Kamis, 06 Oktober 2016

Artikel "Paradoks Sebuah Mimpi" (Pola Pengasuhan Anak Buruh Migran) Oleh: Sugiyanto



Paradoks Sebuah Mimpi
(Pola Pengasuhan Anak Buruh Migran)
Oleh: Sugiyanto*

Negara kita termasuk pengirim buruh migran dengan jumlah yang signifikan. Pahlawan penghasil devisa negara ini mengais rezeki di negara lain dalam kondisi dilematis. Pada satu sisi mereka membutuhkan pekerjaan dengan penghasilan cukup. Pada sisi lain mereka harus berjauhan dengan kerabatnya. Para buruh migran ini bermimpi adanya perubahan kesejahteraan hidup dan kesuksesan keluarga. Diantara mereka pasti bermimpi akan kesuksesan pendidikan anak-anaknya. Pertanyaannya, sejauh manakah  pengaruh kondisi demikian dengan pola pengasuhan anak dan bagimana realitasnya.
Pola pengasuhan anak dapat terlihat dalam dua aspek. Pola pengasuhan dalam keluarga dan pola pengasuhan melalui jalur pendidikan. Keluarga memiliki peran yang cukup vital dakam pengasuhan anak. Keberadaan sosok ayah dan ibu memberikan kasih sayang, perlindungan, perawatan, pendidikan, dan sekaligus sebagai motivator kepada anak. Pengasuhan keluarga merupakan pondasi pembentukan karakter kepada anak. Pendidikan baik formal maupun nonformal terfokuskan memberikan layanan akademis dan keterampilan. Walaupun tidak melepaskan pada pendidikan karakter maupun norma. Namun demikian, keluargalah yang lebih optimal dalam menanamkan nilai serta norma. Dengan demikian,  ketidakidealan kondisi pengasuhan keluarga anak para buruh migran ini diharapkan tidak terjadi juga pada pendidikan mereka.
Meskipun tidak semuanya, relatif para buruh migran berhasil mendapatkan peningkatan ekonomis. Mereka mendapatkan materi lebih dari cukup. Akhirnya sebagian materi anak-anak buruh migran ini akhirnya terpenuhi. Anak-anak ini mendapatkan kiriman uang yang kadang nilainya lebih dari cukup. Akhirnya, uang itu digunakan untuk berbagai kebutuhan sekunder. Anak-anak itu sudah membawa sepeda motor bagus, telepon genggam yang lebih canggih, dan tidak sedikit dengan baju atau sepatu mahal. Hal tersebutlah mengakibatkan perilaku negatif. Tentu saja tidak semua nerlaku demikian.
Perkembangan anak usia sekolah sangat membutuhkan pola pengasuhan dari sosok ibu. Anak-anak tki  ini berkembang tanpa pengasuhan sosok ibu. Ketidakhadiran seorang ibu dalam pola pengasuhan anak dapat mengakibatkan beberapa hal. Pertama anak-anak ini kekurangan sentuhan kasih sayang. Kedua mereka juga kehilangan kontrol. Ketiga anak-anak cenderung mendekatkan diri pada teman. Keempat kurangnya perawatan. Dan kelima mereka kehilangan teman berdiskusi.Lebih parah lagi jika ayah mereka juga melepaskan anak-anak ini dalam perkembangan pendidikannya.
Kasih sayang sangat dibutuhkan dalam masa perkembangan anak. Kasih sayang dapat menghasilka energi individu untuk lebih perkasa menghadapi tantangan perkembangan. Sentuhan-sentuhan halus seorang ibu pada anak jelas memberikan  perasaan hangat dan dekat. Kata-kata seorang ibu memberikan dorongan sekaligus perlindungan  pada diri anak. Sebaliknya, kurangnta kasih satang seorang ibu dimungkinkan akan menimbulkan perilaku menyimpang pada diri anak. Anak-anak dapat mencari pekarian ini pada orang lain, obat-obat terlarang ataupun minunan keras.
Keberadaan seorang ibu pada dasarnya adalah fungsi kontrol.Perkembangan anak usia remaja sangat rentan dengan berbagai pengaruh. Dahsatnya pengaruh negatif media sosial menuntut kontrol yang seimbang dari keluarga khususnya ibu. Rentannya rdmaja dalam kasus seksual sampai prostitusi, sangat dimungkinkan dengan semakin canggihnya alat komunikasi dan media sosial. Belum lagi pemggunaan secara negatif alat transportasi seperti sepeda motor. Remaja cenderung menggunakan sepeda motor bukan sekedar alat transportasi. Sepeda motor merupakan alat identitas diri (pamer). Sepeda motor digunakan untuk balapan liar. Masalah lain maraknya narkoba dikalangan remaja. Barang setan ini telah menjalar  sampai di pelosok. Lemahnya kontrol ibu akan mendorong remaja untuk mencoba berbagai hal negatif tersebut.
Percepatan perkembangan sosial semakin luar biasa. Terbukanya akses berbagai kehidupan semakin mengubah  pola hidup masyarakat. Berbagai pengetahuan dapat dengan mudah diakses oleh semua orang. Pengetahuan tersebut baik pengetahuan tentang aspek positif maupun negatif. Remaja dengan keingintahuannya jufa akan mencapai pengetahuan tersebut. Pengetahuan-pengetahuan itu akan disampaikan pada teman sebaya maupun dibawah mereka. Jauhnya empati ibu cenderung akan membawa remaja pada kedekatan emosi pada teman sebaya. Celakanya komunitas Ikatan emosional remaja kadang lebuh dominan pada hal-hal negatif. Telah dinyatakan bahwa perilaku negatif lebih mudah tertularkan. Maeaknya seks bebas, kejahatan remaja, kelompok-kelompok geng motor, kelompok generasi punk,dan meningkatnya jumlah perkawinan dini menjadi realitas negatif kehidupan remaja. Keberadaan seornang ibu dalam kehidupan remaja dapat meminimalkan kedekatan emosi berlebihan anak kepada teman sebaya. Tentu saja  baik sesama teman wanita maupun antara wania dan pria.
Keberadaan seorang ibu akan memberikan perawatan dengan baik kepada anak. Mulai dengan ketersediaan kebutuan primer sampai dengan yang lainnya. Terbayangkan sepulang sekolah anak akan mendapatkan berbagsi makanan di meja. Bukan hanya rasa lapar yahg hilang tetapi hati dan jiwa anak juga menjadi segar. Bagaimana dengan cara makan, cara bicara, cara berpakain, cara menghias diri, dan sopan-santun akan sampai pada anak tanpa keberadaan seorang ibu di dekatnya. Padahal norma-norma hidup demikian merupakan kristalisasi karakter individu.
Ibu khususnya ataupun orang tua adalah teman diskusi remaja. Anak-anak memerlukan komunikasi dengan ibu. Perkembangan kepribadian setiap anak dalam mencapai usia dewasa memerlukan pendampingan. Pendampingan tersebut sebagai tempat bagi remaja untuk menyampaikan segala apa yang berada dalam pikirannya. Hal tersebut baik saat menyampaikan berita gembira, kegagalan maupun permintaan pendapat. Sosok ibulah yang paling mengerti kondisi psikologis anak. Sebaliknya ibulah yang dipandang anak mampu menampung segala yang disampaikan. Dan bagaimana yang terjadi ketika anak tak mendapatkan itu dari ibu. Hambatan psikologis tersebut akan mengendap sedikit-sedikit yang akhirnya menjadi gumpalan mag-mag dalam pikiran anak.
Paparan data terkait pola pengasuhan anak buruh migran di salah satu daerah di Tiongkok menunjukkan hal sebagai berikut.  Usia yang ditinggal 38% (0-5 tahun), 48 % (6-14 tahun). 12% (15-17 tahun). Persentasi pertmuan adalah 75% setahun sekali, 20% dua kali atau lebih, dan 5 % dua tahun sekali bahkan lebih. Perawatan 3% hidup sendirian, 11% ditipkan pada pihak lain, 33% hidup bersama kakek dan nenek, dan 53% tinggal dengan satu orang tua. (Jawa Pos, Minggu 28 Februari 2016). Apa yang terjadi adalah tingginya tingkat kekerasan terhadap anak, pencabulan dan kekerasan fisik. Sementara ini  kondisi yang terjadi daerah mungkin belum sedemikian parah, namun pembiaran adalah sebuah kenistaan. Tingginya angka drop out di sekolah, pernikahan dini, kekerasan anak, pelecehan seksual dan prilaku menyimpang lainnya adalah kesalahan sebuah pola pengasuhan.
Keberangkatan calon buruh migran hendaknya dengan mempertimbangkan faktor pengasuhan anak mereka. Terlebih lagi faktor pendidikan. Seakan tanpa makna, ketika seorang ibu menjadi buruh migran demi anak, realitas yang terjadi anak-anak mereka malah gagal dalam pendidikan. Sebelum semuanya menjadi semakin parah, pihak-pihak terkait harus mulai berfikir. Penyadaran keluarga atupun regulasi peraturan perlu ditinjau kembali. Pemerintah tidak mampu menggantikan peran keluarga (mengutip pernyataan Bupati Ponorogo) untuk itu peran semua pihak harus lebih optimal. Semoga mimpi TKI menjadi nyata, bukan paradoks nantinya.
*Penulis adalah guru SMA Negeri 1 Pulung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar