Senin, 17 Oktober 2016

Berhasil Tidaknya Adalah Cermin Kita Sendiri (Sisi lain dari Opini Soal Ujian yang lebih fair)



Berhasil Tidaknya Adalah Cermin Kita Sendiri
(Sisi lain dari Opini Soal Ujian yang lebih fair)

PERATURAN Mendiknas Republik Indonesia N0.10 Thn 2006 menyatakan Ujian Sekolah/Madrasah adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Setiap peserta Ujian wajib memperoleh nilai minimal tertentu untuk mendapatkan sertifikat (ijazah).

Bila kita logika soal ujian yang dibuat oleh sekolah mempunyai tingkat korelasi materi yang tinggi dengan kompetensi siswa. Tidak heran jika siswa memperoleh nilai yang memuaskan meskipun kadang tidak untuk semua siswa. Sebaliknya soal yang dibuat oleh pusat kadang cukup berat dikerjakan oleh siswa. Materi inilah yang membuat siswa memperoleh nilai kurang. Sehingga siswa dinyatakan tidak lulus.

Bila gagal maka harus mengulang pada kurun waktu satu tahun atau mengikuti program kejar paket. Dengan demiian memunculkan image materi pelajaran yang soalnya dibuat oleh pusat menjadi hakim agung bagi kelulusan siswa secara nasional.

Ki Supriyoko dalam sebuah media pernah berpendapat bahwa UNAS kurang menunjukkan keadilan. Semua sekolah di seluruh Indonesia melihat unsur sarana dan prasarana sekolah. Mungkin juga faktor geografis, ekonomis maupun budaya bangsa kita. Semua sama. Malah menurut hemat penulis hanya dengan waktu dua jam dan mata pelajaran tertentu saja yang menntukan kelulusan siswa. Aspek efektif dan psikomotorik tak ada gunanya. Apalagi EQ dan SQ. Sungguh ironis, siswa bersekolah tiga empat tahun hanya ditentukan dalam waktu sangat singkat, bahkan satu mata pelajaran.

Tulisan ini bukan menyoal bagaimana ujian nasional. Ketentuan UNAS itu akhirnya menuntut berbagai usaha dilakukan oleh setiap sekolah, mulai pembahasan soal, pemberian elajaran tambahan, maupun kegiatan rokhani seperti do’a bersama, maupun kegiatan lainnya. Kondisi demikian memacu semangat siswa untuk belajar.


Mencermati tulisan Drs. Thohari dalam harian Ponorogo Pos yang berjudul Menyambut Pelaksanaan Ujian yang lebih fair play, ada sesuatu yang menggelitik hati penulis. Pertama ada kesan pelaksanaan Ujian Nasional yang telah berlalu mengandung unsur tidak fair, kedua sistem pelaksanaan UNAS tahun 2005/2006 diharapkan dapat lebih fair. Sungguh suatu ironis.

Terlepas dari tinjauan fair play atau tidak, munculnya fenomena itu tak lebih karena pelaksanaan UNAS itu sendiri baik pra maupun pasca belum digunakan secara fair. Pelaksanaan UNAS hanya sebagai GOULETIN bagi siswa. Sekali lagi hanya siswa. Hasil UNAS belum dijadikan sebagai feed back bagi segenap stake holder pendidikan. Baik dari sekolah, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kondisi demikian memunculkan ketidakadilan.

Rasa ketidakadilan itu muncul karena nilai UNAS tidak digunakan sebagai pengukur state holder pendidikan yang lain. Hasil UNAS tidak digunakan untuk mengukur praktisi-praktisi endidikan mulai guru, kepala sekolah, pengawas, sampai dinas pendidikan baik daerah maupun pusat. Pertama nilai UNAS belum digunakan sebagai dasar reward terhadap kinerja guru.

Siapkah para guru bila nilai UNAS digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pembelajaran, bagaimana kalau sampai pada tuntutan pertanggungjawaban yang tentu mengandung sebuah konsekuensi profesional. Jawabnya pasti tunggu dulu. Demikan juga sebaliknya bila materi pelajaran yang disajikan memperoleh nilai baik (berhasil) adakah penghargaan baik secara profesional maupun kelembagaan.

Padahal kita sepakat bahwa beban mental dan emosional bagi guru mata pelajaran tertentu sangat-sangat berat. Bila fair guru dan siswa sama memperoleh reward sesuai dengan posisi dan porsi masing-masing.

Kedua, kepala sekolah mungkin bagi kepala sekolah keberhasilan maupun ketidakberhasilan siswa bukanlah efek langsung dari managerial yang dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun. Bagaimanapun hasilnya itulah hasil kinerja guru mata pelajaran dengan siswa selama satu tahun.jika belum berhasil berarti guru belum optimal kinerjanya atau siswa yang belu belajar dengan sungguh-sungguh.
Kalau berhasil itu adalah kerja rutinitas yang dilakukan guru dan murid. Kalau kita fair hasil UNAS sedapatnya digunakan kepala sebagai tolak ukur managerial sebuah sekolah. Sehingga hasil UNAS dapat digunakan sebagai salah satu faktor kebijakan, baik mulai dari profesional ketenagaan, pengaturan kegiatan sekolah, penganggaran, sarana sampai kebijakan-kebijakan lainnya. Bahkan hasil UNAS dapat juga sebagai salah satu rapor bagi kepala sekolah.

Ketiga, pengawas sekolah bagi pengawas hasil UNAS sebuah sekolah tersebut, tidak terkait dengan rutinitas ataupun format kepengawasan. Bila fair hasil UNAS dapatlah digunakan sebagai salah satu acuan penetapan program kegiatan terkait dengan mata pelajaran tertentu mendapat rata-rata kurang, maka pengawas mata pelajaran dapat memformat kebijakan atau kegiatan yang lebih insentif di tingkat kabupaten. Meskipun ada kegiatan workshop MGMP pengawas mata pelajaran yang sudah mempunyai jangkauan analitik materi ajar tinggi dapat menciptakan program atau kegiatan yang lebih insentif. Ini belum terkait dengan tanggung jawab.

Keempat, dinas pendidikan penulis berharap Dinas Pendidikan tidak menganggap hasil UNAS adalah cermin keberhasilan atau ketidakberhasilan sekolah saja, bahkan lebih apcori lagi bahwa hasil UNAS itulah wujud kemampuan sekolah. Akhirnya guru, akan lebih fair hasil UNAS dapat dijadikan sebagai salah satu item analisis swot program pendidikan. Baik dilihat dari siswa, ketenagaan, sarana maupun prasarana lebih terfokus. Sekolah yang belum berhasil mencapai hasil optimal tentu mendapatkan perhatian serius. Sehingga penyusunan program pendidikan secara makro lebih spesifik, bahkan malah sebaliknya sekolah yang sudah maju semakin maju, yang belum optimalsemakin jauh, atau semua digenerelalisasi sama tanpa prioritas.

Dengan demikian kecurigaan tentang fair dan tidak fair memang layak keberadaannya. Tetapi menurut penulis ketidakfairan itu tidak harus merupakan tuduhan sepihak pada satu sistem dalam pelaksanaan, karena kita tahu bahwa ujian ini mengandung unsur ketidakadilan. Akan lebih arif, mari kita semua (guru atau semua praktisi pendidikan) membangun image yang membangun dan inovatif sehingga dapat memberikan motivasi dan peserta didik dan penyelenggara. Akhirnya keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa adalah cermin kita sendiri (praktisi pendidikan), terutama guru.
Drs. Sugiyanto adalah guru Bahasa Indonesia
SMAN 1 Pulung, Ponorogo dan Anggota FKGP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar