Senin, 24 Oktober 2016

Cerpen "Jejak Romusa"



JEJAK  ROMUSA
Oleh: Sugiyanto
SMA NEGERI PULUNG PONOROGO


Aku terpakur mengukur malam dengan tafakur. "Astraghfirullah." Begitu kupanjatkan kepada Allah. Lelah sudah dalam sejarah aku tengadah. Sepertinya Tuhan tak berniat lagi membagi cahaya belati itu di suci mataku. Pekat malam membungkus belantara Riau, suatu hari pada tahun 1944 begitulah potret itu mengisah kisah.
 Seorang pemuda bertubuh tipis, berbibir tipis, alis tipis mengerahkan sisa tenaga untuk menyuruk semak-semak. Napasnya terengah.  Pikirnya lelah. Hatinya jengah. Ia terus berlari merangsek masuk hutan, seolah ganas binatang buas ia abaikan. Si penghuni rimba yang masih perawan. Tekadnya bulat: kabur dari bedeng –bangunan seluas sekitar 6x25 meter, berlantaikan tanah dan beratapkan rumbia—tempat dirinya terpenjara sebagai romusa, begitulah ia sering cerita.
"Saya sudah tak tahan memikul penderitaan karena sering dipukuli tentara Jepang," kata kakek ketika sembab matanya mengalirkan kisah hidup yang lembab. Aku terperangah, ketika kulihat bergulung gundah menggumpal di bibirnya. Muntah.
"61 tahun silam adalah neraka cucuku." Tuturnya memecah hening malam dengan sepi yang mengalir. "Tak ada kata lapar, tak ada kata lelah. Yang ada,  haus yang menggerus leher di terik panas; dan bongkah batu, selonjor besi untuk kutanam beramai bersama teman-teman romusa." Alir airmata kakek tiba-tiba mengalir.
Deras.
"Mengapa kakek mau?" tanyaku bodoh.
"Tidak ada kata mau atau tidak, tapi kata paksa adalah senjata Jepang untuk memungut kematian jika aku tolak. Aku ingin hidup, cucuku. Tapi di sana, di belantara Riau, nyawaku terancam. Empat puluh temanku, tinggal delapan orang. Jika aku lanjutkan, ketika itu, mungkin aku sudah tidak berjejak di kota ini cucuku." Tuturnya panjang.
Malam semakin larut. Akut asaku seperti mengalir bersama kata-kata sesal kakek. Ya, sesalku atas perjalanan hidup yang tanpa cahaya. Gelap. Di usianya yang menginjak senja, bangsaku tak juga beranjak dewasa. Ia tetap saja: saling membenci, memaki, memanjati temannya untuk menapak kursi kuasa.
"Aku menyesal, cucuku." Ceritanya kembali. "Telah menjadi bagian dari bangsa yang sakit dengan hutang berbukit-bukit. Di lehermu, cucuku, masa depanmu telah digadaikan oleh bapak-bapakmu di Jakarta sana. Di desa ini, kamu hanya bisa bernyanyi tetapi tidak untuk suapi bibirmu yang mengaga. Bekerja, bukan hal yang mudah untuk kaugenggam, tetapi sekedar kau eja."
***

Ngadari, kini 86 tahun tahun, kakekku adalah satu di antara ribuan romusa yang dipekerjakan di proyek rel maut Muara Sijunjung ke Pekanbaru. Berasal dari Desa di Gunung Kidul, bagi kakekku mengalami hidup sebagai romusa adalah neraka. Kata kakek, sejak matahari terbit sampai tenggelam, hanya memanggul rel dan menyambungkannya. Seakan tiada hari tanpa memperpanjang rel sial itu.
Aku memandang dua selonjor besi yang memanjang, di ujung pandang di desaku, seperti memandang lekang tulang kakekku menempel di sana. Terik matahari seperti bahasa angkuh yang membuatku melenguh. Hidupku kini, yang seusia SMA tak lebih dari liuk panjang rel kereta. Menahan beban anak bangsa, sepanjang jalan. Sepanjang zaman.
"Apa bedanya kek, Jepang dengan penguasa kali ini?"
Kakek hanya menggeleng. Mengangguk.
"Kejam penguasa bangsa ini yang telah mewariskan hutang tak terbilang. Mewariskan hutan-hutan yang terbakar. Mewariskan kekerasan di mana-mana. Mewariskan kesulitan, yang entah, kapan akan terurai." sahutku sambil melihat gurat-gurat daging kendor di tubuhnya.
"Sama kejamnya." Senyum kakek pahit. "Kekejaman penguasa yang kau alami bersifat psikis cucuku. Tapi kekejaman Jepang, di zaman itu, bukan hanya dongeng film. Di antara jam-jam kerja, kakek dan teman-teman bekerja di bawah kekejaman serdadu Jepang: dibentak, ditendang, dipukuli, serta dibiarkan mati kelaparan. Dari 12 teman satu desa ini, hanya tinggal tiga orang yang masih hidup," tutur kakek setengah terrsendat mengenang luka hidup yang panjang.
***

Di pendopo kabupaten kota, malam itu di adakan pameran foto-foto dokumenter untuk mengenang kembali sejarah. Sehari sebelumnya, acara itu sendiri dibuka oleh Bupati dengan sepi, tidak seperti acara ceremonial yang lain yang gegap gempita. "Malam ini, saudara-saudara, kita bisa belajar kembali kepada sejarah." Sambut Bupati berapi-api kemarin.  "Meski hanya dapat kita lihat melalui foto. Tetapi ia, banyak berbicara terhadap bagaimana kekejaman Jepang. Karena itu, jangan pernah lagi kita akan terjajah …"
Malam itu, aku dan teman-teman SMA ditugaskan guru sejarah untuk menonton pameran foto dokumenter.  Dengan berat hati, teman-teman melaksanakan tugas –yang menurutnya sudah tidak zaman--.
"Lihat, teman foto-foto itu sepertinya berkisah tentang  masa-masa gelap itu diungkap kembali." Kataku mengawali pembicaraan dengan mereka. "Melalui rekaman Jan Banning, fotografer kawakan Belanda itu, dalam pameran foto tunggalnya bertajuk "Sporen van Oorlog" (Jejak-Jejak Perang) terpotretlah derita itu. Ya, derita tentang romusa. Derita kakekku."
"Romusa di mana ia?" Tanya Gunawan.
"Riau." Jawabku.
 "Ada 24 foto anakku." Sambut seseorang yang berdiri agak jauh kemudian mendekati kami. Tampaknya ia si penjaga pameran. Setengah kusut, dengan wajah kumuh, kemudian dia melanjutkan bicara, "Sosok bekas romusa bernuansa hitam-putih yang ditampilkan pemotretnya. Selain kakek, Banning juga memotret bekas pekerja paksa lainnya: 16 warga Belanda dan tujuh orang Indonesia. Mereka adalah saksi hidup atas kekejaman serdadu Jepang dalam proyek pembangunan rel kereta api di Riau, Sumatera, sepanjang 220 km."
Aku tersentak. Di situ kulihat kakekku yang muda, tetapi dengan tubuh renta dengan tulang-belulang. Jauh lebih kurus dari yang kulihat. "Ini foto kapan, Pak?" tanyaku
"Enam puluh satu tahun lalu, awal-awal romusa itu kembali di kota ini. Itu kakekku, Pak." Kataku tak sabar sambil menunjuk ke foto kakek.
"Sejarah mencatat, anakku." Cerita lelaki itu melanjutkan. "Selama PD II, Jepang membangun jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara: jalur Thailand-Burma dan Muara Sijunjung-Pekanbaru. Kedua proyek raksasa itu menelan korban ratusan  ribu pekerja paksa dari Asia. Khusus rute Muara Sijunjung-Pekanbaru, dari sekitar 100 ribu orang romusa yang dikerahkan, lebih dari 80 persen meninggal di tempat. Itu pun tak termasuk mereka yang tak pernah sampai di camp kerja paksa di Pekanbaru karena kapal yang mengangkutnya tenggelam dihajar torpedo. Ironisnya, setelah PD II berakhir dan Jepang hengkang dari Indonesia, rel maut itu dibiarkan terbengkelai." Paparnya panjang.
Aku tercenung begitu mendengar banyak romusa yang mati. "Kakekku beruntung. Terima kasih Tuhan." Bisik hatiku dalam.
"Kira-kira setengah abad kemudian," lanjut lelaki itu. "Jan Banning mulai melacak mereka yang lolos dari maut. Fotografer berusia 50 tahun ini berhasil "menemukan" 24 orang eks romusa, yang kemudian dijadikan "model" fotonya. Yang menarik, di antara para modelnya itu adalah sang bapak sendiri, Frans Banning dengan usia 82 tahun. Banning mengakui, karyanya memiliki titik awal yang sangat pribadi. Ia terinspirasi pengalaman orang tuanya yang menjadi romusa di Pekanbaru," ujar lelaki itu datar.
Aku dan teman-teman semakin bengong. Kekejaman begitu, ternyata begitu dahsyat memakan korban ratusan ribu orang tidak berdosa dipekerjakan paksa.
"Kakekku tidak pernah cerita, Hand?" Tanya Gunawan kemudian.
Aku mengangguk. "Pernah. Tetapi tidak sedetail bapak ini."
"Lihat, Nak foto-foto yang lain itu." Harap lelaki itu rendah. "Sebelum rangkaian foto Jejak-Jejak Perang, fotografer itu  telah menelurkan berbagai karya foto lain yang juga bertema dampak sebuah perang: Vietnam, Doi Moi (1993), Terug Naar Maluku (1997), dan Burma Behind the Mask (1997). Di luar itu, ia juga menggarap foto-foto bernuansa human interest. Dan tahun ini fotonya berjudul Story on Bureaucrats in Bihar, India meraih juara pertama World Press Photo untuk kategori portrait series. Menurutnya, seluruh karya fotonya menggunakan teknik yang menggabungkan antara foto jurnalistik dan seni." paparnya lagi.
"Lho, tetapi dalam sejarah kita penderitaan romusa itu kok tidak banyak terungkap ya?" tanya Yadi setelah terkesima mendengar paparan panjang lelaki setengah tua itu.
Aku menggeleng. Demikian juga Gunawan. Aku tak habis pikir, bagaimana kekejaman Jepang itu dilakukan, sahut batinku.
"Secara fotografis, ada sisi menarik dari foto Jejak-Jejak Perang," tambahnya.  "Foto-foto itu digarap dalam rentang waktu 2001 hingga 2002. Sederhana memang: sebuah rangkaian dokumenter yang terkesan datar. Tapi kepolosan itu kemudian berhasil menampilkan keriput-keriput keras yang menghiasi wajah eks romusa, yang melukiskan sosok yang lama memendam derita. Tak berlebihan, bila dikatakan serangkaian foto itu mempunyai nilai sejarah yang sangat penting."
Kami hanya dapat menganggup. Dengan degup yang tertahan, kulihat penderitaan orang-orang dalam potret itu mengabarkan jauh. Bola mata yang kosong, seperti mengisahkan kekosongan hidup yang lampau.
***
Sepulang dari menonton pameran foto sejarah itu saya tidak dapat tidur. Semilir angin yang menembus kamar, hanya menyurukkan aku pada sepi. Wajah kakek yang kulihat di rumah bukanlah wajah kakek yang kulihat tadi di pameran. Wajah kakek jauh lebih pedih dari kini. Meski urat-urat itu masih kekar, tapi kering kerontang tubuhnya menjejakkan sejarah yang tak terbantah.
Aku melempar kelu tubuhku di atas kasur. Aku teringat ayah, yang entah kini di mana. Yang kudengar dari ibu, ayah mati menjadi TKI di negeri Jiran karena harus memanggul beban hidup: 18 tahun yang lalu. "begitu keraskah hidupmu, Ayah?" bisik hatiku lembut. "Kalau memang, hidup penuh kekerasan kenapa harus kau hidupkan aku, Tuhan?" protesku keras.
"Jumlah itu belum seberapa, Nak." Sahut ayah. "Aku harus bekerja keras, memanjat dan membangun gedung bertingkat memang. Tetapi itu untuk kamu, Nak."
Wajah ayah sendu. Kosong, tetapi kata-katanya terukur.
"Foto-foto yang kau lihat bersama teman-temanmu, belumlah mewakili rangkaian kekejaman serdadu Jepang terhadap para romusa, Nak. Termasuk kakekmu."
Mata ayah sembab. Menangis.
"Kenapa menangis, ayah?"
Ayah tidak menjawab. Menggeleng kecil.
Suara adzan sayup-sayup membangunkan aku dari mimpi. Dingin yang menyengat kuhalau dengan dua punggung tangan. "Adakah kekejaman baru di negeri romusa bangsaku, Tuhan?"
***
                                                                                                   Pulung, awal Juni 2010
Penulis: Drs. Sugiyanto
Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo


[1] Cerpen ini diilhami oleh berita tentang sisa-sisa Romusa yang diberitakan Tempo edisi 29 Pebruari 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar