PEMENTASAN TERAKHIR
Karya: Sugiyanto
Kebanggaan
tersendiri bagi orang tua dapat merestui perkawinan anaknya. Sejak beberapa
bulan, orang tua sudah mulai memikirkan segala sesuatu. Mulai memperbaiki
rumah, menentukan undangan, menyiapkan sajian, sewa terop, sewa peralatan
dapur, sampai pada minta bantuan bagi kerabat dan tetangga, semua perlu
dipersiapkan. Bahkan bantuan “orang
pintar” pasti sangat diharapkan agar pelaksanaan resepsi itu bisa lancar.
Itu semua menjadi kebahagiaan orang tua.
Demikian juga
dengan Bu Yuni, hari ini adalah hari yang telah direncanakan sejak beberapa
waktu yang lalu. Hari ini Bu Yuni akan merestui anak perempuannya duduk di
pelaminan.. Betapa bahagia hatinya.
Para penerima tamu dan tuan rumah sibuk menyalami undangan.
Tamu-tamu itu sudah mulai mengisi tiga terob yang disediakan.Gending-gending
jawa mengalun. Sebuah kursi penganten
nampak begitu menyala. Kursi itu diapit oleh kursi orang tua mempelai.
Bunga-bunga berwarna-warni menghiasi setiap sudut panggung. Bagian belakang
terdapat rono berwarna keemasan.
Sungguh suatu panggung yang sangat menawan. Di atas tempat duduk para tamu
tampak beraneka macam balon dan lampion. Di panggung itulah nanti Bu Yun akan
duduk.
Bagi Bu Yun
dunia panggung adalah masa lalunya. Dia adalah pemain kethoprak yang sudah malang melintang di atas
panggung. Kecantikannya mempesona setiap penonton. Bahkan saat harus tampil
sebagai tokoh laki-laki,ketampanannya pun mengagumkan. Konon pernah dalam suatu
pertunjukkan beberapa pemuda tidak mau meninggalkan panggung. Mereka rela
menunggu Bu Yun keluar panggung hanya sekedar ingin melihat kecantikannya. Tak
heran beberapa kota
di daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi, Nganjuk, Ponorogo dsb dan sebagian
kota-kota di Jawa Tengah pernah disinggahinya pula.
Hari ini Bu Yun
kembali akan tampil di atas panggung. Tapi bukan sebagai pemain kethoprak. Dia
akan memerankan kodrat hidupnya sebagai seorang ibu.Ibu dari seorang gadis
bernama Ratih. Ratih Wulan Kusumaningtyas nama lengkapnya.Keseharian gadis
berambut sebahu, berperawakan langsing, berkulit kuning ini bukanlah gadis yang
banyak tingkah..Wajahnya mirip dengan ibunya.
Bapak Ratih
adalah Bambang Pamungkas. Konon cukup lama juga pemuda ini mengejar-ngejar Bu
Yun. Sebagai pemuda anak orang yang berkecukupan Bambang dapat melihat
pertunjukan Kethoprak Langen Budhoyo tampil dimanapun. Mungkin dengan
keuletannya itulah akhirnya Bu Yun jadi menikah dengan Bambang. Pasangan itu
dikaruniai seorang anak yaitu Ratih. Sejak Ratih lahir Bu Yun sudah jarang
tampil di panggung. Suaminya mulai melarang. Bu Yun menekuni dunia yang belum
pernah digelutinya yaitu berdagang. Usaha yang ditekuni dengan suaminya
itu menjadikan dia sukses.
Ratih kecil
dibesarkan dalam keluarga yang serba kecukupan. Sebuah rumah mewah, beberapa
mobil, bahkan usahanya lebih mantap ditunjang dengan mesin penggilingan padi
dan beberapa angkutan. Keluarga Bu Yun lebih dari cukup. Jadi tak mungkin Bu
Yun naik panggung untuk mencari nafkah. Mungkin akan tampil sekedar menyalurkan
kerinduan pada panggung. Saat peringatan Hari Kemerdekaan atau peringatan –
peringatan hari besar lainnya Bu Yun akan naik panggung sebagai pemain tamu.
Bahtera rumah
tangga itu mulai tergoyahkan. Bambang Pamungkas tertarik pada seorang penari
dangdut, Yeti Iramawati. Pada puncaknya Bu Yun minta hidup sendiri pulang
kembali ke daerahnya. Sedangkan Ratih hidup dengan bapaknya. Sesekali kala
libur sekolah Ratih mengunjungi ibunya. Saat berpisah usia Bu Yun sudah tidak
mungkin tampil di panggung. Disamping itu kesenian rakyat terkubur. Kethoprak tak luput dari bencana.
Masyarakat terbius dengan arus budaya lewat televise. Jadi tak mungkin bagi
seseorang untuk menggantungkan hidupnya pada kesenian rakyat.
Bu Yun berjualan
es. Dia membuat es dirumah dan dipasarkannya ke kios-kios terdekat. Kegiatan
itu ditambah dengan jual-beli ayam di pasar. Usaha itu ia tekuni dengan
sungguh-sungguh.Tidak terlihat sifat canggung dan ragu diwajahnya. Tapi selang
beberapa tahun. Wajah bersih bersinar telah memudar. Pakaian gemerlap sudah
mulai kumal. Satu dua rambut sudah mulai memutih. Tubuhnya tak lagi cekatan.
Bahkan belakangan ini penyakit batuk sering menghampirinya. Sehingga badannya
sudah tampak mengurus. Sorot mata kelelahan datang juga. Tapi keteguhan hatinya
patut dibanggakan. Mungkin dia punya Ratih anak satu-satunya. Anak itulah sebagai harapan dan pegangan hidupnya.
Dan betapa bahagia hati Bu Yun saat Ratih bertemu jodohnya.
Siang itu
tiba-tiba mendung. Memang musim penghujan belum selesai. Gending jawa terus
mengalun. Tamu-tamu dekat benar-benar memenuhi terob yang tersedia. Mereka
menunggu kedatangan kedua mempelai. Mereka berharap pesta pernikahan ini dapat
menghibur hati Bu Yun. Mereka akan menyaksikan Bu Yun berperan di atas
panggung. Semua berharap akan melihat sorot mata yang lelah itu kembali
bersinar. Wajah yang pudar kembali bersemi. Senyum yang akhir-akhir ini hilang
akan muncul kembali. Mereka berharap Bu Yun akan bahagia.
Tak lama
kemudian kedua mempelai datang. Gending kolo ganjur mulai mengalun.
Mempelai pria menggunakan jas berwarna biru tua dengan baju putih. Terlihat
sekuntum bunga di dadanya. Raut mukanya bersih. Ratih menggunakan blues panjang
merah menyala. Pakaian itu membungkus kulit putih. Kecantikannya semakin
terlihat..Mempelai itu tampak begitu serasi. Pasangan itu duduk di kursi yang
tersedia. Di sebelah kanan ibu dan bapak mempelai pria. Sedangkan samping kiri
Bu Yun duduk sendiri. Ya duduk sendiri.
Bambang
Pamungkas tampak enggan mendampingi bu Yun. Dia memilih dekat dengan isteri
mudanya. Selang beberapa waktu bu Yun tampak tak setegar biasanya. Panggung itu
mungkin tidak lagi menunjukkan kebanggaan. Mukanya tampak lemban. Sorot mata
itu seperti menahan air bah. Dia terlihat diam.tak banyak bicara. Pemandangan
di depan matanya itu bukan lagi hanya sekedar pementasan.
Acara demi acara
terus beralngsung. Segenap keluarga mempelai bergantian berfoto. Gending jawa
terus mengalun. Air mata bu Yun menetes perlahan, tak seperti biasanya. Dia berdiri sebentar memberkahi kedua
puteranya dengan pelukan Para undangan tak
begitu menghiraukan, mereka asyik bercengkrama dengan tetangga dan kerabatnya.
“Mas Bambang kerso
jumeneng sak untawis.” Suara khas Bu
Yun menggema.
Suara itu mengingatkan sebagian
undangan akan kejayaan bu Yun beberapa
tahun yang lalu.
“Kerso ngggih
Mas, jumeneng sekedap” Pinta bu Yun ketika melihat Pak Bambang belum mau
berdiri.
Bambang akhirnya
berdiri. Bu Yun menyambut dengan senyum mantan suaminya. Tangannya gemetar. Air
mata terus mengalir. Hujan kembali datang, gerimis menyayat. Tampaknya Bu Yun
mengajak mantan suaminya untuk kembali merestui anaknya. Setelah itu Bu Yun
mengharap isteri muda Pak Bambang berdiri. Dipaksanya perempuan itu naik ke
panggung. Undangan hanya melihat sambil tersenyum. Pertunjukan itu tampak
menyegarkan. Tanpa terlihat tiba-tiba Bu Yun menusukan tusuk konde dalam
perutnya sendiri.Darah memuncrat pesta menjadi riuh. Pementasan telah selesai.
Sugiyanto
Guru
SMA Pulung
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusakhir yang tidak bisa ditebak. pak penulis blog ini...Apakah cerpen ini diambil dari kisah nyata atau hanya imajinasi pengarang??
BalasHapusDalam sebagian besar karya sastra yang pak GikSugiyanto buat, terutama cerpen. unsur pembangun cerpen apa yang sering atau lebih Bapak Tonjolkan untuk membuat cerpen itu beda dengan yang lain dan punya ketertarikannya sendiri? saya menulis buku kumpulan cerpen bulan ini, bisa belajar dari karya-karya pak GikSugiyanto.
BalasHapus