Selasa, 25 Oktober 2016

AWAS! VIRUS LKS (memaknai pembelajaran aktif)



AWAS!
VIRUS LKS
(memaknai pembelajaran aktif)

“Anak-anak, kerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) halaman empat belas, nanti dikumpulkan”. “Kemarin telah kita bahas LKS halaman tiga, kalau sudah selesai hubungi saya di kantor”. Meskipun belum terhitung prosentasenya, kata-kata itu begitu sering didengar anak-anak/siswa-siswa kita. Lebih parah, fungsi LKS kadang dapat menggantikan kehadiran guru di kelas. Bayangkan, kalau kondisi demikian tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semoga saja belum, sebab bahayanya terhadap pelaksanaan pembelajaran aktif sama dengan virus flu burung. Apalagi kalau LKS-nya sebatas kumpulan tugas.

Eric Jensen dalam Brain-Based Learning mengelompokkan perilaku pembelajaran seorang guru menjadi tiga, yaitu: (1) Yang paling fit yang dapat bertahan hidup (Survival of the fittest) “Anda bisa menuntun seekor kuda di tepi air, tapi anda tidak bisa membuatnya meminum air”, kondisi ini merefleksikan jika siswa tidak mampu melakukan itu masalah dia sendiri. (2) Kaum Behavioris yang menentukan, artinya dengan hukuan dan penghargaan yang cukup, anda akan mendapatkan perilaku apapun yang anda inginkan. (3) Kaum Naturalis yang berbasis kemampuan otak “bagaimana kita membuat kuda itu haus supaya dia mau minum dari palung air”, kondisi ini merefleksikan bagaimana guru dapat menemukan penghalang alami dari pembelajar dan menemukan motivator dari dalam, sehingga hasrat perilaku muncul secara alamiah. (2008:7) Tentu saja kita tidak begitu saja mengikuti mana yang harus dipilih, tetapi ada makna tersirat, bagaimanakah sebuah pembelajaran efektif. Sehingga menemukan jawaban bagaimana dan kapan penggunaannya LKS.

Terus bagaimana membelajarkan siswa sehingga emosi siswa tidak merasa ditekan untuk belajar? Bagaimana siswa mau membelajarkan dirinya sendiri? Seperti halnya pernyataan kaum Naturalis? Dalam pembelajaran tentu kita tidak menginginkan proses transfer of knowledge tetapi transfer of learning. Sehingga tidak terwujud mengajar hanyalah sebuah proses penyampaian pengetahuan dari seorang pengajar kepada mahasiswa, tanpa memperhatikan apakah terjadi proses belajar pada mahasiswa (siswa) atau tidak. Hisyam Zaini dkk. (Umar Sidik(penyunting)2002:54). Pernyataan demikian dapat kita interpretasikan bahwa sebuah pembelajaran harus mampu melibatkan siswa secara emosional. Perlu kita pahami bersama bahwa kondisi pembelajaran dalam kelas adalah hasil desain seorang guru.

Memunculkan pembelajaran yang memantik motivasi siswa belajar tidaklah mudah. Seorang guru wajib memahami secara komprehensif hakikat sebuah pembelajaran. “Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Demikian Dimyati dan Mujiono (1999:18) keterlibatan ketiga aspek dalam belajar dapat menjadi tolak ukur sebuah hasil pembelajaran. Jadi, tingkat keberhasilan pembelajaran tidak hanya diukur dari segi pencapaian prestasi kognetif. Atau dapat kita nyatakan bahwa pembelajaran ditengarai mampu mencapai hasil yang optimal bila dalam proses individu pembelajar tercermin sebuah pembelajaran efektif.

Richard Dunne & Ted Wragg dalam pembelajaran efektif menyampaikan keterwujudan pembelajaran efektif tampaknya memerlukan sistem penyajian pembelajaran yang kondusif. Tentu saja disini dituntut peran guru untuk mewujudkannya. Guru dapat mendesain atau menskenario bagaimana proses pembelajaran yang memudahkan siswa belajar sekaligus bermanfaat. Perwujudan kondisi demikian dalam persiapan dapat tersurat dalam pembuatan langkah-langkah pembelajaran RPP.

Ada tawaran menarik Melvin L. Silberman agar pembelajaran menjadi efektif. (1) mendengar dan melihat. Pernyataan melihat, tampaknya guru harus memunculkan sebuah obyek yang mampu menarik indera siswa. Ketertarikan itu memberikan sinyal rangsang otak siswa untuk bekerja. (2) langkah respon mengajukan pertanyaan atau membahas. Pada langkah iniperan guru dapat mendesain kondisi pertanyaan terbimbing ataupun bebas. Mungkn juga berupa tugas-tugas guru setelah indera siswa menangkap sebuah obyekbelajar. (3) siswa bekerja merealisasikan kompetensi yang mereka peroleh ataupun mencapai kompetensi yang diharapkan. Pemahaman akan desain pembelajaran di atas, sangat membantu guru untuk menentukan sebuah obyek belajar ataupun bahan ajar. Permasalahannya sekarang sudahkah LKS yang kita gunakan terdesain demikian?
Keberhasilan sebuah pembelajaran memang tidak sekedar dengan keakuratan langkap pembelajaran guru. Faktor lain yang turut menunjang adalah faktor motivasi subyek belajar yaitu siswa, Bigss dan Telfer dalam Dimyati dan Mujiono menyatakan “motivasi berprestasi siswa dibagi menjadi dua jenis, yaitu : motivasi berprestasi tinggi, dan motivasi berprestasi rendah. Menghadapi siswa yang berprestasi tinggi guru harus menyalurkan semangat kerja keras mereka. Sedangkan siswa motivasi rendah, guru diharapkan mampu berkreasi dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran.” (ibid hal:33) Pendapat ini merupakan sebuah penegas bahwapembelajaran efektif memerlukan desain langkah pembelajaran serta bahan ajar yang dapat melayani kemajemukan motivasi siswa. Kita juga dapat menambahkan bagaimana motivasi belajar dapat dimunculkan guru dengan mempertimbangkan apa yang disampaikan Hamalik “motivasi belajar meliputi suasana lingkungan kelas, keterlibatan langsung siswa, menjamin keberhasilan” (2003:87). Dengan demikian perlu kecerdasan dari para guru kapan dan bagaimana sebuah LKS digunakan.

Pertimbangan lain untuk menciptakan pembelajaran efektif adalah pengetahuan guru akan bagaimana siswa itu belajar . prinsip-prinsip belajar bagi siswa meliputi: (1) perhatian dan motivasi, (2) keaktifan, (3) keterlibatan langsung/pengalaman, (4) pengulangan, (5) tantangan, (6) balikan dan penguatan, (7) perbedaan individual (ibid hal:42-50). Pendapat in selaras dengan pendapat Melvin L. Silberman tentang bagaimana langkah pembelajaran harus menciptakan siswa belajar dengan aktif. Pengetahuan guru tentang bagaimana siswa belajar akan memunculkan bagaimana membelajarkan mereka. Bagaimana jika keberadaannya cukup digantikan dengan sebuah LKS?

Tak kalah penting, selain pemahaman bagaimana pembelajaran efektif itu dapat dimunculkan, adalah pengetahuan guru bagaimana proses pembelajaran mampu berlangsung dinamis. Atau apa yang selalu dapat mempengaruhi erubahan kondisi pembelajaran. Agar pembelajaran mampu dinamis artinya siswa mampu belajar dengan optimal, maka guru harus memahami unsur-unsur dinamis dalam proses belajar terdiri atas (1) motivasi siswa, (2) bahan ajar, (3) alat bantu belajar, (4) suasana belajar, (5) kondisi subyek yang pembelajar (siswa).

Kelima unsur ini bersifat dinamis, yang sering berubah, menguatkan atau melemah, dan yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Oemar Hamalik (2003:50) kedinamisan sebuah pembelajaran akan membangun etos belajar siswa. Pembelajaran akan selalu berubah dan berubah, sesuai dengan kelima unsur di atas. Seorang guru akan merasakan iklim pembelajaran yang selalu berbeda. Dengan demikian ketepatan penggunaan LKS sangat memerlukan kecermatan.

Selain penentuan langkah dan pemilihan obyek belajar, perlu kiranya seorang guru memahami makna sebuah kolaborasi bagi siswa. Dalam bentuk apapun (diskusi, tanya jawab, curah gagasan) pada prinsipnya adalah apa yang terwujud adalah cooperative learning. “Bagaimanapun juga, hal tersebut mengambarkan bagaimana kerja tim terstruktur dapat memfokuskan siswa untuk saling membantu belajar bahan ajar, mulai dari keterampilan dasar sampai pada menulis kreatif”. Demikian Robert E. Slavin dalam Mohamad Nur (penyadur) (2005:18) Kadang penggunaan LKS sangatlah individu, sehingga pembelajaran mengacuhkan akan pentingnya makna sebuah kolaborasi.

Sekali lagi, bahwa penentuan langkah pembelajaran memerlukan beberapa landasan berfikir. Landasan berfikir akan menstrukturkan langkah pembelajaran yang menghasilkan pembelajaran efektif. Meskipun demikian pengetahuan dan pemahaman akan konteks belajar aktif di atas tidak bermanfaat sama sekali jika hanya dibaca atau dikatakan. Maka alternatif terpendek adalah mencobanya. Pembelajaran yang mewajibkan guru mendesain pembelajaran sesuai dengan makna cooperative learning, active learning, joyfull learning, contextual learning Sebuah pembelajaran yang mendasarkan pada kemampuan memancing motivasi belajar siswa baik yang aktif maupun pasif. Sebuah pembelajaran yang mampu memilih dan memilah LKS siswa. Dan bukan pembelajaran yang dituntun oleh LKS.
Tuturan Guru
Pembangkit Efektivitas Pembelajaran

Semua guru dalam tataran normal jelas menginginkan konteks pembelajaran di kelas berlangsung efektif. Berbagai kegiatan ditempuh guru untuk mencapai kondisi tersebut. Guru menyiapkan rencana pembelajaran, menyesuaikan sarana, menyiapkan media, sampai pada menentukan sebuah strategi pembelajaran. Semua kegatan itu sebagai upaya menghasilkan pembelajaran efektif. Tetapi faktor yang tidak kalah penting terkait pembelajaran efektif adalah bagaimana interaksi guru murid dapat berlangsung dengan baik. Interaksi itu jelas terjadi dalam setiap langkah. Asrori (2007:108) menyatakan interaksi adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, keduanya terlibat aktif dan saling mempengaruhi. Interaksi ini meliputi interaksi verbal, interaksi fisik dan interaksi emosional.

Optimalnya interaksi akan mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Pembelajaran menjadi efektif ketika psikologi siswa mau melakukan proses pembelajaran dengan penuh kesadaran, proses belajar siswa dalam belajar dapat diasumsikan dengan proses mental siswa dalam belajar. Kajian ilmiah terkait proses mental dinamakan dengan psikologi kognitif (Suharnan, 2005:1).

Baik dan buruknya interaksi dalam kelas jelas ditentukan oleh faktor bahasa.. Kinayati Djojosuroto (2007:293-294) menyampaikan bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga diperlukan untuk berfikir itu sendiri. Bahasa juga mempunyai fungsi mengekspresikan emosi , memerintah, menyampaikan bujukan (secara umum disebut “fungsi-fungsi emotif”). Sementara itu, G. Revesz dalam Sarwiji Suwandi (2008:57) mengemukakan tiga fungsi yang dimiliki oleh bahasa, yakni (1) indikatif, (2) imperative, (3) interogative. Berdasarkan pendapat di atas bahasa dapat digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi pikiran orang lain.
Interaksi ideal akan menghasilkan sebuah kondisi pembelajaran yang ideal juga. Dengan demikian keberhasilan pembelajaran tergantung dari tingkat daya komunikasi. Sejauh mana daya komunikatif  bahasa digunakan guru dan siswa untuk mencapai tujuan? Geofrey Lech mengatakan pengkajian secara mengenai efektivitas komunikasi ini disebut dengan retorik (1993:22). Daya retorik adalah makna sebuah tuturan dilihat dari ketaatan penutur pada prinsip retorik (misalnya sejauh mana penutur mengatakan dengan benar, berbicara dengan santun, atau bernada ironis). Daya retorik jia dipadukan dengan daya ilokusi akan membentuk daya pragmatic (ibid:23). Berdasarkan pendapat di atas perlu dikaji bagaimana intensitas daya pragmatik bahasa digunakan guru dalam pembelajaran.

Tindak berbahasa guru merupakan stimulus bagi siswa dalam belajar. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menentukan kondisi belajar siswa. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru memulai pembelajaran, mengkondisikan kelas, memerintah ataupun mengajukan pernyataan, tindak tutur guru akan mendapatkan reaksi yang beragam dari anak. Diharapkan tindak tutur guru menciptakan oembelajaran efektif. Tindak tutur guru membuat anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran.

Proses optimalisasi hasil interaksi guru murid harus ada sebuah kerjasama. Yule (2006:60) menyatakan penutur dan petutur dalam percakapan umumnya ada kerjasama untuk menghasilkan referen kerjasama merupakan faktor utama. Sebaliknya bila terjadi penolakan tidak terjadi komunikasi yang idial, kebanyakan komunikator cenderung menyelehkan pendengar demikian Michael Lum (2009:15). Terkait konteks kelas kesalahan ini sering ditujukan kepada siswa. Sekarang bagaimanakah tindak tutur guru dan siswa yang mempunyai daya pragmatik membangkitkan pembelajaran efektif.

Pencapaian tujuan dalam tindak tutur dalam konteks interaksi berdasarkan daya pragmatik ditentukan oleh daya retorik dan daya ilokusi. Noam Chomsky dalam Sarwiji (2010:63) mendikotomikan antara competence sebagai perangkat aturan bahasa, sedangkan performance adalah tindakan berbahasa berdasarkan competence. Dengan demikian keberhasilan guru ditentukan juga kemampuan memadukan unsur competence dan performance.

Sarwiji Suwandi (2010:70) dan Geofre Lech (1993:24) menyatakan kualitas berbicara memiliki beberapa prinsip dengan maksim tertentu, misalnya: (1) Prinsip kerjasama dengan maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevan, maksim cara bicara, (2) Prinsip sopan santun dengan maksim kearifan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kedermawanan.

Tindak berbahasa dalam kajian ini berlangsung pada kondisi pembelajaran pada umumnya. Emosi guru mampu tertata dengan baik, bukan dalam keadaan emosi atau marah. Guru dalam keadaan marah jelas menghambat sebuah pembelajaran efektif. Selain itu ukuran pelaksanaan pembelajaran terkait dengan standar proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang ditetapkan berdasarkan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 menyatakan bahwa proses kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Proses interprestasi daya pragmatik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk dialog dalam tiga tahap tersebut.

Apabila guru sudah melaksanakan kegiatan awal dengan baik, psikologi siswa akan terbawa dalam sebuah pembelajaran efektif. Proses interaksi dalam tahap ini kadang merupakan titik krusial berlangsungnya sebuah pembelajaran. Penguasaan materi pembelajaran, mengella kelas dan performance guru harus optimal. Daya pragmatik tindak tutur guru terkait pemilihan diksi (lokusi) dan bagaimana guru bertutur (ilokusi) serta kontrol terhadap efek tuturan (perlukosi) harus terjaga. Selain itu, tindak tutur guru harus menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan efek respon yang sama pada diri siswa. Daya pragmatik ini akan berlangsung optimal jika ada prinsip kerjasama.

Perhatikan data berikut:
Guru                    :    Berdo’a dulu
Ketua Kelas         :    Persiapan, berdo’a
                                 Mulai ... selesai
Guru                    :    (mengucapkan salam)
Siswa                   :    (mengucapkan salam)

Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antar siswa dan guru dalam prinsip kerjasama mengacu ada maksim relevansi mengharuskan setiap eserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Guru menyampaikan berdo’a dulu, ketua kelas merespon dengan menyiapkan.
Kalimat guru “berdo’a dulu”, secara ilokusi berbentuk perintah. Meskipun sudah terdapat maksim kerjasama, bentuk perintah akan menghasilkan jarak interaksi antar guru dan siswa. Jarak interaksi inilah yang dapat mengganggu sebuah konteks keakraban dan demokrasi dalam kelas. Bagaimana seandaina guru menyampaikan “Anak-anak mari kita berdo’a, ketua kelas minta tolong...” ilukosi dari kalimat di atasmenghasilkan sebuah kebersamaan dan prinsip kesantunan, jelas kalimat ini bukan perintah, tetapi kalimat permohonan. Daya pragmatik antara kalimat perintah dan permohonan mungkin menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas secara psikologi menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas secara psikologi menghasilkan efek mental ini dapat berpengaruh terhadap efektifitas pembelajaran.
Guru                    :    Siapa yang tidak masuk hari ini?
Murid                  :    (diam, satu dua memperhatikan temannya)
Guru                    :    Andi masuk?
Andi                    :    masuk
Guru                    :    kemarin tidak masuk, benar-benar sakit?
Andi                    :    benar, ada suratnya

Kalimat guru “Siapa yang tidak masuk hari ini?” ilukosi yang terdapat dalam kalimat di atas adalah bahwa anak-anak harus rajin masuk sekolah. Guru mengharapkan semua siswa dapat mengikuti pembelajaran. Penggunaan kata “siapa” dapat mempunyai makna menentukan ada yang tidak masuk (kecurigaan). Apalagi jika dikaitkan dengan implikatur “Andi masuk?” jelas guru mempunya praanggapan bahwa Andi sering tidak masuk. Rasa solidaritas kelas secara psikologis sudah menghasilkan rasa simpati pada Andi dan rasa kurang simpati pada guru. Dengan demikian kegiatan awal ini jika guru menggunakan kalimat di atas, menghasilkan sebuah tekanan mental pada diri siswa. Pembelajaran, menjadi kurang optimal. Kerjasama interaksi tidak optimal terbukti (siswa diam), Andi mereaksi.
Guru                    :    Baiklah. Hari ini, kita lanjutka pelajaran kemarin
Siswa                   :    (diam)
Guru                    :    coba kalian buka LKS halaman ...
Siswa                   :    (diam sambil membuka LKS)
Penggalan di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi secara optimal antara guru dan siswa. Siswa begitu pasif. Guru tidak mengadakan apersepsi pembelajaran dengan baik.

Bandingkan jika guru menggunakan implikatur dengan penggalan berikut:
Guru                    :    Anak-anak, saya sangat senang bertemu kalian saat ini
Siswa                   :   
Guru                    :    kalian luar biasa pada pertemuan kemarin, hari ini pasti lebih ....
Guru                    :    hari ini kiat akan kembali bersama-sama menjadi orang yang santun berbahasa ....

Daya pragmatik tuturan guru dalam penggalan di atas jelas berbeda dengan penggalan pertama. Prinsip kerjasama terjadi secara psikologis. Penggunaan kata “kita” menunjukkan lokasi kebersamaan. Perlukosi dari tuturan guru memang tidak terlihat secara perilaku atau tuturan, tapi pujian “kalian luar biasa” jelas berdampak pada psikologis anak pada persiapan diri di kegiatan awal.

Berdasarkan uraian di atas, kegiatan awal pembelajaran harus dimulai dengan tuturan guru yang mempunyai daya pragmatik positif. Daya pragmatik di kegiatan awal sangat berpengaruh dalam kegiatan inti sebuah pembelajaran. Sekali lagi daya pragmatik menghasilkan maksim kerjasama yang baik dalam konteks tuturan maupun psikologi belajar. Guru harus menjaga emosi positif siswa. Emosi siswa secara psikologi kognitif sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran saat itu.

Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses. Eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Guru berinteraksi dengan siswa dengan upaya mendorong mereka mau melakukan sendiri proses eksplorasi ini.

Perhatikan dialog berikut:
Guru    :           Anak-anak saya akan menyampaikan materi ....
Siswa   :           (diam)
Guru    :           kerjakan soal-soal berikut ....

Atau dialog berikut:
Guru    :           baca atau atau tulis materi tentang ....
siswa   :           (membaca atau menulis)

Dua model dialog di atas menunjukkan bahwa guru tidak memaknai eksplorasi dengan baik. Selain itu guru juga tidak menjaga prinsip kerjasama dengan siswa. Praanggapan guru adalah siswa mau menerima, mau membaca, dan mau menulis. Lebih lagi guru juga mempunyai praanggapan bahwa dengan implikatur demikian siswa secara psikologis mau belajar. Daya pragmatik demikian tidak membangkitkan siswa untuk mau bereksplorasi.

Bandingkan dengan data berikut:
Guru : Anak-anak kompetensi ini dapat kita capai bila kita secara bersama-sama .... (guru dapat menyampaikan berbagai kegiatan, misalnya mengamati , membaca, melakukan percobaan dan sebagainya)

Perlukosi yang diharapkan dari ilukosi guru tersebut adalah anak-anak mau belajar dengan kesadaran. Daya pragmatik ini tidak berbentuk perintah tetapi sebuah permohonan yang tentu saja mempunyai prinsip kerjasama yang lebih optimal. Lebih lagi jika selama proses eksplorasi guru terus memberikan implikatur dengan berpranggapan mereka mampu melakukan, seperti “kalian bisa”, “terus saja”, “lakukan lagi”, atau “ada yang dipertanyakan?” ilukosi dari tindak tutur demikian berharap agar siswa mau bekerja dan percaya diri.

Dalam kegiatan elaborasi, guru memfasilitasi peserta didik agar mengaitkan tentang apa yang diperoleh dalam eksplorasi dengan kompetensi atau konsep yang sedang dipelajari.
Guru    :    anak-anak sekarang mari kita mendiskusikan temuan-temuan kita dalam kelompok
Siswa  :    (berdiskusi)
Guru    :    kalian pasti bisa menyampaikan ada teman
Guru    :    seperti biasa, kalian semua adalah jago membuat kesimpulan

Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menampaikan hasil eksplorasi dan elaborasi, tindak tutur guru memberikan kesempatan siswa untuk menyampaikan kerja individu maupun kerja kelompok. Sekali lagi pada dasarnya daya pragmatik terletak bagaimana guru mampu membangun interaksi dalam kelas dengan tuturan yang terukur. Tuturan yang mengutamakan ilukosi yang berdasar pada prinsip kerjasama.Bukan bentuk erintah atau membangun sebuah jarak psikologis.
Guru    :    sekarang tiba saatnya kalian menyatakan pada kelas bagaimana hasil pengamatan ataupun diskusi kalian
Guru    :    luar biasa, baik sekali, saya bangga dan sebagainya (dikatakan saat siswa selesai menyampaikan tugas mereka)

Guru dapat juga memberi penguatan non verbal dalam bentuk tepukan atau anggukan, dan sebagainya. Terkait kegiatan inti, baik eksplorasi, elaborasi, maupun konfirmasi, daya pragmatik yang utama adalah bagaimana membangun prinsip kerjasamabaik verbal maupun psikis. Siswa memerlukan motivasi dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. Motivasi itu dapat membantu siswa melewati proses pembelajaran dengan baik.

Daya pragmatik dalam kegiatan penutup jelas mengharapkan siswa untuk mampu merefleksikan hasil pembelajaran secara menyeluruh. Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah dipelajari, sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Implikatur berbentuk kalimat-kalimat kesimpulan dari proses pembelajaran.

Guru    :    anak-anak tidak terasa waktu sudah habis. Ada beberapa hal yang perlu kita simpulkan. Teruslah belajar dan tetap bersemangat, dan tepuk tangan untuk kita semua.

Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa daya pragmatik sangat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran efektif. Pembelajaran efektif tidak terlepas dari mental belajar siswa. Mental belajar terkait dengan psikologi kognitif. Proses kognitif cenderung lebih efektif ketika menangani informasi positif daripada negatif. Daya pragmatik akan menghasilkan prinsip kerjasama antar guru dan siswa, atau siswa dengan siswa. Daya pragmatik merupakan implikasi dari lokusi, ilokusi dan perlukosi.

Jelaslah tuturan guru dalam sebuah pembelajaran mempunyai daya mempengaruhi pikiran siswa. Penggunaan bahasa yang tepat akan menghasilkan proses kognitif belajar yang baik. Tuturan guru sebaiknya menggunakan bahasa yang mempunyai daya pragmatik positif. Daya pragmatik dalam konteks pembelajaran terimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran. Konteks utama implementasi terdapat dalam kegiatan awal, sedangkan kegiatan inti dan penutup terutama terkait dengan bagaimana membangun prinsip kerjasama dan motivasi siswa.



Daftar Pustaka

Brown, Gilian dan George Yule, 1996. Analisis Wacana. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: Gramedia
Depdiknas. 2007, Juknis Standar Proses
Yule, George. 2006. Pragmatik. Penerjemah Rombe Mustajab. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kinayanti Djojosuroto. 2007. Filsafat Bahasa Yogyakarta : Pustaka Book Publisher
Leech. Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka. Jakarta : UI Press
Mohamad Asrori. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima
Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik. Surakarta : UNS Press
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya : Srikandi
Titscer, Styefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks & Wacana. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar