Guru Harus Jadi Kambing Hitam?
Oleh: Sugiyanto*
Akar
permasalahan kegagalan pendidikan di Indonesia disebabkan oleh rendahnya
kompetensi guru. Pembatalan Kurikulum 2013 oleh Menteri Pendidikan Anies Bawesdan,
juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi guru tersebut, demikian pernyataan
Saudara Rosyid ( Jawa Post, 8/12/2014). Dinyatakan juga bahwa pendidikan tidak
perlu kurikulum dan sekolah. Pernyataan tersebut dapat diinterprestasikan pendidkan
tidak memerlukan guru. Tulisan berikutnya dari Saudara Akh Muzaki Butuh Sekolah dan Kurikulum (Jawa
Post,9/12/2014) telah memberikan tanggapan yang argumentatif dari pernyataan
Saudara Rosyid. Dari dua paparan di atas, keduanya menyimpulkan bahwa kegagalan
pendidikan di Indonesia disebabkan guru yang tidak kompeten.
Keputusan
Menteri Pendidikan Anies Bawesdan menimbulkan berbagai polemic, semua orang
dari berbagai pelosok Penjuru Tanah Air. Mulai para pakar, pemerhati pendidikan,
dewan pendidikan sampai orang awam tentang pendidikan berargumen. Media massa
local dan nasional, baik radio, televise maupun koran, mengangkat tema
penghentian Kurikulum 2013. Karena keberanekaragaman profesi itulah bahwa
wacana ini menjadi begitu bias. Dan diantara pendapat-pendapat tersebut gurulah
penyebab amburadulnya implementasi kurilum ini.
Selama ini berbagai pendapat
bermunculan terkait implementasi kurikulum ini. Satu pihak menyatakan bahwa
kurikulum ini penuh dengan permasalahan. Kekurangan tersebut baik terkait
dengan belum adanya buku, kesiapan guru lemah, pada akhirnya menunjukkan sikap
pesimis. Pihak lain menyatakan bahwa kontens kurikulum ini dapat digunakan
sebagai strategi menyiapkan generasi bangsa Indonesia untuk mampu bersaing
dalam kehidupan global. Dalam realitas implementasi, sekolah-sekolah (guru)
terus berusaha untuk melaksanakan secara optimal. Jadi guru-guru tidak
menanggapi dengan skeptis tetapi melaksanakan dengan segala upaya. Sehingga
tidak menjadi penghambat implementasi.
Sikap profesionalisme guru dalam
menghadapi perubahan dan menjalankan tugas menjadi kunci pokok keberhasilan.
Hosnan (2014) menyatakan dalam menghadapi pembelajaran abad 21 ini guru
diharapkan mampu meningkatkan kompetensi: adaptability
(adaptasi), curiosity (ingin tahu dan
ingin belajar, creativity (kreatif
menggunakan imajinasi menciptakan karya baru, dan risk-taking (keberanian mengambil resiko). Dengan demikian
kurikulum 2013 dapat memberikan stimulus guru untuk belajar sambil mengajar. Dalam
kontes meningkatkan kompetensi inilah penilaian secara cepat akan rendahnya
kompetensi guru tak ubahnya mencari kambing hitam.
Guru-guru
menyadari bahwa secara material, kontes pembelajaran dan penilain Kurikulum 2013 begitu representative dan
komprehensif. Isi kompetensi peserta didik yang diharapkan berkembang adalah:
(a) kompetensi sikap spiritual (b) kompetensi sikap social; (c) kompetensi
pengetahuan, dan (d) kompetensi ketrampilan. Dengan demikian proses
pembelajaran sebagai inti implementasi kurikulum harus mengacu pada empat
kompetensi tersebut. Jadi kurikulum 2013 secara material sangat representative
memuat kebutuhan individu dalam berkehidupan. Kontens penerapan pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam
pembelajaran yang
terimplementasi dengan model discovery
learning, inquairy learning, problem based learning dan project based leaning, dalam realitasnya
sangat menghidupkan kegiatan pembelajaran. Siswa jadi aktif dan pembelajaran
terasa hidup. Memang dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya ada kerumitan
dalam implementasinya, jadi hal inilah yang perlu disempurnakan. Jadi
seandainya suara guru menjadi pertimbangan, implementasi Kurikulum 2013 lebih
arif penyesuaian bukan penghentian. Apalagi penghentian ditengah tahun
pembelajaran.
Implementasi
kurilum 2013 dilakukan oleh guru-guru yang dikatakan kurang kompeten telah
mengabdi pada negara yang bernama Indonesia. Negara yang secara
geografis memiliki bentangan kepulauan membujur dari Sabang sampai Merauke.
Negara yang memiliki tekstur geografis
yang sangat beragam. Ada daerah yang
mudah terjangkau komunikasi sampai daerah-daerah timur yang cukup terisoler.
Daerah yang subur sampai daerah yang sangat tandus. Bahkan guru-guru juga ada
di daerah perbatasan, di tengah belantara hutan. Guru-guru juga mengajar di
daerah terpencil. Kebhinekaan itu semakin dilengkapi dengan beragamnya agama
dan kepercayaan masyarakat. Demikian juga kesenjangan SDM yang cukup
signifikan. Jadi menyimpulkan kompetensi guru penyebab kegagalan Kurikulum 2013
perlu dikaji ulang.
Selain
kondisi geografis dan kemajemukan bangsa, guru-guru di Indonesia secara umum
berhadapan dengan berbagai penyakit social. Bangsa yang besar ini sedang
terjangkit berbagai penyakit sosial. Penyakit social tersebut adalah; (1)
percecokan partai politik, (2) maraknya perselisihan, (3) tingginya
kriminalitas, (4) maraknya porno grafi dan porno aksi, (5) korupsi, (6)
keluarga yang broken, (7) kemiskinan, (8) kecerobohan penggunaan teknologi dan
(9) bangsa yang tercerabut dari budaya daerahnya. Apakah semua itu tidak
berpengaruh pada pendidikan bangsa ini. Jadi haruskah guru menjadi kambing
hitam?.
Pada
satu sisi ada generalisasi guru sebagai kambing hitam kegagalan pendidikan. Pada
sisi lain, selama ini pendidikan di Indonesia dengan berbagai kurikulum yang
pernah diterapkan menghasilkan berbagai profesi. Pendidikan dengan guru-guru
yang kurang cakap ini telah menghasilkan presiden, menteri, dosen, pengamat
pendidikan, dewan pendidikan dan berbagai profesi lain. Dengan demikian dosa
profesi guru di Indonesia ini sedikit berkurang. Dengan kata lain, generalisasi
negative tentang guru sebagai penghambat kegagalan implementasi Kurikulum 2013,
bisa salah.
Mengapa
muncul berbagai pernyataan tentang rendahnya kompetensi guru? Ada beberapa
argument tentang euforia pernyataan, yaitu: (1) Isu kemiskinan (petani)
dan kebodohan (pendidikan) adalah komoditas proyek dan politik.; (2) Tujuan
pernyataan dan kritik terhadap kebijakan adalah uang dan popularitas bahkan
jabatan. (3) Kultur mayarakat kita menyampaikan banyak gagasan tanpa berani
menanggung dampak negative. Dengan demikian paradigma kebijakan adalah komoditas
politis dan ekonomis. Dan mengkambinghitamkan guru menjadi hal yang mudah,
bahkan menguntungkan.
Secara
riil dalam konteks pendidikan, Kurikulum 2013, di sekolah tidaklah sepelik
dalam wacana. Kekeliruan utama jika memandang guru sebagai penyebab utama
kegagalan. Ada beberapa alasan terkait hal tersebut. (1) Guru telah berusaha
secara maksimal; (2) Pengambilan kesimpulan dan keputusan tidak berdasar pada
realitas implementasi; (3) Kesulitan penerapan oleh guru hanya terkait pada
evaluasi dan adanya lintas minat; (4) Pernyataan tentang implementasi kurikulum
2013 hanya oleh pengamat; dan (5) Pernyataan tentang guru tidak berdasarkan
pada peta pendidikan yang jelas. Teruslah belajar dan belajar guru. Di
pundakmulah bangsa ini akan melaju.
Sugiyanto, Guru
SMAN 1 Pulung, Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar