Berhasil Tidaknya
Adalah Cermin Kita Sendiri
(Sisi
lain dari Opini Soal Ujian yang lebih fair)
PERATURAN
Mendiknas Republik Indonesia N0.10 Thn 2006 menyatakan Ujian Sekolah/Madrasah
adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik yang dilakukan
oleh satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Setiap
peserta Ujian wajib memperoleh nilai minimal tertentu untuk mendapatkan
sertifikat (ijazah).
Bila
kita logika soal ujian yang dibuat oleh sekolah mempunyai tingkat korelasi
materi yang tinggi dengan kompetensi siswa. Tidak heran jika siswa memperoleh
nilai yang memuaskan meskipun kadang tidak untuk semua siswa. Sebaliknya soal
yang dibuat oleh pusat kadang cukup berat dikerjakan oleh siswa. Materi inilah
yang membuat siswa memperoleh nilai kurang. Sehingga siswa dinyatakan tidak
lulus.
Bila
gagal maka harus mengulang pada kurun waktu satu tahun atau mengikuti program
kejar paket. Dengan demiian memunculkan image
materi pelajaran yang soalnya dibuat oleh pusat menjadi hakim agung bagi
kelulusan siswa secara nasional.
Ki
Supriyoko dalam sebuah media pernah berpendapat bahwa UNAS kurang menunjukkan
keadilan. Semua sekolah di seluruh Indonesia melihat unsur sarana dan prasarana
sekolah. Mungkin juga faktor geografis, ekonomis maupun budaya bangsa kita.
Semua sama. Malah menurut hemat penulis hanya dengan waktu dua jam dan mata
pelajaran tertentu saja yang menntukan kelulusan siswa. Aspek efektif dan
psikomotorik tak ada gunanya. Apalagi EQ dan SQ. Sungguh ironis, siswa bersekolah
tiga empat tahun hanya ditentukan dalam waktu sangat singkat, bahkan satu mata
pelajaran.
Tulisan
ini bukan menyoal bagaimana ujian nasional. Ketentuan UNAS itu akhirnya
menuntut berbagai usaha dilakukan oleh setiap sekolah, mulai pembahasan soal,
pemberian elajaran tambahan, maupun kegiatan rokhani seperti do’a bersama,
maupun kegiatan lainnya. Kondisi demikian memacu semangat siswa untuk belajar.
Mencermati
tulisan Drs. Thohari dalam harian Ponorogo Pos yang berjudul Menyambut
Pelaksanaan Ujian yang lebih fair play, ada sesuatu yang menggelitik hati
penulis. Pertama ada kesan pelaksanaan Ujian Nasional yang telah berlalu
mengandung unsur tidak fair, kedua sistem pelaksanaan UNAS tahun 2005/2006
diharapkan dapat lebih fair. Sungguh suatu ironis.
Terlepas
dari tinjauan fair play atau tidak, munculnya fenomena itu tak lebih karena
pelaksanaan UNAS itu sendiri baik pra maupun pasca belum digunakan secara fair.
Pelaksanaan UNAS hanya sebagai GOULETIN
bagi siswa. Sekali lagi hanya siswa. Hasil UNAS belum dijadikan sebagai feed back bagi segenap stake holder pendidikan. Baik dari
sekolah, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kondisi demikian
memunculkan ketidakadilan.
Rasa
ketidakadilan itu muncul karena nilai UNAS tidak digunakan sebagai pengukur state holder pendidikan yang lain. Hasil
UNAS tidak digunakan untuk mengukur praktisi-praktisi endidikan mulai guru,
kepala sekolah, pengawas, sampai dinas pendidikan baik daerah maupun pusat.
Pertama nilai UNAS belum digunakan sebagai dasar reward terhadap kinerja guru.
Siapkah
para guru bila nilai UNAS digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dalam
pembelajaran, bagaimana kalau sampai pada tuntutan pertanggungjawaban yang
tentu mengandung sebuah konsekuensi profesional. Jawabnya pasti tunggu dulu.
Demikan juga sebaliknya bila materi pelajaran yang disajikan memperoleh nilai
baik (berhasil) adakah penghargaan baik secara profesional maupun kelembagaan.
Padahal
kita sepakat bahwa beban mental dan emosional bagi guru mata pelajaran tertentu
sangat-sangat berat. Bila fair guru dan siswa sama memperoleh reward sesuai
dengan posisi dan porsi masing-masing.
Kedua,
kepala sekolah mungkin bagi kepala sekolah keberhasilan maupun
ketidakberhasilan siswa bukanlah efek langsung dari managerial yang dilaksanakan
dalam kurun waktu satu tahun. Bagaimanapun hasilnya itulah hasil kinerja guru
mata pelajaran dengan siswa selama satu tahun.jika belum berhasil berarti guru
belum optimal kinerjanya atau siswa yang belu belajar dengan sungguh-sungguh.
Kalau
berhasil itu adalah kerja rutinitas yang dilakukan guru dan murid. Kalau kita
fair hasil UNAS sedapatnya digunakan kepala sebagai tolak ukur managerial
sebuah sekolah. Sehingga hasil UNAS dapat digunakan sebagai salah satu faktor
kebijakan, baik mulai dari profesional ketenagaan, pengaturan kegiatan sekolah,
penganggaran, sarana sampai kebijakan-kebijakan lainnya. Bahkan hasil UNAS
dapat juga sebagai salah satu rapor bagi kepala sekolah.
Ketiga,
pengawas sekolah bagi pengawas hasil UNAS sebuah sekolah tersebut, tidak
terkait dengan rutinitas ataupun format kepengawasan. Bila fair hasil UNAS
dapatlah digunakan sebagai salah satu acuan penetapan program kegiatan terkait
dengan mata pelajaran tertentu mendapat rata-rata kurang, maka pengawas mata
pelajaran dapat memformat kebijakan atau kegiatan yang lebih insentif di
tingkat kabupaten. Meskipun ada kegiatan workshop
MGMP pengawas mata pelajaran yang sudah mempunyai jangkauan analitik materi
ajar tinggi dapat menciptakan program atau kegiatan yang lebih insentif. Ini belum
terkait dengan tanggung jawab.
Keempat,
dinas pendidikan penulis berharap Dinas Pendidikan tidak menganggap hasil UNAS
adalah cermin keberhasilan atau ketidakberhasilan sekolah saja, bahkan lebih
apcori lagi bahwa hasil UNAS itulah wujud kemampuan sekolah. Akhirnya guru,
akan lebih fair hasil UNAS dapat dijadikan sebagai salah satu item analisis
swot program pendidikan. Baik dilihat dari siswa, ketenagaan, sarana maupun
prasarana lebih terfokus. Sekolah yang belum berhasil mencapai hasil optimal
tentu mendapatkan perhatian serius. Sehingga penyusunan program pendidikan
secara makro lebih spesifik, bahkan malah sebaliknya sekolah yang sudah maju
semakin maju, yang belum optimalsemakin jauh, atau semua digenerelalisasi sama
tanpa prioritas.
Dengan
demikian kecurigaan tentang fair dan tidak fair memang layak keberadaannya.
Tetapi menurut penulis ketidakfairan itu tidak harus merupakan tuduhan sepihak
pada satu sistem dalam pelaksanaan, karena kita tahu bahwa ujian ini mengandung
unsur ketidakadilan. Akan lebih arif, mari kita semua (guru atau semua praktisi
pendidikan) membangun image yang membangun dan inovatif sehingga dapat
memberikan motivasi dan peserta didik dan penyelenggara. Akhirnya keberhasilan
dan ketidakberhasilan siswa adalah cermin kita sendiri (praktisi pendidikan),
terutama guru.
Drs.
Sugiyanto adalah guru Bahasa Indonesia
SMAN
1 Pulung, Ponorogo dan Anggota FKGP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar