AWAS!
VIRUS LKS
(memaknai
pembelajaran aktif)
“Anak-anak,
kerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) halaman empat belas, nanti dikumpulkan”.
“Kemarin telah kita bahas LKS halaman tiga, kalau sudah selesai hubungi saya di
kantor”. Meskipun belum terhitung prosentasenya, kata-kata itu begitu sering
didengar anak-anak/siswa-siswa kita. Lebih parah, fungsi LKS kadang dapat
menggantikan kehadiran guru di kelas. Bayangkan, kalau kondisi demikian
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semoga saja belum, sebab bahayanya
terhadap pelaksanaan pembelajaran aktif sama dengan virus flu burung. Apalagi
kalau LKS-nya sebatas kumpulan tugas.
Eric
Jensen dalam Brain-Based Learning
mengelompokkan perilaku pembelajaran seorang guru menjadi tiga, yaitu: (1) Yang
paling fit yang dapat bertahan hidup (Survival of the fittest) “Anda
bisa menuntun seekor kuda di tepi air, tapi anda tidak bisa membuatnya meminum
air”, kondisi ini merefleksikan jika siswa tidak mampu melakukan itu masalah
dia sendiri. (2) Kaum Behavioris yang menentukan, artinya dengan hukuan dan
penghargaan yang cukup, anda akan mendapatkan perilaku apapun yang anda
inginkan. (3) Kaum Naturalis yang berbasis kemampuan otak “bagaimana kita
membuat kuda itu haus supaya dia mau minum dari palung air”, kondisi ini merefleksikan
bagaimana guru dapat menemukan penghalang alami dari pembelajar dan menemukan
motivator dari dalam, sehingga hasrat perilaku muncul secara alamiah. (2008:7)
Tentu saja kita tidak begitu saja mengikuti mana yang harus dipilih, tetapi ada
makna tersirat, bagaimanakah sebuah pembelajaran efektif. Sehingga menemukan
jawaban bagaimana dan kapan penggunaannya LKS.
Terus
bagaimana membelajarkan siswa sehingga emosi siswa tidak merasa ditekan untuk
belajar? Bagaimana siswa mau membelajarkan dirinya sendiri? Seperti halnya
pernyataan kaum Naturalis? Dalam pembelajaran tentu kita tidak menginginkan
proses transfer of knowledge tetapi transfer of learning.
Sehingga tidak terwujud mengajar hanyalah sebuah proses penyampaian pengetahuan
dari seorang pengajar kepada mahasiswa, tanpa memperhatikan apakah terjadi
proses belajar pada mahasiswa (siswa) atau tidak. Hisyam Zaini dkk.
(Umar Sidik(penyunting)2002:54). Pernyataan demikian dapat kita interpretasikan
bahwa sebuah pembelajaran harus mampu melibatkan siswa secara emosional. Perlu
kita pahami bersama bahwa kondisi pembelajaran dalam kelas adalah hasil desain
seorang guru.
Memunculkan
pembelajaran yang memantik motivasi siswa belajar tidaklah mudah. Seorang guru
wajib memahami secara komprehensif hakikat sebuah pembelajaran. “Belajar
merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal
tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik”. Demikian Dimyati dan Mujiono (1999:18) keterlibatan
ketiga aspek dalam belajar dapat menjadi tolak ukur sebuah hasil pembelajaran.
Jadi, tingkat keberhasilan pembelajaran tidak hanya diukur dari segi pencapaian
prestasi kognetif. Atau dapat kita nyatakan bahwa pembelajaran ditengarai mampu
mencapai hasil yang optimal bila dalam proses individu pembelajar tercermin
sebuah pembelajaran efektif.
Richard
Dunne & Ted Wragg dalam pembelajaran
efektif menyampaikan keterwujudan pembelajaran efektif tampaknya memerlukan
sistem penyajian pembelajaran yang kondusif. Tentu saja disini dituntut peran
guru untuk mewujudkannya. Guru dapat mendesain atau menskenario bagaimana
proses pembelajaran yang memudahkan siswa belajar sekaligus bermanfaat.
Perwujudan kondisi demikian dalam persiapan dapat tersurat dalam pembuatan
langkah-langkah pembelajaran RPP.
Ada
tawaran menarik Melvin L. Silberman agar pembelajaran menjadi
efektif. (1) mendengar dan melihat. Pernyataan melihat, tampaknya guru harus
memunculkan sebuah obyek yang mampu menarik indera siswa. Ketertarikan itu
memberikan sinyal rangsang otak siswa untuk bekerja. (2) langkah respon
mengajukan pertanyaan atau membahas. Pada langkah iniperan guru dapat mendesain
kondisi pertanyaan terbimbing ataupun bebas. Mungkn juga berupa tugas-tugas
guru setelah indera siswa menangkap sebuah obyekbelajar. (3) siswa bekerja
merealisasikan kompetensi yang mereka peroleh ataupun mencapai kompetensi yang
diharapkan. Pemahaman akan desain pembelajaran di atas, sangat membantu guru
untuk menentukan sebuah obyek belajar ataupun bahan ajar. Permasalahannya sekarang
sudahkah LKS yang kita gunakan terdesain demikian?
Keberhasilan
sebuah pembelajaran memang tidak sekedar dengan keakuratan langkap pembelajaran
guru. Faktor lain yang turut menunjang adalah faktor motivasi subyek belajar
yaitu siswa, Bigss dan Telfer dalam Dimyati dan Mujiono
menyatakan “motivasi berprestasi siswa dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
motivasi berprestasi tinggi, dan motivasi berprestasi rendah. Menghadapi siswa
yang berprestasi tinggi guru harus menyalurkan semangat kerja keras mereka.
Sedangkan siswa motivasi rendah, guru diharapkan mampu berkreasi dalam
kegiatan-kegiatan pembelajaran.” (ibid hal:33) Pendapat ini merupakan sebuah
penegas bahwapembelajaran efektif memerlukan desain langkah pembelajaran serta
bahan ajar yang dapat melayani kemajemukan motivasi siswa. Kita juga dapat
menambahkan bagaimana motivasi belajar dapat dimunculkan guru dengan
mempertimbangkan apa yang disampaikan Hamalik “motivasi belajar meliputi
suasana lingkungan kelas, keterlibatan langsung siswa, menjamin keberhasilan”
(2003:87). Dengan demikian perlu kecerdasan dari para guru kapan dan bagaimana
sebuah LKS digunakan.
Pertimbangan
lain untuk menciptakan pembelajaran efektif adalah pengetahuan guru akan
bagaimana siswa itu belajar . prinsip-prinsip belajar bagi siswa meliputi: (1)
perhatian dan motivasi, (2) keaktifan, (3) keterlibatan langsung/pengalaman,
(4) pengulangan, (5) tantangan, (6) balikan dan penguatan, (7) perbedaan
individual (ibid hal:42-50). Pendapat in selaras dengan pendapat Melvin L.
Silberman tentang bagaimana langkah pembelajaran harus menciptakan siswa
belajar dengan aktif. Pengetahuan guru tentang bagaimana siswa belajar akan
memunculkan bagaimana membelajarkan mereka. Bagaimana jika keberadaannya cukup
digantikan dengan sebuah LKS?
Tak
kalah penting, selain pemahaman bagaimana pembelajaran efektif itu dapat
dimunculkan, adalah pengetahuan guru bagaimana proses pembelajaran mampu
berlangsung dinamis. Atau apa yang selalu dapat mempengaruhi erubahan kondisi
pembelajaran. Agar pembelajaran mampu dinamis artinya siswa mampu belajar
dengan optimal, maka guru harus memahami unsur-unsur dinamis dalam proses
belajar terdiri atas (1) motivasi siswa, (2) bahan ajar, (3) alat bantu
belajar, (4) suasana belajar, (5) kondisi subyek yang pembelajar (siswa).
Kelima
unsur ini bersifat dinamis, yang sering berubah, menguatkan atau melemah, dan
yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Oemar Hamalik (2003:50)
kedinamisan sebuah pembelajaran akan membangun etos belajar siswa. Pembelajaran
akan selalu berubah dan berubah, sesuai dengan kelima unsur di atas. Seorang
guru akan merasakan iklim pembelajaran yang selalu berbeda. Dengan demikian
ketepatan penggunaan LKS sangat memerlukan kecermatan.
Selain
penentuan langkah dan pemilihan obyek belajar, perlu kiranya seorang guru
memahami makna sebuah kolaborasi bagi siswa. Dalam bentuk apapun (diskusi,
tanya jawab, curah gagasan) pada prinsipnya adalah apa yang terwujud adalah cooperative
learning. “Bagaimanapun juga, hal tersebut mengambarkan bagaimana kerja tim
terstruktur dapat memfokuskan siswa untuk saling membantu belajar bahan ajar,
mulai dari keterampilan dasar sampai pada menulis kreatif”. Demikian Robert
E. Slavin dalam Mohamad Nur (penyadur) (2005:18) Kadang penggunaan LKS
sangatlah individu, sehingga pembelajaran mengacuhkan akan pentingnya makna
sebuah kolaborasi.
Sekali
lagi, bahwa penentuan langkah pembelajaran memerlukan beberapa landasan
berfikir. Landasan berfikir akan menstrukturkan langkah pembelajaran yang
menghasilkan pembelajaran efektif. Meskipun demikian pengetahuan dan pemahaman
akan konteks belajar aktif di atas tidak bermanfaat sama sekali jika hanya
dibaca atau dikatakan. Maka alternatif terpendek adalah mencobanya. Pembelajaran
yang mewajibkan guru mendesain pembelajaran sesuai dengan makna cooperative
learning, active learning, joyfull learning, contextual learning Sebuah
pembelajaran yang mendasarkan pada kemampuan memancing motivasi belajar siswa
baik yang aktif maupun pasif. Sebuah pembelajaran yang mampu memilih dan
memilah LKS siswa. Dan bukan pembelajaran yang dituntun oleh LKS.
Tuturan
Guru
Pembangkit
Efektivitas Pembelajaran
Semua
guru dalam tataran normal jelas menginginkan konteks pembelajaran di kelas
berlangsung efektif. Berbagai kegiatan ditempuh guru untuk mencapai kondisi
tersebut. Guru menyiapkan rencana pembelajaran, menyesuaikan sarana, menyiapkan
media, sampai pada menentukan sebuah strategi pembelajaran. Semua kegatan itu
sebagai upaya menghasilkan pembelajaran efektif. Tetapi faktor yang tidak kalah
penting terkait pembelajaran efektif adalah bagaimana interaksi guru murid
dapat berlangsung dengan baik. Interaksi itu jelas terjadi dalam setiap
langkah. Asrori (2007:108) menyatakan interaksi adalah hubungan timbal balik
antara dua orang atau lebih, keduanya terlibat aktif dan saling mempengaruhi.
Interaksi ini meliputi interaksi verbal, interaksi fisik dan interaksi
emosional.
Optimalnya
interaksi akan mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Pembelajaran menjadi
efektif ketika psikologi siswa mau melakukan proses pembelajaran dengan penuh
kesadaran, proses belajar siswa dalam belajar dapat diasumsikan dengan proses
mental siswa dalam belajar. Kajian ilmiah terkait proses mental dinamakan
dengan psikologi kognitif (Suharnan, 2005:1).
Baik
dan buruknya interaksi dalam kelas jelas ditentukan oleh faktor bahasa..
Kinayati Djojosuroto (2007:293-294) menyampaikan bahasa bukan sekedar alat
berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga diperlukan untuk berfikir itu
sendiri. Bahasa juga mempunyai fungsi mengekspresikan emosi , memerintah,
menyampaikan bujukan (secara umum disebut “fungsi-fungsi emotif”). Sementara
itu, G. Revesz dalam Sarwiji Suwandi (2008:57) mengemukakan tiga fungsi yang
dimiliki oleh bahasa, yakni (1) indikatif, (2) imperative, (3) interogative.
Berdasarkan pendapat di atas bahasa dapat digunakan untuk membujuk atau
mempengaruhi pikiran orang lain.
Interaksi
ideal akan menghasilkan sebuah kondisi pembelajaran yang ideal juga. Dengan
demikian keberhasilan pembelajaran tergantung dari tingkat daya komunikasi.
Sejauh mana daya komunikatif bahasa
digunakan guru dan siswa untuk mencapai tujuan? Geofrey Lech mengatakan
pengkajian secara mengenai efektivitas komunikasi ini disebut dengan retorik
(1993:22). Daya retorik adalah makna sebuah tuturan dilihat dari ketaatan
penutur pada prinsip retorik (misalnya sejauh mana penutur mengatakan dengan
benar, berbicara dengan santun, atau bernada ironis). Daya retorik jia
dipadukan dengan daya ilokusi akan membentuk daya pragmatic (ibid:23).
Berdasarkan pendapat di atas perlu dikaji bagaimana intensitas daya pragmatik
bahasa digunakan guru dalam pembelajaran.
Tindak
berbahasa guru merupakan stimulus bagi siswa dalam belajar. Baik buruknya suatu
ujaran guru disadari atau tidak akan menentukan kondisi belajar siswa. Hal
tersebut sangat terlihat ketika guru memulai pembelajaran, mengkondisikan
kelas, memerintah ataupun mengajukan pernyataan, tindak tutur guru akan
mendapatkan reaksi yang beragam dari anak. Diharapkan tindak tutur guru
menciptakan oembelajaran efektif. Tindak tutur guru membuat anak akan lebih
bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan
salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam
pembelajaran.
Proses
optimalisasi hasil interaksi guru murid harus ada sebuah kerjasama. Yule
(2006:60) menyatakan penutur dan petutur dalam percakapan umumnya ada kerjasama
untuk menghasilkan referen kerjasama merupakan faktor utama. Sebaliknya bila
terjadi penolakan tidak terjadi komunikasi yang idial, kebanyakan komunikator
cenderung menyelehkan pendengar demikian Michael Lum (2009:15). Terkait konteks
kelas kesalahan ini sering ditujukan kepada siswa. Sekarang bagaimanakah tindak
tutur guru dan siswa yang mempunyai daya pragmatik membangkitkan pembelajaran
efektif.
Pencapaian
tujuan dalam tindak tutur dalam konteks interaksi berdasarkan daya pragmatik
ditentukan oleh daya retorik dan daya ilokusi. Noam Chomsky dalam Sarwiji
(2010:63) mendikotomikan antara competence sebagai perangkat aturan
bahasa, sedangkan performance adalah tindakan berbahasa berdasarkan
competence. Dengan demikian keberhasilan guru ditentukan juga kemampuan
memadukan unsur competence dan performance.
Sarwiji
Suwandi (2010:70) dan Geofre Lech (1993:24) menyatakan kualitas berbicara
memiliki beberapa prinsip dengan maksim tertentu, misalnya: (1) Prinsip
kerjasama dengan maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevan, maksim cara
bicara, (2) Prinsip sopan santun dengan maksim kearifan, maksim pujian, maksim
kerendahan hati, maksim kedermawanan.
Tindak
berbahasa dalam kajian ini berlangsung pada kondisi pembelajaran pada umumnya.
Emosi guru mampu tertata dengan baik, bukan dalam keadaan emosi atau marah.
Guru dalam keadaan marah jelas menghambat sebuah pembelajaran efektif. Selain
itu ukuran pelaksanaan pembelajaran terkait dengan standar proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah yang ditetapkan berdasarkan Permendiknas Nomor 41
Tahun 2007 menyatakan bahwa proses kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan
awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Proses interprestasi daya pragmatik
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk dialog dalam tiga tahap
tersebut.
Apabila
guru sudah melaksanakan kegiatan awal dengan baik, psikologi siswa akan terbawa
dalam sebuah pembelajaran efektif. Proses interaksi dalam tahap ini kadang
merupakan titik krusial berlangsungnya sebuah pembelajaran. Penguasaan materi
pembelajaran, mengella kelas dan performance guru harus optimal. Daya pragmatik
tindak tutur guru terkait pemilihan diksi (lokusi) dan bagaimana guru bertutur
(ilokusi) serta kontrol terhadap efek tuturan (perlukosi) harus terjaga. Selain
itu, tindak tutur guru harus menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa terhadap
hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan
rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan efek respon
yang sama pada diri siswa. Daya pragmatik ini akan berlangsung optimal jika ada
prinsip kerjasama.
Perhatikan
data berikut:
Guru : Berdo’a dulu
Ketua
Kelas : Persiapan, berdo’a
Mulai ...
selesai
Guru
: (mengucapkan salam)
Siswa : (mengucapkan salam)
Kondisi
ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antar siswa dan guru dalam prinsip
kerjasama mengacu ada maksim relevansi mengharuskan setiap eserta percakapan
memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Guru
menyampaikan berdo’a dulu, ketua kelas merespon dengan menyiapkan.
Kalimat
guru “berdo’a dulu”, secara ilokusi berbentuk perintah. Meskipun sudah terdapat
maksim kerjasama, bentuk perintah akan menghasilkan jarak interaksi antar guru
dan siswa. Jarak interaksi inilah yang dapat mengganggu sebuah konteks
keakraban dan demokrasi dalam kelas. Bagaimana seandaina guru menyampaikan
“Anak-anak mari kita berdo’a, ketua kelas minta tolong...” ilukosi dari kalimat
di atasmenghasilkan sebuah kebersamaan dan prinsip kesantunan, jelas kalimat
ini bukan perintah, tetapi kalimat permohonan. Daya pragmatik antara kalimat
perintah dan permohonan mungkin menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas
secara psikologi menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas secara
psikologi menghasilkan efek mental ini dapat berpengaruh terhadap efektifitas
pembelajaran.
Guru : Siapa yang tidak masuk hari ini?
Murid : (diam, satu dua memperhatikan temannya)
Guru : Andi masuk?
Andi : masuk
Guru
: kemarin tidak masuk, benar-benar sakit?
Andi : benar, ada suratnya
Kalimat
guru “Siapa yang tidak masuk hari ini?” ilukosi yang terdapat dalam kalimat di
atas adalah bahwa anak-anak harus rajin masuk sekolah. Guru mengharapkan semua
siswa dapat mengikuti pembelajaran. Penggunaan kata “siapa” dapat mempunyai
makna menentukan ada yang tidak masuk (kecurigaan). Apalagi jika dikaitkan
dengan implikatur “Andi masuk?” jelas guru mempunya praanggapan bahwa Andi
sering tidak masuk. Rasa solidaritas kelas secara psikologis sudah menghasilkan
rasa simpati pada Andi dan rasa kurang simpati pada guru. Dengan demikian
kegiatan awal ini jika guru menggunakan kalimat di atas, menghasilkan sebuah
tekanan mental pada diri siswa. Pembelajaran, menjadi kurang optimal. Kerjasama
interaksi tidak optimal terbukti (siswa diam), Andi mereaksi.
Guru : Baiklah. Hari ini, kita lanjutka pelajaran kemarin
Siswa : (diam)
Guru : coba kalian buka LKS halaman ...
Siswa : (diam sambil membuka LKS)
Penggalan
di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi secara optimal antara guru
dan siswa. Siswa begitu pasif. Guru tidak mengadakan apersepsi pembelajaran
dengan baik.
Bandingkan
jika guru menggunakan implikatur dengan penggalan berikut:
Guru : Anak-anak, saya sangat senang bertemu kalian saat ini
Siswa :
Guru : kalian luar biasa pada pertemuan kemarin, hari ini pasti lebih
....
Guru : hari ini kiat akan kembali bersama-sama menjadi orang yang santun
berbahasa ....
Daya
pragmatik tuturan guru dalam penggalan di atas jelas berbeda dengan penggalan
pertama. Prinsip kerjasama terjadi secara psikologis. Penggunaan kata “kita”
menunjukkan lokasi kebersamaan. Perlukosi dari tuturan guru memang tidak
terlihat secara perilaku atau tuturan, tapi pujian “kalian luar biasa” jelas
berdampak pada psikologis anak pada persiapan diri di kegiatan awal.
Berdasarkan
uraian di atas, kegiatan awal pembelajaran harus dimulai dengan tuturan guru
yang mempunyai daya pragmatik positif. Daya pragmatik di kegiatan awal sangat
berpengaruh dalam kegiatan inti sebuah pembelajaran. Sekali lagi daya pragmatik
menghasilkan maksim kerjasama yang baik dalam konteks tuturan maupun psikologi
belajar. Guru harus menjaga emosi positif siswa. Emosi siswa secara psikologi
kognitif sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran saat itu.
Kegiatan
ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses. Eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi. Guru berinteraksi dengan siswa dengan upaya
mendorong mereka mau melakukan sendiri proses eksplorasi ini.
Perhatikan
dialog berikut:
Guru : Anak-anak
saya akan menyampaikan materi ....
Siswa : (diam)
Guru : kerjakan
soal-soal berikut ....
Atau
dialog berikut:
Guru : baca
atau atau tulis materi tentang ....
siswa : (membaca
atau menulis)
Dua
model dialog di atas menunjukkan bahwa guru tidak memaknai eksplorasi dengan
baik. Selain itu guru juga tidak menjaga prinsip kerjasama dengan siswa.
Praanggapan guru adalah siswa mau menerima, mau membaca, dan mau menulis. Lebih
lagi guru juga mempunyai praanggapan bahwa dengan implikatur demikian siswa
secara psikologis mau belajar. Daya pragmatik demikian tidak membangkitkan
siswa untuk mau bereksplorasi.
Bandingkan
dengan data berikut:
Guru
: Anak-anak kompetensi ini dapat kita capai bila kita secara bersama-sama ....
(guru dapat menyampaikan berbagai kegiatan, misalnya mengamati , membaca,
melakukan percobaan dan sebagainya)
Perlukosi
yang diharapkan dari ilukosi guru tersebut adalah anak-anak mau belajar dengan
kesadaran. Daya pragmatik ini tidak berbentuk perintah tetapi sebuah permohonan
yang tentu saja mempunyai prinsip kerjasama yang lebih optimal. Lebih lagi jika
selama proses eksplorasi guru terus memberikan implikatur dengan berpranggapan
mereka mampu melakukan, seperti “kalian bisa”, “terus saja”, “lakukan lagi”,
atau “ada yang dipertanyakan?” ilukosi dari tindak tutur demikian berharap agar
siswa mau bekerja dan percaya diri.
Dalam
kegiatan elaborasi, guru memfasilitasi peserta didik agar mengaitkan tentang
apa yang diperoleh dalam eksplorasi dengan kompetensi atau konsep yang sedang
dipelajari.
Guru : anak-anak
sekarang mari kita mendiskusikan temuan-temuan kita dalam kelompok
Siswa : (berdiskusi)
Guru : kalian
pasti bisa menyampaikan ada teman
Guru : seperti
biasa, kalian semua adalah jago membuat kesimpulan
Dalam
kegiatan konfirmasi, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menampaikan hasil eksplorasi dan elaborasi, tindak tutur guru memberikan
kesempatan siswa untuk menyampaikan kerja individu maupun kerja kelompok.
Sekali lagi pada dasarnya daya pragmatik terletak bagaimana guru mampu
membangun interaksi dalam kelas dengan tuturan yang terukur. Tuturan yang
mengutamakan ilukosi yang berdasar pada prinsip kerjasama.Bukan bentuk erintah
atau membangun sebuah jarak psikologis.
Guru : sekarang
tiba saatnya kalian menyatakan pada kelas bagaimana hasil pengamatan ataupun
diskusi kalian
Guru : luar
biasa, baik sekali, saya bangga dan sebagainya (dikatakan saat siswa selesai
menyampaikan tugas mereka)
Guru
dapat juga memberi penguatan non verbal dalam bentuk tepukan atau anggukan, dan
sebagainya. Terkait kegiatan inti, baik eksplorasi, elaborasi, maupun
konfirmasi, daya pragmatik yang utama adalah bagaimana membangun prinsip
kerjasamabaik verbal maupun psikis. Siswa memerlukan motivasi dalam mencapai
kompetensi yang diharapkan. Motivasi itu dapat membantu siswa melewati proses
pembelajaran dengan baik.
Daya
pragmatik dalam kegiatan penutup jelas mengharapkan siswa untuk mampu
merefleksikan hasil pembelajaran secara menyeluruh. Tuturan kegiatan menutup
pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas.
Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling
memahami apa yang telah dipelajari, sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Implikatur berbentuk kalimat-kalimat kesimpulan dari
proses pembelajaran.
Guru : anak-anak
tidak terasa waktu sudah habis. Ada beberapa hal yang perlu kita simpulkan.
Teruslah belajar dan tetap bersemangat, dan tepuk tangan untuk kita semua.
Berdasarkan
pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa daya
pragmatik sangat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran efektif.
Pembelajaran efektif tidak terlepas dari mental belajar siswa. Mental belajar
terkait dengan psikologi kognitif. Proses kognitif cenderung lebih efektif
ketika menangani informasi positif daripada negatif. Daya pragmatik akan
menghasilkan prinsip kerjasama antar guru dan siswa, atau siswa dengan siswa.
Daya pragmatik merupakan implikasi dari lokusi, ilokusi dan perlukosi.
Jelaslah
tuturan guru dalam sebuah pembelajaran mempunyai daya mempengaruhi pikiran
siswa. Penggunaan bahasa yang tepat akan menghasilkan proses kognitif belajar
yang baik. Tuturan guru sebaiknya menggunakan bahasa yang mempunyai daya
pragmatik positif. Daya pragmatik dalam konteks pembelajaran terimplementasikan
dalam kegiatan pembelajaran. Konteks utama implementasi terdapat dalam kegiatan
awal, sedangkan kegiatan inti dan penutup terutama terkait dengan bagaimana
membangun prinsip kerjasama dan motivasi siswa.
Daftar
Pustaka
Brown, Gilian dan George Yule,
1996. Analisis Wacana. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: Gramedia
Depdiknas. 2007, Juknis Standar
Proses
Yule, George. 2006. Pragmatik.
Penerjemah Rombe Mustajab. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kinayanti Djojosuroto. 2007. Filsafat
Bahasa Yogyakarta : Pustaka Book Publisher
Leech. Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip
Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka. Jakarta : UI Press
Mohamad Asrori. 2007. Psikologi
Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima
Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik.
Surakarta : UNS Press
Suharnan. 2005. Psikologi
Kognitif. Surabaya : Srikandi
Titscer, Styefan, dkk. 2009. Metode
Analisis Teks & Wacana. Yogyakarta : Pustaka Pelajar