Jumat, 07 Oktober 2016

Cerpen "Pementasan Terakhir" karya : Sugiyanto



PEMENTASAN TERAKHIR
Karya: Sugiyanto

Kebanggaan tersendiri bagi orang tua dapat merestui perkawinan anaknya. Sejak beberapa bulan, orang tua sudah mulai memikirkan segala sesuatu. Mulai memperbaiki rumah, menentukan undangan, menyiapkan sajian, sewa terop, sewa peralatan dapur, sampai pada minta bantuan bagi kerabat dan tetangga, semua perlu dipersiapkan. Bahkan bantuan “orang pintar” pasti sangat diharapkan agar pelaksanaan resepsi itu bisa lancar. Itu semua menjadi kebahagiaan orang tua.

Demikian juga dengan Bu Yuni, hari ini adalah hari yang telah direncanakan sejak beberapa waktu yang lalu. Hari ini Bu Yuni akan merestui anak perempuannya duduk di pelaminan.. Betapa bahagia hatinya.

Para penerima tamu dan tuan rumah sibuk menyalami undangan. Tamu-tamu itu sudah mulai mengisi tiga terob yang disediakan.Gending-gending jawa mengalun. Sebuah  kursi penganten nampak begitu menyala. Kursi itu diapit oleh kursi orang tua mempelai. Bunga-bunga berwarna-warni menghiasi setiap sudut panggung. Bagian belakang terdapat rono berwarna keemasan. Sungguh suatu panggung yang sangat menawan. Di atas tempat duduk para tamu tampak beraneka macam balon dan lampion. Di panggung itulah nanti Bu Yun akan duduk.

Bagi Bu Yun dunia panggung adalah masa lalunya. Dia adalah pemain kethoprak yang sudah malang melintang di atas panggung. Kecantikannya mempesona setiap penonton. Bahkan saat harus tampil sebagai tokoh laki-laki,ketampanannya pun mengagumkan. Konon pernah dalam suatu pertunjukkan beberapa pemuda tidak mau meninggalkan panggung. Mereka rela menunggu Bu Yun keluar panggung hanya sekedar ingin melihat kecantikannya. Tak heran beberapa kota di daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi, Nganjuk, Ponorogo dsb dan sebagian kota-kota di Jawa Tengah pernah disinggahinya pula.

Hari ini Bu Yun kembali akan tampil di atas panggung. Tapi bukan sebagai pemain kethoprak. Dia akan memerankan kodrat hidupnya sebagai seorang ibu.Ibu dari seorang gadis bernama Ratih. Ratih Wulan Kusumaningtyas nama lengkapnya.Keseharian gadis berambut sebahu, berperawakan langsing, berkulit kuning ini bukanlah gadis yang banyak tingkah..Wajahnya mirip dengan ibunya.

Bapak Ratih adalah Bambang Pamungkas. Konon cukup lama juga pemuda ini mengejar-ngejar Bu Yun. Sebagai pemuda anak orang yang berkecukupan Bambang dapat melihat pertunjukan Kethoprak Langen Budhoyo tampil dimanapun. Mungkin dengan keuletannya itulah akhirnya Bu Yun jadi menikah dengan Bambang. Pasangan itu dikaruniai seorang anak yaitu Ratih. Sejak Ratih lahir Bu Yun sudah jarang tampil di panggung. Suaminya mulai melarang. Bu Yun menekuni dunia yang belum pernah digelutinya yaitu berdagang. Usaha yang ditekuni dengan suaminya itu  menjadikan dia sukses.

Ratih kecil dibesarkan dalam keluarga yang serba kecukupan. Sebuah rumah mewah, beberapa mobil, bahkan usahanya lebih mantap ditunjang dengan mesin penggilingan padi dan beberapa angkutan. Keluarga Bu Yun lebih dari cukup. Jadi tak mungkin Bu Yun naik panggung untuk mencari nafkah. Mungkin akan tampil sekedar menyalurkan kerinduan pada panggung. Saat peringatan Hari Kemerdekaan atau peringatan – peringatan hari besar lainnya Bu Yun akan naik panggung sebagai pemain tamu.

Bahtera rumah tangga itu mulai tergoyahkan. Bambang Pamungkas tertarik pada seorang penari dangdut, Yeti Iramawati. Pada puncaknya Bu Yun minta hidup sendiri pulang kembali ke daerahnya. Sedangkan Ratih hidup dengan bapaknya. Sesekali kala libur sekolah Ratih mengunjungi ibunya. Saat berpisah usia Bu Yun sudah tidak mungkin tampil di panggung. Disamping itu kesenian rakyat  terkubur. Kethoprak tak luput dari bencana. Masyarakat terbius dengan arus budaya lewat televise. Jadi tak mungkin bagi seseorang untuk menggantungkan hidupnya pada kesenian rakyat.

Bu Yun berjualan es. Dia membuat es dirumah dan dipasarkannya ke kios-kios terdekat. Kegiatan itu ditambah dengan jual-beli ayam di pasar. Usaha itu ia tekuni dengan sungguh-sungguh.Tidak terlihat sifat canggung dan ragu diwajahnya. Tapi selang beberapa tahun. Wajah bersih bersinar telah memudar. Pakaian gemerlap sudah mulai kumal. Satu dua rambut sudah mulai memutih. Tubuhnya tak lagi cekatan. Bahkan belakangan ini penyakit batuk sering menghampirinya. Sehingga badannya sudah tampak mengurus. Sorot mata kelelahan datang juga. Tapi keteguhan hatinya patut dibanggakan. Mungkin dia punya Ratih anak satu-satunya. Anak  itulah sebagai harapan dan pegangan hidupnya. Dan betapa bahagia hati Bu Yun saat Ratih bertemu jodohnya.

Siang itu tiba-tiba mendung. Memang musim penghujan belum selesai. Gending jawa terus mengalun. Tamu-tamu dekat benar-benar memenuhi terob yang tersedia. Mereka menunggu kedatangan kedua mempelai. Mereka berharap pesta pernikahan ini dapat menghibur hati Bu Yun. Mereka akan menyaksikan Bu Yun berperan di atas panggung. Semua berharap akan melihat sorot mata yang lelah itu kembali bersinar. Wajah yang pudar kembali bersemi. Senyum yang akhir-akhir ini hilang akan muncul kembali. Mereka berharap Bu Yun akan bahagia.

Tak lama kemudian kedua mempelai datang. Gending kolo ganjur mulai mengalun. Mempelai pria menggunakan jas berwarna biru tua dengan baju putih. Terlihat sekuntum bunga di dadanya. Raut mukanya bersih. Ratih menggunakan blues panjang merah menyala. Pakaian itu membungkus kulit putih. Kecantikannya semakin terlihat..Mempelai itu tampak begitu serasi. Pasangan itu duduk di kursi yang tersedia. Di sebelah kanan ibu dan bapak mempelai pria. Sedangkan samping kiri Bu Yun duduk sendiri. Ya duduk sendiri.

Bambang Pamungkas tampak enggan mendampingi bu Yun. Dia memilih dekat dengan isteri mudanya. Selang beberapa waktu bu Yun tampak tak setegar biasanya. Panggung itu mungkin tidak lagi menunjukkan kebanggaan. Mukanya tampak lemban. Sorot mata itu seperti menahan air bah. Dia terlihat diam.tak banyak bicara. Pemandangan di depan matanya itu bukan lagi hanya sekedar pementasan.
Acara demi acara terus beralngsung. Segenap keluarga mempelai bergantian berfoto. Gending jawa terus mengalun. Air mata bu Yun menetes perlahan, tak seperti biasanya.  Dia berdiri sebentar memberkahi kedua puteranya dengan pelukan Para undangan tak begitu menghiraukan, mereka asyik bercengkrama dengan tetangga dan kerabatnya.
“Mas Bambang kerso jumeneng  sak untawis.” Suara khas Bu Yun menggema.
Suara itu mengingatkan sebagian undangan akan kejayaan  bu Yun beberapa tahun yang lalu.
“Kerso ngggih Mas, jumeneng sekedap” Pinta bu Yun ketika melihat Pak Bambang belum mau berdiri.

Bambang akhirnya berdiri. Bu Yun menyambut dengan senyum mantan suaminya. Tangannya gemetar. Air mata terus mengalir. Hujan kembali datang, gerimis menyayat. Tampaknya Bu Yun mengajak mantan suaminya untuk kembali merestui anaknya. Setelah itu Bu Yun mengharap isteri muda Pak Bambang berdiri. Dipaksanya perempuan itu naik ke panggung. Undangan hanya melihat sambil tersenyum. Pertunjukan itu tampak menyegarkan. Tanpa terlihat tiba-tiba Bu Yun menusukan tusuk konde dalam perutnya sendiri.Darah memuncrat pesta menjadi riuh. Pementasan telah selesai.


                                                                                    Sugiyanto
                                                                                    Guru SMA Pulung

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. akhir yang tidak bisa ditebak. pak penulis blog ini...Apakah cerpen ini diambil dari kisah nyata atau hanya imajinasi pengarang??

    BalasHapus
  3. Dalam sebagian besar karya sastra yang pak GikSugiyanto buat, terutama cerpen. unsur pembangun cerpen apa yang sering atau lebih Bapak Tonjolkan untuk membuat cerpen itu beda dengan yang lain dan punya ketertarikannya sendiri? saya menulis buku kumpulan cerpen bulan ini, bisa belajar dari karya-karya pak GikSugiyanto.

    BalasHapus