Jumat, 07 Oktober 2016

Cerpen Reog "Tarian Jiwa" Oleh : Sugiyanto



TARIAN JIWA
Oleh : Sugiyanto

Malam baru setapak, gemerisik dedaunan mulai menebar dingin, udara bulan Juli. Anak-anak bermain gobak sodor dan petak umpet di dekat Mushola.  Mereka terdengar begitu bergembira. Alkhamdullilah anak-anak itu masih sempat bermain bersama alam tidak terbius oleh tayangan televise. Selaian masih jarang penduduk yang memiliki  TV, listrikpun menggunakan tenaga diesel milik seseorang. Biasanya anak-anak itu akan mengakhiri permainan dengan melantunkan lagu jamuran.
.       Sesayup suara gamelan reog mulai menghiasi malam. Suara kendang, kethuk, kenong dan terompet menyapa sepi dan dingin malam. Penduduk desa Pandan Wangi biasanya sebulan dua kali berlatih reog di balai desa. Apalagi menjelang Purnama bulan ini, reog Onggo Joyo mendapat kesempatan main di alon-alon Ponorogo. Mereka semakin giat berlatih. Setiap bulan purnama secara bergiliran masing-masing kelompok reog mendapat kesempatan pentas di alon-alon. Kegiatan itu tentu selain kegiatan gerebeg suro yang menyajikan lomba reog nasional.
Ndok, Ten , njaluk tulung jathil neng alon-alon iso?”
Kata-kata itu terus teringat di telinga Sarten. Pak Kepala Desa meminta dia untuk kembali tampil. Kini dia sudah tidak muda lagi. Anaknya sudah satu. Tetapi mengapa beliau mengharapkan dia tampil. Apakah masih pantas? Ataukah tidak ada penari lain. Sedangkan untuk menjawab tidak, betapa beratnya. Suara gamelan reog itu makin jelas.
Malam itu Sarten tengah menjahit pakaian anaknya. Rambutnya sedikit menutupi pipi, matanya lelah. Dia belum berani menyampaikan permintaan kepala desa itu pada orang tuanya. Emboknya duduk di atas amben. Perempuan setengah baya itu menunggui sambil memijat kaki cucunya Bocah itu tampak tidur pulas. Lelah bermain sepanjang hari.
“Apa reog desa kita mendapat kesempatan tampil ?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Sarten, pura-pura tidak tahu.
Sarten meletakkan jahitan, berjalan mendekati anaknya. Jarit selimut anaknya dinaikkan sedikit. Kemudian rambut anak itu dielus rambutnya.
“Tidur di kamar Mbok.” Kata Sarten melihat Emboknya  mulai mengantuk
“Nanti saja, paling Thole bangun lagi.”
“Mungkin, tapi tadi siang dia terus bermain,” sahut Sarten.
Emboknya malah tidur dekat cucunya. Ingin hatinya menyampaikan apa yang diminta  kepala desa. Perasaan takut dan malu mencengkeram hatinya. Sebetulnya  Sarten maklum sekarang cukup sulit mencari penari jathil. Orang-orang tua mulai keberatan anaknya menjadi jathil. Di samping itu anak-anak juga mulai tidak tertarik menjadi jathil. Sarten tidak tahu mengapa mereka semakin menjahui reog. Padahal kesenian ini bukankah lahir bersama darah orang Ponorogo. Seperti dirinya. Aku harus  tampil tapi … Kata itu tak mampu dia teruskan.
Sarten tidak mengerti mengapa dirinya menjadi jathil. Padahal dia juga tahu bahwa diantara sesama penari jathil jarang yang dapat hidup cukup. Parti, Sarmi dan Siti serta banyak lagi, adalah penari jathil, semasa tua hidupnya malah susah tidak ada yang peduli.  Ada memang satu dua yang dapat pekerjaan tapi jumlahnya tak sebanding.
Tarian ini semula dimainkan orang laki-laki. Dalam keseharian, penari jathil (gemblakan) akan dipelihara oleh seorang tokoh berpengaruh (warok). Biasanya seorang warok akan memelihara satu atau lebih penari jathil atau gemblak. Sebagai imbalan gemblak akan mendapatkan sawah atau sapi bila sudah mengikuti seorang warok beberapa tahun.
. Haruskan aku kembali menjadi jathil, mata Sarten menatap eblek  usang yang ada di dinding. Benda itu diam tidak menjawab, dibersihkan debu-debu yang menempel. Kelompok reog mengerti bahwa eblek yang dia pegang sekarang adalah kesukaannya. Pemain lain segan untuk memakai. Ketika dia berhenti bermain, benda itu diserahkan untuk kenang-kenangan.
Gamelan itu semakin jelas. Alam mulai bangun, kali ini suara terompet mulai hadir. Di luar sinar bulan mulai menjamah alam raya, cukup terang. Sinar itu hadir di sela-sela dedaunan membuat pemandangan di tanah. Suara hewan malam mulai hadir mulai suara jangkrik sampai burung malam. Maklum desa ini berdekatan dengan hutan jati. Hutan yang hampir sama dengan hutan lain gundul dan gersang. Penduduk desa selain bertani di sawah juga satu dua mengerjakan lahan milik perhutani  atau magersari. Mereka diberi kesempatan menanami lahan dengan jagung atau ketela sambil membesarkan pohon kayu putih. Sementara itu  di kejahuan anak-anak sudah mulai melantunkan lagu jamuran. Sebentar lagi mereka akan pulang atau tidur di rumah teman, tak jarang juga tidur di mushola kampung. Mereka begitu rukun.
Semakin malam suara terompet seakan berbunyi  sendiri. Memainkan melodi. Sarten ingat betapa bahagianya masa-masa itu. Masa-masa dia menjadi penari jathil dan Sarto menjadi pembarong. Gerakan dadak ( kepala harimau memanggul burung merak) yang dimainkan Sarto lebih hidup. Di mata Lastri kepala Harimau itu begitu lembut, kukunya lunak, taringnya tak lagi tajam. Mata harimau yang garang itu menatap sayu. Bila sudah demikian kaki Lastri seperti kaki kuda, lincah menggoda harimau. Edrek saat itu mungkin sama dengan goyangan Inul, mampu menggoda siapa yang memandang Teringat juga bagaimana Mardi si pemain kelono sewandono begitu terus mengejarnya. Sedangkan Marwan pemain bujang ganong paling sering menggoda. Masa itu memang masa yang begitu bahagia.
Kelompok reog “Singo Lodro” menjadi laris. Edrek Sarten tidak hanya menggoda Sarto penari barong. Dia mampu membengongkan penonton. Para pejabat desa atau kecamatan ada saja acaranya agar lastri bias tampil.  Pernah juga dia diminta tampil dalam kampanye pilkades atau parpol. Tak beda dengan artis dan selebritis yang terlibat pilpres atau anggota dewan. Sarten juga mengabdi seni sama dengan selebritis dan artis. Perbedaan yang mencolok dari honor yang diterima. Dia sering hanya menerima ucapan terimakasih dengan tambahan kaos calon atau gambar partai. Sedangkan para artis dan selebritis mungkin menerima berpuluh juta ataupun beratus juta, tambah mobil serta rumah. Dan Lastri tak pernah menggerutu ataupun menolak.
Bulan tepat di tengah, sinarnya bersih menimpa bumi. Embok Lastri telah pulas, tarikan nafasnya berselingan dengan nafas cucunya. Begitulah melodi hidup Lastri kini. Bunyi terompet mulai meninggi, mendayu. Lastri tidak mengerti mengapa bunyi gamelan itu tak mampu menggerakkan sedikitpun hatinya. Padahal saat ini bulan purnama.
Sesaat selaput tipis matanya mengalirkan butiran air. Bulan Purnama tiga tahun yang lalu ya tiga tiga tahun yang lalu, menjadi sumber setetes air mata. Sebelum berangkat hati Sarten sudah tidak enak. Seperti biasa sebelum pementasan maka akan ada ritual. Kepala harimau itu diberi sesaji kembang telon, dan dibakari kemenyan, maka semua penari diberi minuman air putih oleh Mbah Sastro Gentho, sesepuh reog. Ritual ini tampaknya tidak boleh dilupakan. Pernah ada yang mencoba mka penari itu jadi hilang ingatan. Setelah ritual Sarten melihat tatapan Sarto yang tidak seperti biasanya.
Malam itu sepulang pementasan di alon-alon, bapak Sarten tidak sempat menjemput.
“Jangan Kang, jangan !” Teriak Lastri
“Aku akan bertanggung jawab!” Paksa Sarto
“Jangan Kang, jangan !”
Aura minuman keras berpadu dengan nafsu dimanja sepi, menghadirkan teriakan kecil Lastri. Peristiwa itu tak mampu dilupakan. Peristiwa yang menghantarkan ke dalam kehidupan sekarang. Kehidupan yang dikukung dengan kemiskinan. Menghantarkan kematian Bapaknya karena malu. Malam semakin larut, mata Sarten sulit untuk menghentikan air mata.
Sarten hamil berita itu menghantar ke seluruh pelosok desa. Terdengar kabar dia diperkosa oleh seseorang, kabar lain dia dihamili oleh pejabat desa. Berita pemerkosaan itu seakan menghantui masyarakat sehingga anaknya dilarang menjadi jathil. Mungkin juga karena kebiasaan orang yang tidak bertanggung jawab ketika melihat reog. Mereka pura-pura meramaikan tetapi yang di utamakan adalah minum-minuman keras. Bapaknya menanggung malu, akhirnya meninggal.
Belum lama menikah, suami Sarten merantau. Semenjak anaknya lahir sampai sekarang belum juga terdengar khabar. Sarten dan Emboknya mencari nafkah sebagai buruh tani.
Suara gamelan hanya terdengar pelan dan menghanyut. Lastri menatap kuat eblek itu. Haruskah aku menggunakannya lagi, aku sudah punya anak, atau aku mencoba untuk menari lagi, mungkin bisa untuk membeli permen anakku, Lastri terus melamun.
“Menjadi penari jathil tidak mungkin untuk hidup.” Kata Embok Sarten
“Kalau begitu saya tidak mau.”
“Penari jathil digerakkan oleh hati, bukan oleh uang,” Lanjut emboknya.
“sedangkan untuk makan kita harus bekerja.”
Percakapan itu disampaikan orang tuanya beberapa tahun dulu. Ketika itu dia ingin berhenti menjadi jathil sebab merasa tidak mendapat sesuatu. Sarten mengerti saat itu keluarganya cukup bangga dengan keberadaannya.  Keluarganya dikenal banyak orang. Tetapi benarkah alasan yang menjadi dasar orang tuanya atau ada alasan lain.  Padahal apa yang Sarten sampaikan benar, sekarang kehidupannya semakin kekurangan..
Bunyi gamelan digantikan terompet. Kali ini meliuk tinggi. Sarten memandangi terus Eblek ditangannya. Benda pipih itu didekapnya. Darahnya adalah  pemain reog. Bapaknya sebagai pembarong. Kakeknya penari bujang ganong. Hati Sarten berjanji jika besar nanti anaknya juga akan dijadikan pembarong. Karena reog adala roh kehidupan seni daerahnya.
.”Sudah Larut Nduk, belum tidur juga”
“Entah mbok mata ini sulit terpejam”
“Kau tampak gelisah.”
“Tidak apa Mbok.”
“Kalau begitu, biar aku saja besuk yang ke sawah”
Sementara itu bunyi gamelan reog terus sesayup datang. Lemah dan kadang lenyap.
“Sejak tadi aku perhatikan, kau memandang eblek itu demikian kuat.”
Air mata Sarten membasahi pipi. Dia tak sanggup lagi tengadah. Eblek itu ditaruhnya dengan pelan.
“Tidak.”
“Apa yang terjadi, kita kekurangan sudah cukup, hidup harus kita jalani”
“Mbok, aku diminta pentas di alon-alon, aku malu dan berat.”
“Ten  kau tak harus kalah, bakat jathil itu masih pantas untukmu, jangan kau benamkan dirimu dala kekalahan hidup.”
 “Mengapa mbok.”
 “Lakukanlah anakku, jangan dilihat hasilnya, memang darah itu mengalir padamu.”
“Sebetulnya aku malu, Mbok”.
“Biarlah rasa malu itu terkubur bersama tubuh Bapakmu. Kita sudah sering kalah nduk, kalau malu kita kalah lagi, jathil bagi embok adalah tarian jiwa.”
Lastri memeluk Emboknya. Eblek itu dipandanginya.Bunyi terompet menutup malam bersama sepi. Lampu senthir itu ia kecilkan. Bunyi gamelan usai. Hati Lastri baru mulai.
                                                      …………………
                                                                              Ponorogo, Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar