Oleh: Sugiyanto
SMA NEGERI PULUNG PONOROGO
Aku terpakur mengukur malam dengan
tafakur. "Astraghfirullah." Begitu kupanjatkan kepada Allah. Lelah
sudah dalam sejarah aku tengadah. Sepertinya Tuhan tak berniat lagi membagi
cahaya belati itu di suci mataku. Pekat malam membungkus belantara Riau, suatu
hari pada tahun 1944 begitulah potret itu mengisah kisah.
Seorang
pemuda bertubuh tipis, berbibir tipis, alis tipis mengerahkan sisa tenaga untuk
menyuruk semak-semak. Napasnya terengah. Pikirnya lelah. Hatinya jengah. Ia terus
berlari merangsek masuk hutan, seolah ganas binatang buas ia abaikan. Si penghuni
rimba yang masih perawan. Tekadnya bulat: kabur dari bedeng –bangunan seluas
sekitar 6x25 meter, berlantaikan tanah dan beratapkan rumbia—tempat dirinya
terpenjara sebagai romusa, begitulah ia sering cerita.
"Saya sudah tak tahan memikul
penderitaan karena sering dipukuli tentara Jepang," kata kakek ketika
sembab matanya mengalirkan kisah hidup yang lembab. Aku terperangah, ketika
kulihat bergulung gundah menggumpal di bibirnya. Muntah.
"61 tahun silam adalah neraka
cucuku." Tuturnya memecah hening malam dengan sepi yang mengalir.
"Tak ada kata lapar, tak ada kata lelah. Yang ada, haus yang menggerus leher di terik panas; dan
bongkah batu, selonjor besi untuk kutanam beramai bersama teman-teman
romusa." Alir airmata kakek tiba-tiba mengalir.
Deras.
"Mengapa kakek mau?" tanyaku
bodoh.
"Tidak ada kata mau atau tidak,
tapi kata paksa adalah senjata Jepang untuk memungut kematian jika aku tolak.
Aku ingin hidup, cucuku. Tapi di sana, di belantara Riau, nyawaku terancam.
Empat puluh temanku, tinggal delapan orang. Jika aku lanjutkan, ketika itu,
mungkin aku sudah tidak berjejak di kota ini cucuku." Tuturnya panjang.
Malam semakin larut. Akut asaku seperti
mengalir bersama kata-kata sesal kakek. Ya, sesalku atas perjalanan hidup yang
tanpa cahaya. Gelap. Di usianya yang menginjak senja, bangsaku tak juga
beranjak dewasa. Ia tetap saja: saling membenci, memaki, memanjati temannya untuk
menapak kursi kuasa.
"Aku menyesal, cucuku."
Ceritanya kembali. "Telah menjadi bagian dari bangsa yang sakit dengan
hutang berbukit-bukit. Di lehermu, cucuku, masa depanmu telah digadaikan oleh
bapak-bapakmu di Jakarta sana. Di desa ini, kamu hanya bisa bernyanyi tetapi
tidak untuk suapi bibirmu yang mengaga. Bekerja, bukan hal yang mudah untuk
kaugenggam, tetapi sekedar kau eja."
***
Ngadari, kini 86 tahun tahun, kakekku adalah
satu di antara ribuan romusa yang dipekerjakan di proyek rel maut Muara
Sijunjung ke Pekanbaru. Berasal dari Desa di Gunung Kidul, bagi kakekku
mengalami hidup sebagai romusa adalah neraka. Kata kakek, sejak matahari terbit
sampai tenggelam, hanya memanggul rel dan menyambungkannya. Seakan tiada hari
tanpa memperpanjang rel sial itu.
Aku memandang dua selonjor besi yang
memanjang, di ujung pandang di desaku, seperti memandang lekang tulang kakekku
menempel di sana. Terik matahari seperti bahasa angkuh yang membuatku melenguh.
Hidupku kini, yang seusia SMA tak lebih dari liuk panjang rel kereta. Menahan
beban anak bangsa, sepanjang jalan. Sepanjang zaman.
"Apa bedanya kek, Jepang dengan
penguasa kali ini?"
Kakek hanya menggeleng. Mengangguk.
"Kejam penguasa bangsa ini yang
telah mewariskan hutang tak terbilang. Mewariskan hutan-hutan yang terbakar.
Mewariskan kekerasan di mana-mana. Mewariskan kesulitan, yang entah, kapan akan
terurai." sahutku sambil melihat gurat-gurat daging kendor di tubuhnya.
"Sama kejamnya." Senyum kakek
pahit. "Kekejaman penguasa yang kau alami bersifat psikis cucuku. Tapi kekejaman
Jepang, di zaman itu, bukan hanya dongeng film. Di antara jam-jam kerja, kakek
dan teman-teman bekerja di bawah kekejaman serdadu Jepang: dibentak, ditendang,
dipukuli, serta dibiarkan mati kelaparan. Dari 12 teman satu desa ini, hanya
tinggal tiga orang yang masih hidup," tutur kakek setengah terrsendat
mengenang luka hidup yang panjang.
***
Di pendopo kabupaten kota, malam itu di
adakan pameran foto-foto dokumenter untuk mengenang kembali sejarah. Sehari
sebelumnya, acara itu sendiri dibuka oleh Bupati dengan sepi, tidak seperti
acara ceremonial yang lain yang gegap gempita. "Malam ini,
saudara-saudara, kita bisa belajar kembali kepada sejarah." Sambut Bupati
berapi-api kemarin. "Meski hanya
dapat kita lihat melalui foto. Tetapi ia, banyak berbicara terhadap bagaimana
kekejaman Jepang. Karena itu, jangan pernah lagi kita akan terjajah …"
Malam itu, aku dan teman-teman SMA
ditugaskan guru sejarah untuk menonton pameran foto dokumenter. Dengan berat hati, teman-teman melaksanakan
tugas –yang menurutnya sudah tidak zaman--.
"Lihat, teman foto-foto itu
sepertinya berkisah tentang masa-masa
gelap itu diungkap kembali." Kataku mengawali pembicaraan dengan mereka. "Melalui
rekaman Jan Banning, fotografer kawakan Belanda itu, dalam pameran foto
tunggalnya bertajuk "Sporen van Oorlog" (Jejak-Jejak Perang)
terpotretlah derita itu. Ya, derita tentang romusa. Derita kakekku."
"Romusa di mana ia?" Tanya
Gunawan.
"Riau." Jawabku.
"Ada
24 foto anakku." Sambut seseorang yang berdiri agak jauh kemudian
mendekati kami. Tampaknya ia si penjaga pameran. Setengah kusut, dengan wajah
kumuh, kemudian dia melanjutkan bicara, "Sosok bekas romusa bernuansa
hitam-putih yang ditampilkan pemotretnya. Selain kakek, Banning juga memotret
bekas pekerja paksa lainnya: 16 warga Belanda dan tujuh orang Indonesia. Mereka
adalah saksi hidup atas kekejaman serdadu Jepang dalam proyek pembangunan rel
kereta api di Riau, Sumatera, sepanjang 220 km."
Aku tersentak. Di situ kulihat kakekku
yang muda, tetapi dengan tubuh renta dengan tulang-belulang. Jauh lebih kurus
dari yang kulihat. "Ini foto kapan, Pak?" tanyaku
"Enam puluh satu tahun lalu,
awal-awal romusa itu kembali di kota ini. Itu kakekku, Pak." Kataku tak
sabar sambil menunjuk ke foto kakek.
"Sejarah mencatat, anakku."
Cerita lelaki itu melanjutkan. "Selama PD II, Jepang membangun jalur
kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara: jalur Thailand-Burma dan Muara
Sijunjung-Pekanbaru. Kedua proyek raksasa itu menelan korban ratusan ribu pekerja paksa dari Asia. Khusus rute
Muara Sijunjung-Pekanbaru, dari sekitar 100 ribu orang romusa yang dikerahkan,
lebih dari 80 persen meninggal di tempat. Itu pun tak termasuk mereka yang tak
pernah sampai di camp kerja paksa di Pekanbaru karena kapal yang
mengangkutnya tenggelam dihajar torpedo. Ironisnya, setelah PD II berakhir dan
Jepang hengkang dari Indonesia, rel maut itu dibiarkan terbengkelai."
Paparnya panjang.
Aku tercenung begitu mendengar banyak
romusa yang mati. "Kakekku beruntung. Terima kasih Tuhan." Bisik
hatiku dalam.
"Kira-kira setengah abad kemudian,"
lanjut lelaki itu. "Jan Banning mulai melacak mereka yang lolos dari maut.
Fotografer berusia 50 tahun ini berhasil "menemukan" 24 orang eks
romusa, yang kemudian dijadikan "model" fotonya. Yang menarik, di
antara para modelnya itu adalah sang bapak sendiri, Frans Banning dengan usia 82
tahun. Banning mengakui, karyanya memiliki titik awal yang sangat pribadi. Ia
terinspirasi pengalaman orang tuanya yang menjadi romusa di Pekanbaru,"
ujar lelaki itu datar.
Aku dan teman-teman semakin bengong.
Kekejaman begitu, ternyata begitu dahsyat memakan korban ratusan ribu orang
tidak berdosa dipekerjakan paksa.
"Kakekku tidak pernah cerita,
Hand?" Tanya Gunawan kemudian.
Aku mengangguk. "Pernah. Tetapi
tidak sedetail bapak ini."
"Lihat, Nak foto-foto yang lain
itu." Harap lelaki itu rendah. "Sebelum rangkaian foto Jejak-Jejak
Perang, fotografer itu telah
menelurkan berbagai karya foto lain yang juga bertema dampak sebuah perang: Vietnam,
Doi Moi (1993), Terug Naar Maluku (1997), dan Burma Behind the
Mask (1997). Di luar itu, ia juga menggarap foto-foto bernuansa human
interest. Dan tahun ini fotonya berjudul Story on Bureaucrats in Bihar,
India meraih juara pertama World Press Photo untuk kategori portrait
series. Menurutnya, seluruh karya fotonya menggunakan teknik yang menggabungkan
antara foto jurnalistik dan seni." paparnya lagi.
"Lho, tetapi dalam sejarah
kita penderitaan romusa itu kok tidak banyak terungkap ya?" tanya
Yadi setelah terkesima mendengar paparan panjang lelaki setengah tua itu.
Aku menggeleng. Demikian juga Gunawan.
Aku tak habis pikir, bagaimana kekejaman Jepang itu dilakukan, sahut batinku.
"Secara fotografis, ada sisi
menarik dari foto Jejak-Jejak Perang," tambahnya. "Foto-foto itu digarap dalam rentang
waktu 2001 hingga 2002. Sederhana memang: sebuah rangkaian dokumenter yang
terkesan datar. Tapi kepolosan itu kemudian berhasil menampilkan
keriput-keriput keras yang menghiasi wajah eks romusa, yang melukiskan sosok
yang lama memendam derita. Tak berlebihan, bila dikatakan serangkaian foto itu
mempunyai nilai sejarah yang sangat penting."
Kami hanya dapat menganggup. Dengan
degup yang tertahan, kulihat penderitaan orang-orang dalam potret itu
mengabarkan jauh. Bola mata yang kosong, seperti mengisahkan kekosongan hidup
yang lampau.
***
Sepulang dari menonton pameran foto
sejarah itu saya tidak dapat tidur. Semilir angin yang menembus kamar, hanya
menyurukkan aku pada sepi. Wajah kakek yang kulihat di rumah bukanlah wajah
kakek yang kulihat tadi di pameran. Wajah kakek jauh lebih pedih dari kini.
Meski urat-urat itu masih kekar, tapi kering kerontang tubuhnya menjejakkan
sejarah yang tak terbantah.
Aku melempar kelu tubuhku di atas kasur.
Aku teringat ayah, yang entah kini di mana. Yang kudengar dari ibu, ayah mati
menjadi TKI di negeri Jiran karena harus memanggul beban hidup: 18 tahun yang
lalu. "begitu keraskah hidupmu, Ayah?" bisik hatiku lembut.
"Kalau memang, hidup penuh kekerasan kenapa harus kau hidupkan aku,
Tuhan?" protesku keras.
"Jumlah itu belum seberapa, Nak."
Sahut ayah. "Aku harus bekerja keras, memanjat dan membangun gedung
bertingkat memang. Tetapi itu untuk kamu, Nak."
Wajah ayah sendu. Kosong, tetapi
kata-katanya terukur.
"Foto-foto yang kau lihat bersama
teman-temanmu, belumlah mewakili rangkaian kekejaman serdadu Jepang terhadap
para romusa, Nak. Termasuk kakekmu."
Mata ayah sembab. Menangis.
"Kenapa menangis, ayah?"
Ayah tidak menjawab. Menggeleng kecil.
Suara adzan sayup-sayup membangunkan aku
dari mimpi. Dingin yang menyengat kuhalau dengan dua punggung tangan.
"Adakah kekejaman baru di negeri romusa bangsaku,
Tuhan?"
***
Pulung, awal Juni 2010
Penulis:
Drs. Sugiyanto
Guru
SMAN 1 Pulung Ponorogo
[1] Cerpen
ini diilhami oleh berita tentang sisa-sisa Romusa yang diberitakan Tempo edisi
29 Pebruari 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar