Artikel
Oleh : Drs. Sugiyanto*
PETA SEKOLAH
(Kompas Pemerataan Kualitas Pendidikan)
Partisipasi masyarakat dalam
pendidikan, terkait dengan kesadaran bersekolah cukup menggembirakan. Setiap
tahun ajaran baru orang tua disibukkan mendapatkan sekolah bagi anaknya.
Masyarakat tampaknya telah terfokus bahwa jalur pendidikan adalah peluang untuk
mempertahankan atau meningkatkan taraf kehidupan. Saat itu juga biasanya
diikuti dengan berbagai ulasan terkait dunia pendidikan khususnya sekolah;
mulai seragam, buku, uang gedung, sekolah mahal, transparasi dan sebagainya.
Meskipun demikian sekolah tetap menjadi prioritas. Kondisi ini sungguh
menggembirakan.
Bagaimana dengan layanan dunia
pendidikan terhadap mereka? Ada pernyataan menarik sebagaimana yang disampaikan
Zamroni; namun sayangnya perkembangan pendidikan tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas pendidikan, akibatnya muncul berbagai ketimpangan
pendidikan di masyarakat (a) ketimpangan antara kualitas output dan kualifikasi
tenaga kerja (b) ketimpangan kualitas pendidikan antara desa dan kota, atau
daerah satu dan daerah lain. (2001:1). Dalam perkembangannya ketimpangan yang
muncul adalah sekolah favorit dan terbenam, atau berbagai lebel akan standar
nasional, sekolah pinggiran kadang berakses pada nuansa kapitalisme pendidikan,
berarti terdapat kesenjangan antara harapan masyarakat dengan dunia pendidikan
terkait kualitas pendidikan (mutu sekolah).
Bagaimana mengukur mutu sekolah?
Dalam konteks pendidikan mutu mencakup input, proses dan output pendidikan,
input pendidikan dalam kondisi riil dapat berupa SDM(kepala sekolah, guru
termasuk BP, dan siswa) dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan,
uang). Input yag bermutu berarti dapat dilihat tinggi rndahnya standar input
sebuah sekolah. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila terwujudnya sinergi
tersebut mampu menciptakan layanan optimal kepada peserta didik. Dengan kata
lain, proses yang mampu memberdayakan peserta didik. Dengan kata lain, proses
yang mampu memberdayakan peserta didik. Kata ini menunjukkan bahwa peserta
didik tidak hanya sekedar menguasai
pengetahuan, tetapi mereka sudah mampu mentransfer pengetahuan tersebut dalam
kehidupan atau sebagaimana terciptanya siswa yang mampu membelajarkan dirinya.
Sedangkan output sekolah merupakan kinerja sekolah. Mutu output sekolah adalah
(1) prestasi akademik dan (2) non akademik, (MPMBS, 2001:23).
Terakhir, sebagai acuan pelayanan
pembelajaran yang bermutu ditetapkannya PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan yang didalamnya meliputi : Standar Isi, Standar Proses,
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Kependidikan, Standar Sarana
dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar Penilaian.
Sedangkan John MacBeth (Ed) dalam Improving
School Efetiveness mengelompokkan sekolah menjadi sekolah dengan (1) etos
sekolah skor tertinggi dan (2) etos sekolah skor rendah atau sekolah efektif
dan sekolah tidak efektif. Indikator-indikator seperti bagaimana efek pada
semua unsur sekolah dapat mempengaruhi efektifitas sekolah (mutu sekolah).
Dengan demikan mengukur mutu
pendidikan atau mutu sekolah sangatlah kompleks. Meskipun ada dasarnya faktor
kepala sekolah, guru, sarana, siswa itulah indikator utama, ditambah dengan
pembuat kebijakan. Bila kita cermati, layanan tiap satuan pendidikan
berdasarkan tiga hal di atas dapat kita temukan karakteristik sekolah. Berdasar
nilai UN misalnya, dapat dipetakan mutu sekolah, jangan nilai itu hanya untuk
menghakimi siswa, tanpa digunakan untuk peningkatan mutu sekolah. Identifikasi
sekolah sesuai dengan karakter layanan inilah yang dapat disebut dengan Peta
Sekolah.
Untuk apa Peta Sekolah? Sebetulnya
berbagai program telah digulirkan pemerintah untuk terus berkembang. Salah
satunya selaras dengan semangat desentralisasi bergulirlah MPMBS ataupun MBS.
Program ini memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengoptimalkan diri. Setiap
sekolah mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mengelola managerial sekolah.
Program ini memunculkan kreativitas sekolah untuk berpacu mengoptimalkan
layanan. Tetapi dalam pelaksanaannya ada kekurangan.
Ketika satu sekolah secara mandiri
berpacu untuk mendapatkan dana, berpacu melengkapi fasilitas, berpacu
mengoptimalkan SDM guru, ada sekolah lain yang stagnan. Sekolah yang stagnan
selain kurang kreativitas, mungkin juga faktor lain; 1) faktor like dan dislike 2) faktor koneksi 3) faktor kurangnya profesional instansi
pendidikan dsb. Meskipun jika kita cermati bukan MBS-nya yang salah, namanya
ada kelemahan.
Kurang optimalnya pelaksanaan itu
dapat mengakibatkan beberapa hal : 1) fasilitas-fasilitas berlebih pada suatu
sekolah 2) pemberian fasilitas yang tidak optimal karena salah penempatan 3)
ada sekolah-sekolah yang sama sekali tidak tersentuh dengan program-program
pengembangan 4) tidak terukurnya pemerataan sarana dan prasarana sekolah 5)
program pengembangan SDM tidak merata dsb. Kondisi inilah salah satu penyebab munculnya
ketidakmerataan kualitas pendidikan.
Kekhawatiran ketidakmerataan mutu
pendidikan itu akan berkurang jika peta sekolah sudah dapat dioptimalkan.
Meskipun setiap sekolah diberi kebebasan tetapi grand desain pendidikan tetap berada
dalam koridor Dinas Pendidikan. Peta sekolah dapat dijadikan kompas Dinas
Pendidikan, Dewan Pendidikan, Eksekutif dan Legislatif dalam mengontrol
pemerataan mutu pendidikan. Jangan biarkan setiap sekolah terus berpacu tanpa
finish dan aturan main yang jelas. Sehinga masyarakat mendapatkan layanan mutu
pendidikan yang optimal di setiap sekolah. Sekarang pertanyaannya Peta Sekolah
itu ada belum?
*Penulis adalah Guru SMAN 1 Pulung
Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar