Pasien Pertama
Oleh: Sugiyanto
Sore itu , beberapa orang sedang mendaftar di
ruang praktek dokter Bardha Kusuma. Tidak
seperti biasanya, kali ini puluhan orang tampak berjubel. Layaknya penumpang
kereta api ataupun transportasi lainnya menjelang liburan. Mereka semua tampak
tegang, khawatir jika tidak mendapat kesempatan periksa di hari itu. Jaman
sekarang orang memang semakin sadar akan kesehatan. Meskipun sisi lain alam
sudah mulai lelah. Akhirnya nyawa manusia kadang begitu murah, apalagi di Indonesia.
Dokter Bardha
Kusuma memang cukup ternama. Dia ahli berbagai macam penyakit. Tidak heran jika
sebagian orang begitu percaya akan
keahliannya.
“Dua minggu yang
lalu tetangga berobat ke sini berangkat
dalam keadaan lemas, anehnya begitu diperiksa dan diberi obat lansung sembuh”
celetuk seoran pengantar
“Kalau saudara
saya Mas baru diperiksa sudah langsung sembuh”
“Jadi belum
sampai minum obat.”
“Ya, jelas
belum.” Lanjutnya
Semua pasien
mengangguk. Tampak menyetujui. Selain itu tarif yang diberikan juga cukup murah
dibamding dengan dokter lain. Bahkan menurut kabar program spesialis beliau
diselesaikan di Amerika Serikat.
Hujan turun
perlahan orang-orang itu teratur rapi sesuai nomor yang mereka catat. Seorang
petugas mulai menyiapkan kertas-kertas dan mengatur meja. Musik dihidupkan
pelan-pelan, mungkin sebagai penghilang rasa jenuh. Antrian cukup panjang sebab
setiap pasien diantar oleh beberapa anggota keluarga.
“Masih lama
Mbak?”
“Sebentar lagi,
nunggu Pak dokter.”
“Biasanya jam
sekian sudah datang Mbak.”
“Mungkin sedang
banyak pasien di tempat lain” jawab pencatat pasien
Tiba-tiba ada seseorang
datang, dia begitu saja menempati kursi terdepan.
“Maaf Mas,
nomornya harus urut”
“Lho memangnya
saya tidak urut, ada yang lebih pendek” celetuk pengantarnya
“Seperti dak
tahu aturan saja!” teriak lainnya
“Atau Mungkin
tidak bisa membaca !” timpal lainya
“Apa, kamu
bilang aku tidak bisa membaca!” pengantar itu mendekat pada seseorang
“Mas kan baru datang mengapa
langsung mengambil urutan nomor dua.”
“Malah Pasien
yang saya antar Pak Hardoyo belum bisa masuk itu , masih di mobil !” kata pengantar
itu kethus
“Mas, seharusnya
tahu aturan!.” Tampak lelaki kekar menengahi
“Lalu saya harus
bagaimana?” jawab pengantar agak melunak
“Sebaiknya Mas
mengambil dulu nomor urut, lalu menyesuaikan dengan yang lainnya.”
Petugas penerima
pasien menyadarkan pelan.
“Lho, kalian ini
yang salah.” Pengantar itu tampak begitu percaya diri
Hujan mulai agak
deras, jalanan mulai sepi. Satu dua orang pengendara sepeda yang lewat.
Sedangkan mobil juga agak jarang. Ruangan itu senyap sesaat. Pencatat pasien
mematikan musiknya. Semua orang menunggu kata-kata pengantar itu.
“ Kalian ini
pasti tidak mengerti“ Pandangan pengantar itu memutar ke seluruh pengantar dan
pasien “Amplop, jawabnya ada di amplop”
“Oh, maksudmu
kami harus memberi uang dulu kepada dokter atau penjaga agar diberi kesempatan
lebih dulu.” Jawab pengantar yang lain.
“Bukan !”
“Kalau bukan
kami harus menerima tanda amplop itu kepada dokter atau pencatat nomor.”
“Ah, mengapa
harus begitu,” jawabnya “Kalian pasti tidak membuka amplop yang diberikan Pak
Dokter pada pemeriksaan minggu yang lalu.”
“Amplop yang
mana ?” sambut pengantar lain
“Amplop begini,
ini, diserahkan lansung Pak Dokter pada pasien, menjelang pulang.”
Malah pak dokter
itu mengatakan simpan baik-baik amplop ini dan jangan ditunjukkan pada siapapun
sebelum kalian nanti aku pamggil.
“ Jadi semua pasien
membawa amplop, coba saya bertanya pada petugas.”
“Malah aku juga
tidak tahu.” Jawab petuguas
“Tiiiiiiiiidaaaaaaak
Taaaaaaaahu.” Antrian itu seperti paduan suara.
Para pengantar itu semburat secara otomatis melacak
keberadaan amplop, dan menanyakan pada pasien.
“Aduh Mas,
mengapa harus demikian mas” teriak seorang perempuan menangisi suaminya
“Pak jangan
tinggalkan aku Pak !” teriak dari mobil lain
Suara-suara itu terus
bergantian dan bersamaan. Sekitar tempat praktek menjadi gaduh.
“Tenang-tenang
Pak, Buk, tenang saudara.” Petugas itu
kesana-kemari menenangkan mereka.
Suasana sedikit tenang. Kemudian seperti di komando pengantar itu
menyerahkan amplop pada petugas.
Petugas itu
membuka amplop satu persatu dan membacanya. Pak Andi, penyakit anda parah,
meninggal kurang dua minggu lagi, isi amplop pertama. Nyonya Sanjaya, jantung
Anda sulit disembuhkan, kalau tidak cermat
tiga minggu lagi akan meninggal, amplop ke dua. Mas Bagas, tekanan darah
tidak setabil, hipertensi, paling kuat emapat minggu. Demikian isi surat itu, sejumlah pasien
telah ditaksir penyakit dan umurnya.
“ Benar kan, ada keterangan
kapan pasien akan mati” celetuk pengantar Pak. Handoyo
“Lho, kok mati,
bukannya kapan akan sembuh.”
“ Saudara-saudara
nomor urut ini tampaknya perlu ditata ulang.”Penerima tamu menegaskan.
“Lalu bagaimana?.”
“Urutan pasien
sesuai dengan kesempatan hidup atau waktu mati.” Lanjutnya
“Setelah saya
hitung, pahami dan bandingkan maka
kesempatan hidup pasien tinggal hitungan hari, bahkan jam.” Lanjut penerima
pasien
“Terus apa
gunanya berobat.” Celetuk pengantar
“Jangan khawatir
hidup harus berusaha, siapa tahu Pak Dokter telah menemukan obatnya.” Petugas
itu meyakinkan. Beberapa orang tampak
mengangguk tanda setuju.
“Sementara Pak
Handoyo nomor satu. Pak Handoyo menurut keterangan kesempatannya tinggal
sepuluh jam dari sekarang. Sedangkan nomor dibelakangnya berurutan sesuai
dengan keterangan dalam amplop.” Demikanlah petugas itu mengatur urutan pasien.
Tampaknya semua menerima, meskipun ada juga yang mengeluh.
“Benarkan Pak.
Handoyo nomor pertama, masalahnya waktu” pernyataan pengantar.
“Apa Bapak yakin
bisa sehat kembali.” Tanya pengantar pada penagantar lain
“Dokter ini
cukup ahli, jarang pasien yang tidak sembuh.”
“Tapi apa setiap
pemeriksaan pasti diberi amplop demikian.”
“Seingat saya
tidak, tapi mungkin ini sebagai pemicu agar pasien lebih serius dan
sungguh-sungguhberobat.”
”Mana ada berobat tidak sungguh-sungguh,” Sanggahnya “perkiraan beliau tentang penyakit gimana ?”
”Mana ada berobat tidak sungguh-sungguh,” Sanggahnya “perkiraan beliau tentang penyakit gimana ?”
“Dokter ini juga
seperti orang ngerti, selain tepat , obat beliau juga diberi mantra-mantra.”
“Ya semogalah
semua dapat diselamatkan,”
“Kalau saya
sudah terlanjur percaya, dia itu orang pinter.”
Hujan belum juga
reda. Selang beberapa waktu Dokter itu datang. Dokter Bardha Kusuma, lelaki
setengah baya,. Meski usianya sudah agak lanjut tapi tubuhnya masih kelihatan
kuat, maklum seorang dokter. Rambutnya tersisir rapi, walaupun sudah ada stu
dua uban di sana.
Tatapan matanya tajam.
“Selamat malam.”
Dokter itu menyapa.
Tidak banyak
basa-basi dia langsung masuk dalam ruang kerja.
Orang-orang itu
sedikit lega. Mereka merapikan tempat duduk. Satu dua orang mengambil pasien
dari mobil. Harapan masih tersisa. Wajah Pak Handoyo, urutan pertama, semakin
tegang. Maklum, menurut keterangan dokter, jika dihitung sisa hidupnya kurang lima jam. Apalagi sanak
keluarga, mereka semua membisu berandai-andai dengan angan masing-masing.
Petugas masuk
ruang praktek, sebentar terus duduk lagi. Tampak mencatat sesuatau.
Dia berdiri lalu berkata”Bapak-bapak menungu sebentar,
ada pasien nomor pertama, itu pesan Pak Dokter.”
“Pasien pertama,
Mbak.” Kata pengantar pak Handoyo ” apa nggak salah.”
“Begitulah pesan
Pak Dokter.”
“Bapak Saya yang
sementara nomor pertama, kurang lima
jam, terus orang ini gimana ?”
“Saya hanya
petugas Mas!” jawabnya.
Hujan mulai
reda. Waktu menunggu pasien pertama sudah lebih satu jam. Beberapa orang tampak
mengeluh. Pak Handoyo mulai gelisah. Anaknya berdiri mendekatui petugas. Entah
apa yang dibicarakan. Petugas itu mengeleng. Waktu menunggu dua jam. Pasien
pertama belum juga datang. Orang- orang mendeikati penjaga. Mereka bersitegang
sejenak. Akhirnya petugas itupun berdiri masuk
ruang praktek
“Pak Dokter !
Pak Dokter ! Pak Dokter. Tolong “
Oang-orang memasuki kamar periksa. Ditemukan Amplop. Orang-orang mencoba membuka dan
membaca, Dokter Bardha Kusuma, tidak
sakit, Dokter itu telah tiada. Mereka baru tahu siapa pasien pertama.
Sugiyanto, Guru SMA Pulung Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar