Selasa, 11 Oktober 2016

Guru Harus Jadi Kambing Hitam? Oleh: Sugiyanto



Guru Harus Jadi Kambing Hitam?

Oleh: Sugiyanto*


Akar permasalahan kegagalan pendidikan di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kompetensi guru. Pembatalan Kurikulum 2013 oleh Menteri Pendidikan Anies Bawesdan, juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi guru tersebut, demikian pernyataan Saudara Rosyid ( Jawa Post, 8/12/2014). Dinyatakan juga bahwa pendidikan tidak perlu kurikulum dan sekolah. Pernyataan tersebut dapat diinterprestasikan pendidkan tidak memerlukan guru. Tulisan berikutnya dari Saudara Akh Muzaki Butuh Sekolah dan Kurikulum (Jawa Post,9/12/2014) telah memberikan tanggapan yang argumentatif dari pernyataan Saudara Rosyid. Dari dua paparan di atas, keduanya menyimpulkan bahwa kegagalan pendidikan di Indonesia disebabkan guru yang tidak kompeten.
Keputusan Menteri Pendidikan Anies Bawesdan menimbulkan berbagai polemic, semua orang dari berbagai pelosok Penjuru Tanah Air. Mulai para pakar, pemerhati pendidikan, dewan pendidikan sampai orang awam tentang pendidikan berargumen. Media massa local dan nasional, baik radio, televise maupun koran, mengangkat tema penghentian Kurikulum 2013. Karena keberanekaragaman profesi itulah bahwa wacana ini menjadi begitu bias. Dan diantara pendapat-pendapat tersebut gurulah penyebab amburadulnya implementasi kurilum ini.
Selama ini berbagai pendapat bermunculan terkait implementasi kurikulum ini. Satu pihak menyatakan bahwa kurikulum ini penuh dengan permasalahan. Kekurangan tersebut baik terkait dengan belum adanya buku, kesiapan guru lemah, pada akhirnya menunjukkan sikap pesimis. Pihak lain menyatakan bahwa kontens kurikulum ini dapat digunakan sebagai strategi menyiapkan generasi bangsa Indonesia untuk mampu bersaing dalam kehidupan global. Dalam realitas implementasi, sekolah-sekolah (guru) terus berusaha untuk melaksanakan secara optimal. Jadi guru-guru tidak menanggapi dengan skeptis tetapi melaksanakan dengan segala upaya. Sehingga tidak menjadi penghambat implementasi.
Sikap profesionalisme guru dalam menghadapi perubahan dan menjalankan tugas menjadi kunci pokok keberhasilan. Hosnan (2014) menyatakan dalam menghadapi pembelajaran abad 21 ini guru diharapkan mampu meningkatkan kompetensi: adaptability (adaptasi), curiosity (ingin tahu dan ingin belajar, creativity (kreatif menggunakan imajinasi menciptakan karya baru, dan risk-taking (keberanian mengambil resiko). Dengan demikian kurikulum 2013 dapat memberikan stimulus guru untuk belajar sambil mengajar. Dalam kontes meningkatkan kompetensi inilah penilaian secara cepat akan rendahnya kompetensi guru tak ubahnya mencari kambing hitam.
Guru-guru menyadari bahwa secara material, kontes pembelajaran dan penilain  Kurikulum 2013 begitu representative dan komprehensif. Isi kompetensi peserta didik yang diharapkan berkembang adalah: (a) kompetensi sikap spiritual (b) kompetensi sikap social; (c) kompetensi pengetahuan, dan (d) kompetensi ketrampilan. Dengan demikian proses pembelajaran sebagai inti implementasi kurikulum harus mengacu pada empat kompetensi tersebut. Jadi kurikulum 2013 secara material sangat representative memuat kebutuhan individu dalam berkehidupan. Kontens penerapan pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran yang terimplementasi dengan model discovery learning, inquairy learning, problem based learning dan project based leaning, dalam realitasnya sangat menghidupkan kegiatan pembelajaran. Siswa jadi aktif dan pembelajaran terasa hidup. Memang dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya ada kerumitan dalam implementasinya, jadi hal inilah yang perlu disempurnakan. Jadi seandainya suara guru menjadi pertimbangan, implementasi Kurikulum 2013 lebih arif penyesuaian bukan penghentian. Apalagi penghentian ditengah tahun pembelajaran.
Implementasi kurilum 2013 dilakukan oleh guru-guru yang dikatakan kurang kompeten telah mengabdi pada negara yang bernama Indonesia. Negara yang secara geografis memiliki bentangan kepulauan membujur dari Sabang sampai Merauke. Negara yang  memiliki tekstur geografis yang sangat beragam.  Ada daerah yang mudah terjangkau komunikasi sampai daerah-daerah timur yang cukup terisoler. Daerah yang subur sampai daerah yang sangat tandus. Bahkan guru-guru juga ada di daerah perbatasan, di tengah belantara hutan. Guru-guru juga mengajar di daerah terpencil. Kebhinekaan itu semakin dilengkapi dengan beragamnya agama dan kepercayaan masyarakat. Demikian juga kesenjangan SDM yang cukup signifikan. Jadi menyimpulkan kompetensi guru penyebab kegagalan Kurikulum 2013 perlu dikaji ulang.
Selain kondisi geografis dan kemajemukan bangsa, guru-guru di Indonesia secara umum berhadapan dengan berbagai penyakit social. Bangsa yang besar ini sedang terjangkit berbagai penyakit sosial. Penyakit social tersebut adalah; (1) percecokan partai politik, (2) maraknya perselisihan, (3) tingginya kriminalitas, (4) maraknya porno grafi dan porno aksi, (5) korupsi, (6) keluarga yang broken, (7) kemiskinan, (8) kecerobohan penggunaan teknologi dan (9) bangsa yang tercerabut dari budaya daerahnya. Apakah semua itu tidak berpengaruh pada pendidikan bangsa ini. Jadi haruskah guru menjadi kambing hitam?.
Pada satu sisi ada generalisasi guru sebagai kambing hitam kegagalan pendidikan. Pada sisi lain, selama ini pendidikan di Indonesia dengan berbagai kurikulum yang pernah diterapkan menghasilkan berbagai profesi. Pendidikan dengan guru-guru yang kurang cakap ini telah menghasilkan presiden, menteri, dosen, pengamat pendidikan, dewan pendidikan dan berbagai profesi lain. Dengan demikian dosa profesi guru di Indonesia ini sedikit berkurang. Dengan kata lain, generalisasi negative tentang guru sebagai penghambat kegagalan implementasi Kurikulum 2013, bisa salah.
Mengapa muncul berbagai pernyataan tentang rendahnya kompetensi guru? Ada beberapa argument tentang euforia pernyataan, yaitu: (1) Isu kemiskinan (petani) dan kebodohan (pendidikan) adalah komoditas proyek dan politik.; (2) Tujuan pernyataan dan kritik terhadap kebijakan adalah uang dan popularitas bahkan jabatan. (3) Kultur mayarakat kita menyampaikan banyak gagasan tanpa berani menanggung dampak negative. Dengan demikian paradigma kebijakan adalah komoditas politis dan ekonomis. Dan mengkambinghitamkan guru menjadi hal yang mudah, bahkan menguntungkan.
Secara riil dalam konteks pendidikan, Kurikulum 2013, di sekolah tidaklah sepelik dalam wacana. Kekeliruan utama jika memandang guru sebagai penyebab utama kegagalan. Ada beberapa alasan terkait hal tersebut. (1) Guru telah berusaha secara maksimal; (2) Pengambilan kesimpulan dan keputusan tidak berdasar pada realitas implementasi; (3) Kesulitan penerapan oleh guru hanya terkait pada evaluasi dan adanya lintas minat; (4) Pernyataan tentang implementasi kurikulum 2013 hanya oleh pengamat; dan (5) Pernyataan tentang guru tidak berdasarkan pada peta pendidikan yang jelas. Teruslah belajar dan belajar guru. Di pundakmulah bangsa ini akan melaju.

Sugiyanto, Guru SMAN 1 Pulung, Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar