Senin, 24 Oktober 2016

Cerpen Pasien Pertama Oleh: Sugiyanto


 

Pasien Pertama

 Oleh: Sugiyanto

Sore itu , beberapa orang sedang mendaftar di ruang praktek  dokter Bardha Kusuma. Tidak seperti biasanya, kali ini puluhan orang tampak berjubel. Layaknya penumpang kereta api ataupun transportasi lainnya menjelang liburan. Mereka semua tampak tegang, khawatir jika tidak mendapat kesempatan periksa di hari itu. Jaman sekarang orang memang semakin sadar akan kesehatan. Meskipun sisi lain alam sudah mulai lelah. Akhirnya nyawa manusia kadang begitu murah, apalagi di Indonesia.

Dokter Bardha Kusuma memang cukup ternama. Dia ahli berbagai macam penyakit. Tidak heran jika sebagian orang  begitu percaya akan keahliannya.
“Dua minggu yang lalu tetangga  berobat ke sini berangkat dalam keadaan lemas, anehnya begitu diperiksa dan diberi obat lansung sembuh” celetuk seoran pengantar
“Kalau saudara saya Mas baru diperiksa sudah langsung sembuh”
“Jadi belum sampai minum obat.”
“Ya, jelas belum.” Lanjutnya
Semua pasien mengangguk. Tampak menyetujui. Selain itu tarif yang diberikan juga cukup murah dibamding dengan dokter lain. Bahkan menurut kabar program spesialis beliau diselesaikan di Amerika Serikat.

Hujan turun perlahan orang-orang itu teratur rapi sesuai nomor yang mereka catat. Seorang petugas mulai menyiapkan kertas-kertas dan mengatur meja. Musik dihidupkan pelan-pelan, mungkin sebagai penghilang rasa jenuh. Antrian cukup panjang sebab setiap pasien diantar oleh beberapa anggota keluarga.
“Masih lama Mbak?”
“Sebentar lagi, nunggu Pak dokter.”
“Biasanya jam sekian sudah datang Mbak.”
“Mungkin sedang banyak pasien di tempat lain” jawab pencatat pasien

Tiba-tiba ada seseorang datang, dia begitu saja menempati kursi terdepan.
“Maaf Mas, nomornya harus urut”
“Lho memangnya saya tidak urut, ada yang lebih pendek” celetuk pengantarnya
“Seperti dak tahu aturan saja!” teriak lainnya
“Atau Mungkin tidak bisa membaca !” timpal lainya
“Apa, kamu bilang aku tidak bisa membaca!” pengantar itu mendekat pada seseorang
“Mas kan baru datang mengapa langsung mengambil urutan nomor dua.”
“Malah Pasien yang saya antar Pak Hardoyo belum bisa  masuk itu , masih di mobil !” kata pengantar itu kethus
“Mas, seharusnya tahu aturan!.” Tampak lelaki kekar menengahi
“Lalu saya harus bagaimana?” jawab pengantar agak melunak
“Sebaiknya Mas mengambil dulu nomor urut, lalu menyesuaikan dengan  yang lainnya.”
Petugas penerima pasien menyadarkan pelan.
“Lho, kalian ini yang salah.” Pengantar itu tampak begitu percaya diri

Hujan mulai agak deras, jalanan mulai sepi. Satu dua orang pengendara sepeda yang lewat. Sedangkan mobil juga agak jarang. Ruangan itu senyap sesaat. Pencatat pasien mematikan musiknya. Semua orang menunggu kata-kata pengantar itu.
“ Kalian ini pasti tidak mengerti“ Pandangan pengantar itu memutar ke seluruh pengantar dan pasien “Amplop, jawabnya ada di amplop”
“Oh, maksudmu kami harus memberi uang dulu kepada dokter atau penjaga agar diberi kesempatan lebih dulu.” Jawab pengantar yang lain.
“Bukan !”
“Kalau bukan kami harus menerima tanda amplop itu kepada dokter atau pencatat nomor.”
“Ah, mengapa harus begitu,” jawabnya “Kalian pasti tidak membuka amplop yang diberikan Pak Dokter pada pemeriksaan minggu yang lalu.”
“Amplop yang mana ?” sambut pengantar lain
“Amplop begini, ini, diserahkan lansung Pak Dokter pada pasien, menjelang pulang.”
Malah pak dokter itu mengatakan simpan baik-baik amplop ini dan jangan ditunjukkan pada siapapun sebelum kalian nanti aku pamggil.
“ Jadi semua pasien membawa amplop, coba saya bertanya pada petugas.”
“Malah aku juga tidak tahu.” Jawab petuguas
“Tiiiiiiiiidaaaaaaak Taaaaaaaahu.” Antrian itu seperti paduan suara.

Para pengantar itu semburat secara otomatis melacak keberadaan amplop, dan menanyakan pada pasien.
“Aduh Mas, mengapa harus demikian mas” teriak seorang perempuan menangisi suaminya
“Pak jangan tinggalkan aku Pak !” teriak dari mobil lain
Suara-suara itu terus bergantian dan bersamaan. Sekitar tempat praktek menjadi gaduh.
“Tenang-tenang Pak, Buk, tenang  saudara.” Petugas itu kesana-kemari menenangkan mereka.  Suasana sedikit tenang. Kemudian seperti di komando pengantar itu menyerahkan amplop pada petugas.

Petugas itu membuka amplop satu persatu dan membacanya. Pak Andi, penyakit anda parah, meninggal kurang dua minggu lagi, isi amplop pertama. Nyonya Sanjaya, jantung Anda sulit disembuhkan, kalau tidak cermat  tiga minggu lagi akan meninggal, amplop ke dua. Mas Bagas, tekanan darah tidak setabil, hipertensi, paling kuat emapat minggu. Demikian isi surat itu, sejumlah pasien telah ditaksir penyakit dan umurnya.
“ Benar kan, ada keterangan kapan pasien akan mati” celetuk pengantar Pak. Handoyo
“Lho, kok mati, bukannya kapan akan sembuh.”
“ Saudara-saudara nomor urut ini tampaknya perlu ditata ulang.”Penerima tamu menegaskan.
“Lalu bagaimana?.”
“Urutan pasien sesuai dengan kesempatan hidup atau waktu mati.” Lanjutnya
“Setelah saya hitung,  pahami dan bandingkan maka kesempatan hidup pasien tinggal hitungan hari, bahkan jam.” Lanjut penerima pasien
“Terus apa gunanya berobat.” Celetuk pengantar
“Jangan khawatir hidup harus berusaha, siapa tahu Pak Dokter telah menemukan obatnya.” Petugas itu meyakinkan.  Beberapa orang tampak mengangguk tanda setuju.

“Sementara Pak Handoyo nomor satu. Pak Handoyo menurut keterangan kesempatannya tinggal sepuluh jam dari sekarang. Sedangkan nomor dibelakangnya berurutan sesuai dengan keterangan dalam amplop.” Demikanlah petugas itu mengatur urutan pasien. Tampaknya semua menerima, meskipun ada juga yang mengeluh.
“Benarkan Pak. Handoyo nomor pertama, masalahnya waktu” pernyataan pengantar.
“Apa Bapak yakin bisa sehat kembali.” Tanya pengantar pada penagantar lain
“Dokter ini cukup ahli, jarang pasien yang tidak sembuh.”
“Tapi apa setiap pemeriksaan pasti diberi amplop demikian.”
“Seingat saya tidak, tapi mungkin ini sebagai pemicu agar pasien lebih serius dan sungguh-sungguhberobat.”
”Mana ada berobat tidak sungguh-sungguh,” Sanggahnya “perkiraan beliau tentang penyakit gimana ?”
“Dokter ini juga seperti orang ngerti, selain tepat ,  obat beliau juga diberi mantra-mantra.”
“Ya semogalah semua dapat diselamatkan,”
“Kalau saya sudah terlanjur percaya, dia itu orang pinter.”

Hujan belum juga reda. Selang beberapa waktu Dokter itu datang. Dokter Bardha Kusuma, lelaki setengah baya,. Meski usianya sudah agak lanjut tapi tubuhnya masih kelihatan kuat, maklum seorang dokter. Rambutnya tersisir rapi, walaupun sudah ada stu dua uban di sana. Tatapan matanya tajam.
“Selamat malam.” Dokter itu menyapa.
Tidak banyak basa-basi dia langsung masuk dalam ruang kerja.

Orang-orang itu sedikit lega. Mereka merapikan tempat duduk. Satu dua orang mengambil pasien dari mobil. Harapan masih tersisa. Wajah Pak Handoyo, urutan pertama, semakin tegang. Maklum, menurut keterangan dokter, jika dihitung sisa hidupnya kurang lima jam. Apalagi sanak keluarga, mereka semua membisu berandai-andai dengan angan  masing-masing.

Petugas masuk ruang praktek, sebentar terus duduk lagi. Tampak mencatat sesuatau.
Dia berdiri  lalu berkata”Bapak-bapak menungu sebentar, ada pasien nomor pertama, itu pesan Pak Dokter.”
“Pasien pertama, Mbak.” Kata pengantar pak Handoyo ” apa nggak salah.”
“Begitulah pesan Pak Dokter.”
“Bapak Saya yang sementara nomor pertama, kurang lima jam, terus orang ini gimana ?”
“Saya hanya petugas Mas!” jawabnya.

Hujan mulai reda. Waktu menunggu pasien pertama sudah lebih satu jam. Beberapa orang tampak mengeluh. Pak Handoyo mulai gelisah. Anaknya berdiri mendekatui petugas. Entah apa yang dibicarakan. Petugas itu mengeleng. Waktu menunggu dua jam. Pasien pertama belum juga datang. Orang- orang mendeikati penjaga. Mereka bersitegang sejenak. Akhirnya petugas itupun berdiri masuk  ruang praktek
“Pak Dokter ! Pak Dokter ! Pak Dokter. Tolong “
Oang-orang  memasuki kamar periksa. Ditemukan  Amplop. Orang-orang mencoba membuka dan membaca, Dokter Bardha Kusuma, tidak sakit, Dokter itu telah tiada. Mereka baru tahu siapa pasien pertama.


Sugiyanto, Guru SMA Pulung Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar