Desentralisasi
Pendidikan Disintegrasi Bangsa?
Oleh:
Sugiyanto
Negara
kita memiliki wilayah kepulauan. Bentangan kepulauan membujur dari Sabang
sampai Merauke. Negara ini memiliki tekstur geografis yang sangat
beragam.. Mulai daerah yang mudah
terjangkau komunikasi sampai daerah-daerah timur yang cukup terisoler. Daerah
yang subur sampai daerah yang sangat tandus. Kebhinekaan itu semakin dilengkapi
dengan beragamnya agama dan kepercayaan masyarakat. Demikian juga SDM mungkin terdapat
kesenjangan yang cukup signifikan, antara daerah satu dengan yang lainnya. Negara
kita terlalu lama hidup dalam tirani penjajah. Kondisi bangsa dan negara yang
demikianlah memerlukan sebuah pengikat sehingga memunculkan integrasi bangsa.
Perekat-perekat kemajemukan bangsa kita diantaranya: bahasa Indonesia, bendera
negara, semangat Bhineka Tunggal Ika dan tentu saja UUD 45 dan sebagainya. Usia
bangsa ini belum dapat dikatakan dewasa dalam tataran sebuah proses pemersatuan
bangsa. Tentu saja masih diperlukan adanya perekat-perekat lain yang menjamin
keberlangsungan persatuan bangsa ini.
Salah
satu perekat itu adalah pendidikan. Munculnya wacana desentralisasi perlu
terkawal dengan optimal agar tidak terjerumus dalam desintegrasi bangsa. Tidak
terkecuali desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan
seakan telah melenceng. Semula
disentralisasi ini memang untuk memudahkan asdministratif sehingga dapat
meningkatkan mutu pendidikkan akhirnya malah memperunyam masalah pendidikan. Menurut
hemat penulis tidak hanya tersesat tapi menurunkan mutu pendidikan bahkan
berimbas pada disintegrasi bangsa.
Pengelolaan
pendidikan tidak sama dalam mengelola sumber daya alam, pertanian dan sumber
PAD daerah lainnya. Pendidikan jelas tidak menghasilkan PAD. Penanganan
pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebab itulah banyak daerah yang
tidak memberikan perhatian serius pada biaya pendidikan. Pembiayaan sekolah
menengah atas khususnya seakan dibiarkan hidup sendiri. Pemerintah daerah tidak
perlu memberikan anggaran terkait operasional pendidikan. Lebih parah lagi jika
otonom sekolah terkait kurikulum dan mekanisme pembelajaran juga dikaitkan
dengan nuansa politis dan kekerabatan. Bahkan selama ini pemerintah ataupun
lembaga survey yang lain belum mengadakan jajag pendapat kepada praktisi
pendidikan (guru) terkait pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Semua
kebijakan seakan begitu saja diterima oleh ujung tombak pendidikan ini. Padahal
semua perlu evaluasi dan peninjauan. Evaluasi program adalah sebuah tanggung
jawab. Tanggung jawab sebuah generasi kebijakan dan gagasan yang diluncurkan
Pelaksanaan
desentralisasi pendidikan bukan hanya tersesat tetapi merupakan embrio
desintegrasi bangsa. Keberagaman pengelolaan kebijakan pendidikan antar satu
daerah dengan daerah yang lain memunculkan rasa perbedaan. Membiarkan perbedaan
tanpa solusi jelas memantik jentik-jentik disintegrai. Nuansa disintegrasi ini
dapat kita lihat dari beberapa hal: perekrutan guru, peningkatan mutu guru, manajerial
sekolah, pengawas pendidikan, kontrol
mutu pendidikan.
Perekrutan
guru secara sentraliasai akan menjamin mutu secara nasional. Penerimanaan guru
secara nasional akan mampu ini menghasilkan guru berstandar nasional.
Penempatan guru-guru dari satu daerah ke daerah lain menjamin sebuah akulturasi
bangsa yang luar biasa. Guru-guru akan memberikan warna dalam semangat
nasionalisme. Sebelum pelaksanaan desentralisasi proses ini berjalan dengan
penuh keharmonisan.
Sebaliknya
penerimaan guru dalam semangat desentrlisasi kita cermati meskipun melalui jalur
test kemungkinan tingginya factor KKN luar biasa. Penerimaan demikian memang
sangat jauh dari mutu guru. Kemudian model magang, sebelum mereka menamatkan S!
calon guru ini magang di sebuah sekolah. Uniknya proses magang ini tanpa
melihat factor ijazah, tapi hanya melalui jalur kekerabatan. Penempatan guru-guru
ini juga dalam lingkup daerah mereka. Proses demikian akan menghasilkan
guru-guru berwawasan kedaerahan. Semangat nasionalisme tergantikan dengan
semangat kedaerahan.
Bagaimana peningkatan mutu guru?
Desentralisasi membuat sedikitnya berbagai pelatihan tingkat nasional. Kondisi
demikian bagi daerah perkotaan dengan stakeholder pendidikan yang memadai tidak
ada masalah. Bagaimana dengan daerah-daerah dengan stakeholder pendidikan yang
hanya berbicara dan mengkritik. Pertanyaan kita benarkah desentralisasi akan
menjamin mutu pendidikan? Atau memang benar pernyataan Saratri bahwa
desentralisasi pendidikan menyesatkan.
Kurangnya
pelatihan guru tingkat nasional, ditambah malasnya daerah membiayai peningkatan
mutu, seakan menghasilkan nuansa mau dibawa kemana mutu pendidik kita. Banyak
Dinas pendidikan dengan semangat desentralisasi ini yang tidak menganggarkan
sepereserpun untuk peningkatan mutu guru. Tinjauhan penghematan anggaran lebih
utama dari pada meningkatkan SDM guru. Apalagi pemahaman akan spectrum kemajuan
pendidikan di wilayahnya.
Desentralisasi
memungkinkan setiap daerah menerjemahkan peraturan atau perundangan dengan cara
berbeda. Jika Saratri mengisaratkan bahwa jabatan kepala Dinas Pendidikan sarat
dengan nuansa politik. Terkait jabatan kepala sekolah juga dimaknai berbeda.
Banyak daerah menetapkan jabatan kepala sekolah sampai usia pensiun bahkan
seumur hidup. Sementara daerah lain sudah menetapkan regulasi empat tahunan.
Mutu kepala sekolah banyak diukur dengan makna
kekerabatan dan makna politis daripada kompetensi mereka. Penilian kinerja
kepala sekolah kadang hanya sekedar isu tanpa makna secara nasional. Proses Rekrutmen
kepala sekolah mungkin juga tidak jauh berbeda dengan nuansa KKN. Hasilnya
jelas kepala sekolah yang mengabdi pada pejabat yang mengangkat bukan mengabdi
pada pendidikan secara nasional. Mungkin tidak sedikit juga mekanisme demikian
menghasilkan kepala sekolah yang tidak memahami standard nasional pendidikan.
Keberadaan
seorang manajer sekolah jelas sebagai jaminan peningkatan mutu, rekrutmen dan
kontrol terhadap mereka selayaknya pada tataran nasional. Jangan menempatkan
kepala sekolah yang hanya sebatas pesanan dan titipan. Rekrutmen Kepala Sekolah
secara sentralisasi mungkin akan mengurangi nuansa KKN, dan sekali lagi akan
bermakna dalam menanggulangi krisis disintegrasi bangsa. Demikian juga dengan
pengawas Pendidikan, mulai jumlah pengawas dan mekanisme perekrutan ada
berbagai keberagaman. Kepengawasan pendidikan sentralisistik akan menghasilkan
mutu pendidikan yang lebih terjamin secara nasional. Belum lagi bagaimana
dengan kontrol mutu para birokrat pendidikan.
Jika pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan
guru-guru, serta birokrasi pendidikan mereka bukan lagi dihasilkan oleh proses
berwawasan kebangsaan, bagaimana dengan peserta didik? Hilangnya simbol-simbol,
dan nuansa-nuansa nasionalisme yang bergeser pada semangat kedaerahan membuat
peserta didik kehilangan cermin nasionalisme. Sebelum semua terjadi proses sentralisasi
pendidikan tidak sekedar diperlukan tetapi secepatnya dilaksanakan.
Sugiyanto, Guru SMAN 1
Pulung, Ponorogo
artikel yang Bagus... tetapi haruskah murid juga berperan dalam hal ini ?? salam Bapak..
BalasHapusMaaf sebelumnya, itu adalah sebuah kebijakan dan murid tidak berperan dalam hal itu. terima kasih sudah berkenan membaca.
Hapus