Paradoks Sebuah
Mimpi
(Pola Pengasuhan Anak Buruh Migran)
Oleh: Sugiyanto*
Negara kita termasuk pengirim buruh migran
dengan jumlah yang signifikan. Pahlawan penghasil devisa negara ini mengais
rezeki di negara lain dalam kondisi dilematis. Pada satu sisi mereka
membutuhkan pekerjaan dengan penghasilan cukup. Pada sisi lain mereka harus
berjauhan dengan kerabatnya. Para buruh migran ini bermimpi adanya perubahan
kesejahteraan hidup dan kesuksesan keluarga. Diantara mereka pasti bermimpi
akan kesuksesan pendidikan anak-anaknya. Pertanyaannya, sejauh manakah pengaruh kondisi demikian dengan pola
pengasuhan anak dan bagimana realitasnya.
Pola pengasuhan anak dapat terlihat dalam dua
aspek. Pola pengasuhan dalam keluarga dan pola pengasuhan melalui jalur pendidikan.
Keluarga memiliki peran yang cukup vital dakam pengasuhan anak. Keberadaan
sosok ayah dan ibu memberikan kasih sayang, perlindungan, perawatan,
pendidikan, dan sekaligus sebagai motivator kepada anak. Pengasuhan keluarga
merupakan pondasi pembentukan karakter kepada anak. Pendidikan baik formal
maupun nonformal terfokuskan memberikan layanan akademis dan keterampilan.
Walaupun tidak melepaskan pada pendidikan karakter maupun norma. Namun
demikian, keluargalah yang lebih optimal dalam menanamkan nilai serta norma.
Dengan demikian, ketidakidealan kondisi
pengasuhan keluarga anak para buruh migran ini diharapkan tidak terjadi juga
pada pendidikan mereka.
Meskipun tidak semuanya, relatif para buruh
migran berhasil mendapatkan peningkatan ekonomis. Mereka mendapatkan materi
lebih dari cukup. Akhirnya sebagian materi anak-anak buruh migran ini akhirnya
terpenuhi. Anak-anak ini mendapatkan kiriman uang yang kadang nilainya lebih
dari cukup. Akhirnya, uang itu digunakan untuk berbagai kebutuhan sekunder.
Anak-anak itu sudah membawa sepeda motor bagus, telepon genggam yang lebih
canggih, dan tidak sedikit dengan baju atau sepatu mahal. Hal tersebutlah
mengakibatkan perilaku negatif. Tentu saja tidak semua nerlaku demikian.
Perkembangan anak usia sekolah sangat membutuhkan
pola pengasuhan dari sosok ibu. Anak-anak tki ini berkembang tanpa pengasuhan sosok ibu.
Ketidakhadiran seorang ibu dalam pola pengasuhan anak dapat mengakibatkan
beberapa hal. Pertama anak-anak ini kekurangan sentuhan kasih sayang. Kedua
mereka juga kehilangan kontrol. Ketiga anak-anak cenderung mendekatkan diri
pada teman. Keempat kurangnya perawatan. Dan kelima mereka kehilangan teman
berdiskusi.Lebih parah lagi jika ayah mereka juga melepaskan anak-anak ini
dalam perkembangan pendidikannya.
Kasih sayang sangat dibutuhkan dalam masa
perkembangan anak. Kasih sayang dapat menghasilka energi individu untuk lebih
perkasa menghadapi tantangan perkembangan. Sentuhan-sentuhan halus seorang ibu
pada anak jelas memberikan perasaan
hangat dan dekat. Kata-kata seorang ibu memberikan dorongan sekaligus
perlindungan pada diri anak. Sebaliknya,
kurangnta kasih satang seorang ibu dimungkinkan akan menimbulkan perilaku
menyimpang pada diri anak. Anak-anak dapat mencari pekarian ini pada orang
lain, obat-obat terlarang ataupun minunan keras.
Keberadaan seorang ibu pada dasarnya adalah
fungsi kontrol.Perkembangan anak usia remaja sangat rentan dengan berbagai
pengaruh. Dahsatnya pengaruh negatif media sosial menuntut kontrol yang
seimbang dari keluarga khususnya ibu. Rentannya rdmaja dalam kasus seksual
sampai prostitusi, sangat dimungkinkan dengan semakin canggihnya alat
komunikasi dan media sosial. Belum lagi pemggunaan secara negatif alat
transportasi seperti sepeda motor. Remaja cenderung menggunakan sepeda motor
bukan sekedar alat transportasi. Sepeda motor merupakan alat identitas diri
(pamer). Sepeda motor digunakan untuk balapan liar. Masalah lain maraknya
narkoba dikalangan remaja. Barang setan ini telah menjalar sampai di pelosok. Lemahnya kontrol ibu akan
mendorong remaja untuk mencoba berbagai hal negatif tersebut.
Percepatan perkembangan sosial semakin luar
biasa. Terbukanya akses berbagai kehidupan semakin mengubah pola hidup masyarakat. Berbagai pengetahuan
dapat dengan mudah diakses oleh semua orang. Pengetahuan tersebut baik
pengetahuan tentang aspek positif maupun negatif. Remaja dengan
keingintahuannya jufa akan mencapai pengetahuan tersebut.
Pengetahuan-pengetahuan itu akan disampaikan pada teman sebaya maupun dibawah
mereka. Jauhnya empati ibu cenderung akan membawa remaja pada kedekatan emosi
pada teman sebaya. Celakanya komunitas Ikatan emosional remaja kadang lebuh
dominan pada hal-hal negatif. Telah dinyatakan bahwa perilaku negatif lebih
mudah tertularkan. Maeaknya seks bebas, kejahatan remaja, kelompok-kelompok
geng motor, kelompok generasi punk,dan meningkatnya jumlah perkawinan dini
menjadi realitas negatif kehidupan remaja. Keberadaan seornang ibu dalam
kehidupan remaja dapat meminimalkan kedekatan emosi berlebihan anak kepada teman
sebaya. Tentu saja baik sesama teman
wanita maupun antara wania dan pria.
Keberadaan seorang ibu akan memberikan
perawatan dengan baik kepada anak. Mulai dengan ketersediaan kebutuan primer
sampai dengan yang lainnya. Terbayangkan sepulang sekolah anak akan mendapatkan
berbagsi makanan di meja. Bukan hanya rasa lapar yahg hilang tetapi hati dan
jiwa anak juga menjadi segar. Bagaimana dengan cara makan, cara bicara, cara
berpakain, cara menghias diri, dan sopan-santun akan sampai pada anak tanpa
keberadaan seorang ibu di dekatnya. Padahal norma-norma hidup demikian
merupakan kristalisasi karakter individu.
Ibu khususnya ataupun orang tua adalah teman
diskusi remaja. Anak-anak memerlukan komunikasi dengan ibu. Perkembangan
kepribadian setiap anak dalam mencapai usia dewasa memerlukan pendampingan.
Pendampingan tersebut sebagai tempat bagi remaja untuk menyampaikan segala apa
yang berada dalam pikirannya. Hal tersebut baik saat menyampaikan berita
gembira, kegagalan maupun permintaan pendapat. Sosok ibulah yang paling
mengerti kondisi psikologis anak. Sebaliknya ibulah yang dipandang anak mampu
menampung segala yang disampaikan. Dan bagaimana yang terjadi ketika anak tak
mendapatkan itu dari ibu. Hambatan psikologis tersebut akan mengendap
sedikit-sedikit yang akhirnya menjadi gumpalan mag-mag dalam pikiran anak.
Paparan data terkait pola pengasuhan anak buruh
migran di salah satu daerah di Tiongkok menunjukkan hal sebagai berikut. Usia yang ditinggal 38% (0-5 tahun), 48 % (6-14
tahun). 12% (15-17 tahun). Persentasi pertmuan adalah 75% setahun sekali, 20%
dua kali atau lebih, dan 5 % dua tahun sekali bahkan lebih. Perawatan 3% hidup
sendirian, 11% ditipkan pada pihak lain, 33% hidup bersama kakek dan nenek, dan
53% tinggal dengan satu orang tua. (Jawa Pos, Minggu 28 Februari 2016). Apa
yang terjadi adalah tingginya tingkat kekerasan terhadap anak, pencabulan dan
kekerasan fisik. Sementara ini kondisi
yang terjadi daerah mungkin belum sedemikian parah, namun pembiaran adalah
sebuah kenistaan. Tingginya angka drop out di sekolah, pernikahan dini,
kekerasan anak, pelecehan seksual dan prilaku menyimpang lainnya adalah
kesalahan sebuah pola pengasuhan.
Keberangkatan calon buruh migran hendaknya
dengan mempertimbangkan faktor pengasuhan anak mereka. Terlebih lagi faktor
pendidikan. Seakan tanpa makna, ketika seorang ibu menjadi buruh migran demi
anak, realitas yang terjadi anak-anak mereka malah gagal dalam pendidikan.
Sebelum semuanya menjadi semakin parah, pihak-pihak terkait harus mulai
berfikir. Penyadaran keluarga atupun regulasi peraturan perlu ditinjau kembali.
Pemerintah tidak mampu menggantikan peran keluarga (mengutip pernyataan Bupati
Ponorogo) untuk itu peran semua pihak harus lebih optimal. Semoga mimpi TKI
menjadi nyata, bukan paradoks nantinya.
*Penulis adalah guru SMA Negeri 1 Pulung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar