik sampai burung malam. Maklum desa ini
berdekatan dengan hutan jati. Hutan yang hampir sama dengan hutan lain gundul
dan gersang. Penduduk desa selain bertani di sawah juga satu dua mengerjakan
lahan milik perhutani atau magersari. Mereka diberi kesempatan
menanami lahan dengan jagung atau ketela sambil membesarkan pohon kayu putih.
Sementara itu di kejahuan anak-anak
sudah mulai melantunkan lagu jamuran.
Sebentar lagi mereka akan pulang atau tidur di rumah teman, tak jarang juga
tidur di mushola kampung. Mereka begitu rukun.
Semakin malam suara terompet seakan berbunyi sendiri. Memainkan melodi. Sarten ingat
betapa bahagianya masa-masa itu. Masa-masa dia menjadi penari jathil dan Sarto
menjadi pembarong. Gerakan dadak (
kepala harimau memanggul burung merak) yang dimainkan Sarto lebih hidup. Di
mata Lastri kepala Harimau itu begitu lembut, kukunya lunak, taringnya tak lagi
tajam. Mata harimau yang garang itu menatap sayu. Bila sudah demikian kaki
Lastri seperti kaki kuda, lincah menggoda harimau. Edrek saat itu mungkin sama dengan goyangan Inul, mampu menggoda
siapa yang memandang Teringat juga
bagaimana Mardi si pemain kelono sewandono
begitu terus mengejarnya. Sedangkan Marwan pemain bujang ganong paling sering menggoda. Masa itu memang masa yang
begitu bahagia.
Kelompok reog “Singo Lodro”
menjadi laris. Edrek Sarten tidak
hanya menggoda Sarto penari barong. Dia mampu membengongkan penonton. Para pejabat desa atau kecamatan ada saja acaranya agar
lastri bias tampil. Pernah juga dia
diminta tampil dalam kampanye pilkades atau parpol. Tak beda dengan artis dan
selebritis yang terlibat pilpres atau anggota dewan. Sarten juga mengabdi seni
sama dengan selebritis dan artis. Perbedaan yang mencolok dari honor yang
diterima. Dia sering hanya menerima ucapan terimakasih dengan tambahan kaos
calon atau gambar partai. Sedangkan para artis dan selebritis mungkin menerima
berpuluh juta ataupun beratus juta, tambah mobil serta rumah. Dan Lastri tak
pernah menggerutu ataupun menolak.
Bulan tepat di tengah, sinarnya bersih menimpa bumi. Embok Lastri telah
pulas, tarikan nafasnya berselingan dengan nafas cucunya. Begitulah melodi
hidup Lastri kini. Bunyi terompet mulai meninggi, mendayu. Lastri tidak
mengerti mengapa bunyi gamelan itu tak mampu menggerakkan sedikitpun hatinya.
Padahal saat ini bulan purnama.
Sesaat selaput tipis matanya mengalirkan butiran air. Bulan Purnama tiga
tahun yang lalu ya tiga tiga tahun yang lalu, menjadi sumber setetes air mata.
Sebelum berangkat hati Sarten sudah tidak enak. Seperti biasa sebelum
pementasan maka akan ada ritual. Kepala harimau itu diberi sesaji kembang telon, dan dibakari kemenyan,
maka semua penari diberi minuman air putih oleh Mbah Sastro Gentho, sesepuh reog. Ritual ini tampaknya tidak boleh
dilupakan. Pernah ada yang mencoba mka penari itu jadi hilang ingatan. Setelah
ritual Sarten melihat tatapan Sarto yang tidak seperti biasanya.
Malam itu sepulang pementasan di alon-alon, bapak Sarten tidak sempat
menjemput.
“Jangan Kang, jangan !” Teriak
Lastri
“Aku akan bertanggung jawab!” Paksa Sarto
“Jangan Kang, jangan !”
Aura minuman keras berpadu dengan nafsu dimanja sepi, menghadirkan
teriakan kecil Lastri. Peristiwa itu tak mampu dilupakan. Peristiwa yang
menghantarkan ke dalam kehidupan sekarang. Kehidupan yang dikukung dengan
kemiskinan. Menghantarkan kematian Bapaknya karena malu. Malam semakin larut,
mata Sarten sulit untuk menghentikan air mata.
Sarten hamil berita itu menghantar ke seluruh pelosok desa. Terdengar
kabar dia diperkosa oleh seseorang, kabar lain dia dihamili oleh pejabat desa.
Berita pemerkosaan itu seakan menghantui masyarakat sehingga anaknya dilarang
menjadi jathil. Mungkin juga karena kebiasaan orang yang tidak bertanggung
jawab ketika melihat reog. Mereka pura-pura meramaikan tetapi yang di utamakan
adalah minum-minuman keras. Bapaknya menanggung malu, akhirnya meninggal.
Belum lama menikah, suami Sarten merantau. Semenjak anaknya lahir sampai
sekarang belum juga terdengar khabar. Sarten dan Emboknya mencari nafkah
sebagai buruh tani.
Suara gamelan hanya terdengar pelan dan menghanyut. Lastri menatap kuat eblek itu. Haruskah aku menggunakannya
lagi, aku sudah punya anak, atau aku mencoba untuk menari lagi, mungkin bisa
untuk membeli permen anakku, Lastri terus melamun.
“Menjadi penari jathil tidak mungkin untuk hidup.” Kata Embok Sarten
“Kalau begitu saya tidak mau.”
“Penari jathil digerakkan oleh hati, bukan oleh uang,” Lanjut emboknya.
“sedangkan untuk makan kita harus bekerja.”
Percakapan itu disampaikan orang tuanya beberapa tahun dulu. Ketika itu
dia ingin berhenti menjadi jathil sebab merasa tidak mendapat sesuatu. Sarten
mengerti saat itu keluarganya cukup bangga dengan keberadaannya. Keluarganya dikenal banyak orang. Tetapi
benarkah alasan yang menjadi dasar orang tuanya atau ada alasan lain. Padahal apa yang Sarten sampaikan benar,
sekarang kehidupannya semakin kekurangan..
Bunyi gamelan digantikan terompet. Kali ini meliuk tinggi. Sarten
memandangi terus Eblek ditangannya. Benda pipih itu didekapnya. Darahnya
adalah pemain reog. Bapaknya sebagai
pembarong. Kakeknya penari bujang ganong. Hati Sarten berjanji jika besar nanti
anaknya juga akan dijadikan pembarong. Karena reog adala roh kehidupan seni daerahnya.
.”Sudah Larut Nduk, belum tidur
juga”
“Entah mbok mata
ini sulit terpejam”
“Kau tampak
gelisah.”
“Tidak apa Mbok.”
“Kalau begitu,
biar aku saja besuk yang ke sawah”
Sementara itu
bunyi gamelan reog terus sesayup datang. Lemah dan kadang lenyap.
“Sejak tadi aku
perhatikan, kau memandang eblek itu demikian kuat.”
Air mata Sarten
membasahi pipi. Dia tak sanggup lagi tengadah. Eblek itu ditaruhnya dengan pelan.
“Tidak.”
“Apa yang
terjadi, kita kekurangan sudah cukup, hidup harus kita jalani”
“Mbok, aku
diminta pentas di alon-alon, aku malu dan berat.”
“Ten kau tak harus kalah, bakat jathil itu masih
pantas untukmu, jangan kau benamkan dirimu dala kekalahan hidup.”
“Mengapa mbok.”
“Lakukanlah anakku, jangan dilihat hasilnya,
memang darah itu mengalir padamu.”
“Sebetulnya aku
malu, Mbok”.
“Biarlah rasa
malu itu terkubur bersama tubuh Bapakmu. Kita sudah sering kalah nduk, kalau
malu kita kalah lagi, jathil bagi embok adalah tarian jiwa.”
Lastri memeluk
Emboknya. Eblek itu dipandanginya.Bunyi terompet menutup malam bersama
sepi. Lampu senthir itu ia kecilkan. Bunyi gamelan usai. Hati Lastri baru
mulai.
…………………
Ponorogo,
Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar