Jumat, 14 Oktober 2016

PETA SEKOLAH (Kompas Pemerataan Kualitas Pendidikan)



Artikel
Oleh : Drs. Sugiyanto*

PETA SEKOLAH
(Kompas Pemerataan Kualitas Pendidikan)

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan, terkait dengan kesadaran bersekolah cukup menggembirakan. Setiap tahun ajaran baru orang tua disibukkan mendapatkan sekolah bagi anaknya. Masyarakat tampaknya telah terfokus bahwa jalur pendidikan adalah peluang untuk mempertahankan atau meningkatkan taraf kehidupan. Saat itu juga biasanya diikuti dengan berbagai ulasan terkait dunia pendidikan khususnya sekolah; mulai seragam, buku, uang gedung, sekolah mahal, transparasi dan sebagainya. Meskipun demikian sekolah tetap menjadi prioritas. Kondisi ini sungguh menggembirakan.

Bagaimana dengan layanan dunia pendidikan terhadap mereka? Ada pernyataan menarik sebagaimana yang disampaikan Zamroni; namun sayangnya perkembangan pendidikan tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan, akibatnya muncul berbagai ketimpangan pendidikan di masyarakat (a) ketimpangan antara kualitas output dan kualifikasi tenaga kerja (b) ketimpangan kualitas pendidikan antara desa dan kota, atau daerah satu dan daerah lain. (2001:1). Dalam perkembangannya ketimpangan yang muncul adalah sekolah favorit dan terbenam, atau berbagai lebel akan standar nasional, sekolah pinggiran kadang berakses pada nuansa kapitalisme pendidikan, berarti terdapat kesenjangan antara harapan masyarakat dengan dunia pendidikan terkait kualitas pendidikan (mutu sekolah).

Bagaimana mengukur mutu sekolah? Dalam konteks pendidikan mutu mencakup input, proses dan output pendidikan, input pendidikan dalam kondisi riil dapat berupa SDM(kepala sekolah, guru termasuk BP, dan siswa) dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang). Input yag bermutu berarti dapat dilihat tinggi rndahnya standar input sebuah sekolah. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila terwujudnya sinergi tersebut mampu menciptakan layanan optimal kepada peserta didik. Dengan kata lain, proses yang mampu memberdayakan peserta didik. Dengan kata lain, proses yang mampu memberdayakan peserta didik. Kata ini menunjukkan bahwa peserta didik tidak hanya sekedar  menguasai pengetahuan, tetapi mereka sudah mampu mentransfer pengetahuan tersebut dalam kehidupan atau sebagaimana terciptanya siswa yang mampu membelajarkan dirinya. Sedangkan output sekolah merupakan kinerja sekolah. Mutu output sekolah adalah (1) prestasi akademik dan (2) non akademik, (MPMBS, 2001:23).

Terakhir, sebagai acuan pelayanan pembelajaran yang bermutu ditetapkannya PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang didalamnya meliputi : Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar Penilaian. Sedangkan John MacBeth (Ed) dalam Improving School Efetiveness mengelompokkan sekolah menjadi sekolah dengan (1) etos sekolah skor tertinggi dan (2) etos sekolah skor rendah atau sekolah efektif dan sekolah tidak efektif. Indikator-indikator seperti bagaimana efek pada semua unsur sekolah dapat mempengaruhi efektifitas sekolah (mutu sekolah).

Dengan demikan mengukur mutu pendidikan atau mutu sekolah sangatlah kompleks. Meskipun ada dasarnya faktor kepala sekolah, guru, sarana, siswa itulah indikator utama, ditambah dengan pembuat kebijakan. Bila kita cermati, layanan tiap satuan pendidikan berdasarkan tiga hal di atas dapat kita temukan karakteristik sekolah. Berdasar nilai UN misalnya, dapat dipetakan mutu sekolah, jangan nilai itu hanya untuk menghakimi siswa, tanpa digunakan untuk peningkatan mutu sekolah. Identifikasi sekolah sesuai dengan karakter layanan inilah yang dapat disebut dengan Peta Sekolah.

Untuk apa Peta Sekolah? Sebetulnya berbagai program telah digulirkan pemerintah untuk terus berkembang. Salah satunya selaras dengan semangat desentralisasi bergulirlah MPMBS ataupun MBS. Program ini memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengoptimalkan diri. Setiap sekolah mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mengelola managerial sekolah. Program ini memunculkan kreativitas sekolah untuk berpacu mengoptimalkan layanan. Tetapi dalam pelaksanaannya ada kekurangan.

Ketika satu sekolah secara mandiri berpacu untuk mendapatkan dana, berpacu melengkapi fasilitas, berpacu mengoptimalkan SDM guru, ada sekolah lain yang stagnan. Sekolah yang stagnan selain kurang kreativitas, mungkin juga faktor lain; 1) faktor like dan dislike 2) faktor koneksi 3) faktor kurangnya profesional instansi pendidikan dsb. Meskipun jika kita cermati bukan MBS-nya yang salah, namanya ada kelemahan.

Kurang optimalnya pelaksanaan itu dapat mengakibatkan beberapa hal : 1) fasilitas-fasilitas berlebih pada suatu sekolah 2) pemberian fasilitas yang tidak optimal karena salah penempatan 3) ada sekolah-sekolah yang sama sekali tidak tersentuh dengan program-program pengembangan 4) tidak terukurnya pemerataan sarana dan prasarana sekolah 5) program pengembangan SDM tidak merata dsb. Kondisi inilah salah satu penyebab munculnya ketidakmerataan kualitas pendidikan.

Kekhawatiran ketidakmerataan mutu pendidikan itu akan berkurang jika peta sekolah sudah dapat dioptimalkan. Meskipun setiap sekolah diberi kebebasan tetapi grand desain pendidikan tetap berada dalam koridor Dinas Pendidikan. Peta sekolah dapat dijadikan kompas Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Eksekutif dan Legislatif dalam mengontrol pemerataan mutu pendidikan. Jangan biarkan setiap sekolah terus berpacu tanpa finish dan aturan main yang jelas. Sehinga masyarakat mendapatkan layanan mutu pendidikan yang optimal di setiap sekolah. Sekarang pertanyaannya Peta Sekolah itu ada belum?

*Penulis adalah Guru SMAN 1 Pulung Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar