Selasa, 25 Oktober 2016

KESUKSESAN ADALAH BUAH KESUNGGUHAN Oleh: Sugiyanto



KESUKSESAN ADALAH BUAH KESUNGGUHAN
Oleh: Sugiyanto
(Disajikan dalam Pembekalan Wisudawan dan Wisudawati STAIN Pnorogo Tahun 2014)

Kehidupan adalah panggung dan kita adalah lakon (sutradara, pemain sekaligus kru). Allah dan Malaikat menunjukkan jalan  cerita yang lurus dan harus kita lalui. Alam semesta adalah penonton, property sekaligus panggung dari sebuah lakon. Sedangkan setan dan iblis adalah tokoh antagonis yang terus bermanuver mencari titik lemah dalam hidup kita. Semua pertunjukkan tersebut tidak lepas dari aspek aqidah, syariah dan tasawuf. Dan sungguh bersyukur kita bahwa Allah adalah Ar rahman dan Ar rahiim, demikian Hag (2008:10-17). Pernyataan tersebut terinterprestasikan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang harus dilampaui oleh manusia. Setiap perjalanan jelas akan melewati episode-episode yang penuh dengan nuansa alur cerita (preposisi, konflek dan ending). Manusia akan terus berusaha mencapai realitas happy ending (kesuksesan). 
Pendidikan adalah sebuah usaha dalam mencapai sebuah kesuksesan. Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina, filosofi demikian memberikan energy kepada manusia akan pentingnya sebuah pendidikan. Apa yang dilakukan oleh Muslimah pada anak-anak Laskar Pelangi, Butet Manurung dalam Sokola Rimba? Anak-anak Belitong dengan segala kesederhanaan mampu meraih sarjana bahkan menginpirasi orang lain untuk sukses. Anak-anak rimba yang hidup dalam alam bebas dan nomaden akhirnya satu, dua mungkin ratusan akhirnya dapat membaca dan tidak ditipu orang. Demikian juga guru-guru kiita yang ada di Ngrayun, Pupus, Wates, Gajah dan sebaginya terus tergerak dalam mencerdaskan orang lain. Hasilnya anak-anak miskin itu mampu hidup secara survifel dan sukses. Masyarakat kita telah memberikan bukti-bukti bahwa mewariskan harta dan kekayaan kadang hanya seumur jagung  telah musnah. Realitas keberhasilan seseorang yang sukses dari pendidikan sudah tidak terhitung jumlahnya.  Maaf, mungkin kita salah satu diantaranya.
Menempuh pendidikan bukanlah hal yang mudah. Data statistic di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pencari kerja masih di dominasi oleh pendidikan dasar dan menengah. Dapat dikatakan bahwa jumlah sarjana belum mencapai titik korelasi yang berimbang dengan jumlah penduduk. Selaras dengan pernyataan tersebut bahwa mencapai gelar sarjana bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian orang dengan ketersediaan dana mencapai jenjang kesarjanaan bukanlah hal yang sulit. Sebaliknya tidak sedikit mahasiswa yang harus bersusah payah dalam menyelesaikan studinya. Mahasiswa demikian akan melewati masa study dengan tempaan psikologis yang luar biasa. Keterbatasan biaya membuat mereka harus pandai berikhtiar untuk beradaptasi dengan dinamika kehidupan kampus dan perkembangan usia mudanya. Keterbatasan itu membuat tidak adanya berbagai fasilitas yang harus dimiliki (literature maupun sarana lain). Dapat dikatakan selain factor pembiayaan mencapai gelar sarjana juga didukung oleh berbagai kematangan dan kepandaian mengelola psikologis. Bahkan menurut Umar Kayam proses menempuh pendidikan pada masyarakat Jawa tak lepas dari filosofi “Ngenger”.
Epos Mahabarata menyajikan sebuah episode Pandowo Ngenger. Diceritakan bahwa dalam episode ini bagaimana para pandawa mendapatkan pelajaran baik lahir maupun batin. Berbagai tantangan kehidupan harus dihadapi dengan keikhlasan, kejujuran, dan kesungguhan.  Akhirnya bekal inilah yang menghantarkan mereka meraih tahta. Masyarakat  Jawa -dalam masa tertentu- terdapat dikotomi Priyayi dan Kelas bawah. Priyayi terdiri atas golongan kerabat keraton, keturunan ningrat ataupun para pegawai pemerintah. Derajat para priyayi diapresiasi lebih tinggi. Kepriyayian itu didukung oleh faktor keturunan, kekayaan dan jabatan.
Dikotomi demikian membangun sebuah kultur mind set bahwa hanya priyayi  yang pantas bersekolah. Para priyayi itu jelas membutuhkan pembantu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan keluarga. Beberapa diantara mereka mengambil anak-anak dari desa ataupun kelas bawah untuk di sekolahkan. Anak-anak tersebut diistilahkan Ngenger. Selain bersekolah ataupun kuliah secara formal mereka harus mengerjakan berbagai pekerjaan. Kondisi demikianlah proses pembekalan ketahanan hati, jiwa dan mental untuk meraih keberhasilan terbangun. Anak-anak ini menjadi lebih ulet dan tangguh dalam hidup.  Bahkan tidak sedikt mereka lebih sukses dari anak-anak priyayi yang mereka ikuti. Tradisi inilah yang dulu berkembang. Tidak sedikit orang tua yang menitipkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Akhirnya tidak sedikit diantara anak-anak ini yang berhasil. Dinyatakan bahwa keberhasilan itu adalah buah dari kemampuan psikolgis mereka untuk tetap mencapai kesetaraan kehidupan dengan para priyayi. Dalam perkembangannya pola-pola ngenger ini berkembang dalam berbagai bentuk.  Dengan demikian pendidikan pernyataan bahwa pendidikan bukanlah hal yang mudah tampaknya telah terstruktur dalam sosio kultural  masyrakat.
Demikian juga, keberhasilan seseorang meraih gelar  sarjana. Tidak sedikit orang mempunyai persepsi salah. Mereka berpendapat sarjana itu ditempuh empat (4) Tahun cukup, paling molor sepuluh semester, atau bpleh lebih sedikit. Pendapat demikian jelas dikatakan bagi mereka yang telah lulus sekolah menengah atas. Bagaimana dengan proses pendidikan sebelumnya? Padahal proses pendidikan mulai dari tingkat prasekolah, sekolah dasar dan menengah jelas menyita waktu sekitar  tiga belas (13) tahun. Jadi untuk mencapai gelar sarjana dibutuhkan sekitar  tujuh belas (17) tahun, bahkan tidak jarang lebih. Tentu saja pergulatan waktu, pikiran dan tenaga dengan dunia pendidikan selama itu akan membuat sarjana memiliki kepercayaan diri yang lebih. Kepercayaan diri dalam melakoni sebuah kehidupan.
Al-Kahlil (2012:149-152) menyatakan  berpenampilan percaya diri akan menghancurkan rasa takut dan sedih. Rasa takut disebabkan oleh lingkungan eksternal. Rasa takut timbul karena masa depan.  Berdasarkan pendapat tersebut  rasa takut dimunculkab karena persepsi individu dalam melihat factor eksternal, padahal pada sisi lain mereka harus menyiapkan kesuksesan masa depan. Pencapaian kesarjanaan seseorang baik secara akademis maupun kompetensi telah memberikan bekal cukup untuk merespon kondisi ekternal yang ada. Berbagai kondisi ektrernal yang memunculkan rasa takut adalah beberapa persepsi negative. Beberapa persepsi negative tersebut adalah: (i) lapangan kerja sulit, (ii) banyak sarjana di masyarakat, (iii) bekerja itu ya jadi pegawai, (iv) fenomena uang sogok, dan sebagaimya. Kondisi ekternal tersebut membangkitkan beberapa energy negative seperti: apatis, pasrah, pesimis, ataupun egois. Dimungkinkan menimbulkan stress.
Mashudi (2013:184) stress dapat memberikan pengaruh positif dan negative. Pengaruh positif mendorong individu untuk melakukan sesuatu, membangkitkan kesadaran, dan menghasilkan pengalaman baru. Sedangkan pengaruh negative  tidak percaya diri, penolakan, marah, atau depresi, yang memunculkan penyakit sakit kepala, perut, insomnia, tekanan darah tinggi atau stroke. Tentu saja sikap percaya diri seorang sarjana diharapkan dapat mengelola stress  menjadi sebuah daya dorong untuk menjadi pribadi sukses.
Sentanu (2008:98 dan 158) menyampaikan bahwa sebuah kesuksesan dengan cara membangun pikiran positif. Usahakan dalam membangun pikiran positif dengan hati kita. Otot ikhlas dengan menyerahkan segala harapan kepada Tuhan. Kita merasa bersyukur, sabar, focus, tenang dan bahagia . Pemikiran ini jelas mengarahkan untuk bertawakaL. Kemampuan hati membangun keikhlasan dan keyakinan akan mencapai kesuksesan. Setiap individu mempunyai potensi diri yang berbeda. Setiap individu mempunyai daya kreatif yang beragam. Namun demikian diharapkan berpikjak pada sebuah keyakinan. Termasuk didalamnya keyakinan untuk sukses.
Gunawan (2009:29-42) menyatakan bahwa manusi telah diciptakan untuk sukses.  Melalui proses biologis bagaimana sperma mencapai sel telur, menunjukkan bagaimana kesuksesan mampu terbaca.Orang belum berhasil (bukan tidak) dengan beberapa alasan berikut. (1) Mereka tidak serius; (2) Belum menerima tanggung jawab atas kehidupan mereka; (3) Tidak menyadari pentingnya impian; (4) punya perasaan bersalah dan tidak berharga yang beulat dari diri mereka; (5) Tidak tahu cara menetapkan tujuan; (6) Takut ditolak dan dikrikit dan; (7) Mereka takut gagal. Ketujuh kondisi tersebut adalah sebuah Mental Block pada diri manusia. Mental blok adalah kondisi penghambat mansi untuk mencampai kesuksesan.
Selain menghilangkan mental block yang menghambat pada diri seseorang, ada bebera jalan mencapai sukses.  Pertama adalah impian, setiap individu secara riil harus mempunyai tujuan. Tujuan hidup secara tertulis lengkap dengan langkah yang dimungkinkan. Dimungkinkan ada beberapa tujuan hidup yang mesti ditulis. Penulisan tujuan ini jelas berdasarkan pada kompetensi dan peluang yang dimungkinkan. Seorangb sarjana jelas akan menuliskan impian ini sangat berbeda dengan orang awam. Penulisan secara logis dan berfariatif sangat dsarankan. Jangan tunda lakukan sekarang juga. Kedua, keyakinan akan meraih sukses. Keyakinan dalam hati yang diafirmasai akan menghasilkan keberhasilan. Sebagaimana energy positif yang terwujud. Mulailah sekarang tanam keyakinan bahwa kesusesan akan tercapai.
Ketiga adalah syukur. Syukur  setiap saat kita lesankan dan terus tersugestikan. Kenikmatan Allah kepada kita tiada tara, dengan bersyukur akan ada kenikmatan lain yang diberikan.  Keempat yaitu  pasrah.  Keikhlasan kita untuk memasrahkan diri kepada Allah selaras dengan berbagai usaha akan memberikan kedamaian. Rasa damai, bahagia dan sukur akan menghasilkan respon demikian pula dari orang lain. Sebaliknya kesombongan, marah dan suudhon akan mendapatkan respon demikian juga. Kelima adalah Doa. Energy doa dengan keikhlasan adalah tenaga terdahsyat memberikan energy sukses. Doa adalah sebuah harapan yang terus menerus  diafirmasi. Karang sekuat apapun akhirnya akan terkikis juga oleh ombak. Batu keras akan terlubangi oleh tetes air yang terus mengalir. Demikian juga denga doa.
Berdasarkan paparan di atas ada beberapa hal yang tersimpulkan. Pencapaian gelar sarjana adalah sebuah perjalanan panjang dalam hidup. Kompetensi ini merupakjan bekal dalam mengarungi lakon kehidupan. Rasa ketakutan akan masa depan pada dasarnya dalah resepsi terhadap realitas. Sorang sarjana diharapkan mampu menyiapkan diri dalam meraih sebuah kesuksesan. Keyakinan, keikhlasan, keberanian, kemauan menuliskan tujuan hidup, syukur, dan pasrah serta doa adalah energy dalam mereih sukses.
SELAMAT ANDA TELAH MENJADI SARJANA!  BERIKAN YANG TERBAIK UNTUK SEMUA!
Buku SumberAl-Kahlil, Abdud Da’im. 2012. Dahsyatnya Mukjizat Amal Shalih dan Sikap Positif.  Penerjemah:   Abu ‘Uqbah. Inas Media: Klaten
Erbe, Sentanu. 2007. Quantum Ikhlas. Elex Media Komputindo: Jakarta
Gunawan, Adi W.2009. Quantum Life Transformation. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Haq, Zaairul. 2008. Keajaiban Syair Tombo Ati. Nayla Pustaka: Yogyakarta
Herata, Andrea.2008. Laskar Pelangi. Bentang Pustaka: Yogyakarta
Kayam, Umar.2001. Satrio Piningit. Pengantar: Bambang Bujono. Kedaulatan Rakyat: Yogyakarta
Manurung, Butet. 2013. Sokola Rimba.Penerbit Kompas: Jakarta
Mashudi, Farid. 2013. Psikologi Konseling. IRCisoD: Yogyakarta

AWAS! VIRUS LKS (memaknai pembelajaran aktif)



AWAS!
VIRUS LKS
(memaknai pembelajaran aktif)

“Anak-anak, kerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) halaman empat belas, nanti dikumpulkan”. “Kemarin telah kita bahas LKS halaman tiga, kalau sudah selesai hubungi saya di kantor”. Meskipun belum terhitung prosentasenya, kata-kata itu begitu sering didengar anak-anak/siswa-siswa kita. Lebih parah, fungsi LKS kadang dapat menggantikan kehadiran guru di kelas. Bayangkan, kalau kondisi demikian tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semoga saja belum, sebab bahayanya terhadap pelaksanaan pembelajaran aktif sama dengan virus flu burung. Apalagi kalau LKS-nya sebatas kumpulan tugas.

Eric Jensen dalam Brain-Based Learning mengelompokkan perilaku pembelajaran seorang guru menjadi tiga, yaitu: (1) Yang paling fit yang dapat bertahan hidup (Survival of the fittest) “Anda bisa menuntun seekor kuda di tepi air, tapi anda tidak bisa membuatnya meminum air”, kondisi ini merefleksikan jika siswa tidak mampu melakukan itu masalah dia sendiri. (2) Kaum Behavioris yang menentukan, artinya dengan hukuan dan penghargaan yang cukup, anda akan mendapatkan perilaku apapun yang anda inginkan. (3) Kaum Naturalis yang berbasis kemampuan otak “bagaimana kita membuat kuda itu haus supaya dia mau minum dari palung air”, kondisi ini merefleksikan bagaimana guru dapat menemukan penghalang alami dari pembelajar dan menemukan motivator dari dalam, sehingga hasrat perilaku muncul secara alamiah. (2008:7) Tentu saja kita tidak begitu saja mengikuti mana yang harus dipilih, tetapi ada makna tersirat, bagaimanakah sebuah pembelajaran efektif. Sehingga menemukan jawaban bagaimana dan kapan penggunaannya LKS.

Terus bagaimana membelajarkan siswa sehingga emosi siswa tidak merasa ditekan untuk belajar? Bagaimana siswa mau membelajarkan dirinya sendiri? Seperti halnya pernyataan kaum Naturalis? Dalam pembelajaran tentu kita tidak menginginkan proses transfer of knowledge tetapi transfer of learning. Sehingga tidak terwujud mengajar hanyalah sebuah proses penyampaian pengetahuan dari seorang pengajar kepada mahasiswa, tanpa memperhatikan apakah terjadi proses belajar pada mahasiswa (siswa) atau tidak. Hisyam Zaini dkk. (Umar Sidik(penyunting)2002:54). Pernyataan demikian dapat kita interpretasikan bahwa sebuah pembelajaran harus mampu melibatkan siswa secara emosional. Perlu kita pahami bersama bahwa kondisi pembelajaran dalam kelas adalah hasil desain seorang guru.

Memunculkan pembelajaran yang memantik motivasi siswa belajar tidaklah mudah. Seorang guru wajib memahami secara komprehensif hakikat sebuah pembelajaran. “Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Demikian Dimyati dan Mujiono (1999:18) keterlibatan ketiga aspek dalam belajar dapat menjadi tolak ukur sebuah hasil pembelajaran. Jadi, tingkat keberhasilan pembelajaran tidak hanya diukur dari segi pencapaian prestasi kognetif. Atau dapat kita nyatakan bahwa pembelajaran ditengarai mampu mencapai hasil yang optimal bila dalam proses individu pembelajar tercermin sebuah pembelajaran efektif.

Richard Dunne & Ted Wragg dalam pembelajaran efektif menyampaikan keterwujudan pembelajaran efektif tampaknya memerlukan sistem penyajian pembelajaran yang kondusif. Tentu saja disini dituntut peran guru untuk mewujudkannya. Guru dapat mendesain atau menskenario bagaimana proses pembelajaran yang memudahkan siswa belajar sekaligus bermanfaat. Perwujudan kondisi demikian dalam persiapan dapat tersurat dalam pembuatan langkah-langkah pembelajaran RPP.

Ada tawaran menarik Melvin L. Silberman agar pembelajaran menjadi efektif. (1) mendengar dan melihat. Pernyataan melihat, tampaknya guru harus memunculkan sebuah obyek yang mampu menarik indera siswa. Ketertarikan itu memberikan sinyal rangsang otak siswa untuk bekerja. (2) langkah respon mengajukan pertanyaan atau membahas. Pada langkah iniperan guru dapat mendesain kondisi pertanyaan terbimbing ataupun bebas. Mungkn juga berupa tugas-tugas guru setelah indera siswa menangkap sebuah obyekbelajar. (3) siswa bekerja merealisasikan kompetensi yang mereka peroleh ataupun mencapai kompetensi yang diharapkan. Pemahaman akan desain pembelajaran di atas, sangat membantu guru untuk menentukan sebuah obyek belajar ataupun bahan ajar. Permasalahannya sekarang sudahkah LKS yang kita gunakan terdesain demikian?
Keberhasilan sebuah pembelajaran memang tidak sekedar dengan keakuratan langkap pembelajaran guru. Faktor lain yang turut menunjang adalah faktor motivasi subyek belajar yaitu siswa, Bigss dan Telfer dalam Dimyati dan Mujiono menyatakan “motivasi berprestasi siswa dibagi menjadi dua jenis, yaitu : motivasi berprestasi tinggi, dan motivasi berprestasi rendah. Menghadapi siswa yang berprestasi tinggi guru harus menyalurkan semangat kerja keras mereka. Sedangkan siswa motivasi rendah, guru diharapkan mampu berkreasi dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran.” (ibid hal:33) Pendapat ini merupakan sebuah penegas bahwapembelajaran efektif memerlukan desain langkah pembelajaran serta bahan ajar yang dapat melayani kemajemukan motivasi siswa. Kita juga dapat menambahkan bagaimana motivasi belajar dapat dimunculkan guru dengan mempertimbangkan apa yang disampaikan Hamalik “motivasi belajar meliputi suasana lingkungan kelas, keterlibatan langsung siswa, menjamin keberhasilan” (2003:87). Dengan demikian perlu kecerdasan dari para guru kapan dan bagaimana sebuah LKS digunakan.

Pertimbangan lain untuk menciptakan pembelajaran efektif adalah pengetahuan guru akan bagaimana siswa itu belajar . prinsip-prinsip belajar bagi siswa meliputi: (1) perhatian dan motivasi, (2) keaktifan, (3) keterlibatan langsung/pengalaman, (4) pengulangan, (5) tantangan, (6) balikan dan penguatan, (7) perbedaan individual (ibid hal:42-50). Pendapat in selaras dengan pendapat Melvin L. Silberman tentang bagaimana langkah pembelajaran harus menciptakan siswa belajar dengan aktif. Pengetahuan guru tentang bagaimana siswa belajar akan memunculkan bagaimana membelajarkan mereka. Bagaimana jika keberadaannya cukup digantikan dengan sebuah LKS?

Tak kalah penting, selain pemahaman bagaimana pembelajaran efektif itu dapat dimunculkan, adalah pengetahuan guru bagaimana proses pembelajaran mampu berlangsung dinamis. Atau apa yang selalu dapat mempengaruhi erubahan kondisi pembelajaran. Agar pembelajaran mampu dinamis artinya siswa mampu belajar dengan optimal, maka guru harus memahami unsur-unsur dinamis dalam proses belajar terdiri atas (1) motivasi siswa, (2) bahan ajar, (3) alat bantu belajar, (4) suasana belajar, (5) kondisi subyek yang pembelajar (siswa).

Kelima unsur ini bersifat dinamis, yang sering berubah, menguatkan atau melemah, dan yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Oemar Hamalik (2003:50) kedinamisan sebuah pembelajaran akan membangun etos belajar siswa. Pembelajaran akan selalu berubah dan berubah, sesuai dengan kelima unsur di atas. Seorang guru akan merasakan iklim pembelajaran yang selalu berbeda. Dengan demikian ketepatan penggunaan LKS sangat memerlukan kecermatan.

Selain penentuan langkah dan pemilihan obyek belajar, perlu kiranya seorang guru memahami makna sebuah kolaborasi bagi siswa. Dalam bentuk apapun (diskusi, tanya jawab, curah gagasan) pada prinsipnya adalah apa yang terwujud adalah cooperative learning. “Bagaimanapun juga, hal tersebut mengambarkan bagaimana kerja tim terstruktur dapat memfokuskan siswa untuk saling membantu belajar bahan ajar, mulai dari keterampilan dasar sampai pada menulis kreatif”. Demikian Robert E. Slavin dalam Mohamad Nur (penyadur) (2005:18) Kadang penggunaan LKS sangatlah individu, sehingga pembelajaran mengacuhkan akan pentingnya makna sebuah kolaborasi.

Sekali lagi, bahwa penentuan langkah pembelajaran memerlukan beberapa landasan berfikir. Landasan berfikir akan menstrukturkan langkah pembelajaran yang menghasilkan pembelajaran efektif. Meskipun demikian pengetahuan dan pemahaman akan konteks belajar aktif di atas tidak bermanfaat sama sekali jika hanya dibaca atau dikatakan. Maka alternatif terpendek adalah mencobanya. Pembelajaran yang mewajibkan guru mendesain pembelajaran sesuai dengan makna cooperative learning, active learning, joyfull learning, contextual learning Sebuah pembelajaran yang mendasarkan pada kemampuan memancing motivasi belajar siswa baik yang aktif maupun pasif. Sebuah pembelajaran yang mampu memilih dan memilah LKS siswa. Dan bukan pembelajaran yang dituntun oleh LKS.
Tuturan Guru
Pembangkit Efektivitas Pembelajaran

Semua guru dalam tataran normal jelas menginginkan konteks pembelajaran di kelas berlangsung efektif. Berbagai kegiatan ditempuh guru untuk mencapai kondisi tersebut. Guru menyiapkan rencana pembelajaran, menyesuaikan sarana, menyiapkan media, sampai pada menentukan sebuah strategi pembelajaran. Semua kegatan itu sebagai upaya menghasilkan pembelajaran efektif. Tetapi faktor yang tidak kalah penting terkait pembelajaran efektif adalah bagaimana interaksi guru murid dapat berlangsung dengan baik. Interaksi itu jelas terjadi dalam setiap langkah. Asrori (2007:108) menyatakan interaksi adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, keduanya terlibat aktif dan saling mempengaruhi. Interaksi ini meliputi interaksi verbal, interaksi fisik dan interaksi emosional.

Optimalnya interaksi akan mempengaruhi efektivitas pembelajaran. Pembelajaran menjadi efektif ketika psikologi siswa mau melakukan proses pembelajaran dengan penuh kesadaran, proses belajar siswa dalam belajar dapat diasumsikan dengan proses mental siswa dalam belajar. Kajian ilmiah terkait proses mental dinamakan dengan psikologi kognitif (Suharnan, 2005:1).

Baik dan buruknya interaksi dalam kelas jelas ditentukan oleh faktor bahasa.. Kinayati Djojosuroto (2007:293-294) menyampaikan bahasa bukan sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga diperlukan untuk berfikir itu sendiri. Bahasa juga mempunyai fungsi mengekspresikan emosi , memerintah, menyampaikan bujukan (secara umum disebut “fungsi-fungsi emotif”). Sementara itu, G. Revesz dalam Sarwiji Suwandi (2008:57) mengemukakan tiga fungsi yang dimiliki oleh bahasa, yakni (1) indikatif, (2) imperative, (3) interogative. Berdasarkan pendapat di atas bahasa dapat digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi pikiran orang lain.
Interaksi ideal akan menghasilkan sebuah kondisi pembelajaran yang ideal juga. Dengan demikian keberhasilan pembelajaran tergantung dari tingkat daya komunikasi. Sejauh mana daya komunikatif  bahasa digunakan guru dan siswa untuk mencapai tujuan? Geofrey Lech mengatakan pengkajian secara mengenai efektivitas komunikasi ini disebut dengan retorik (1993:22). Daya retorik adalah makna sebuah tuturan dilihat dari ketaatan penutur pada prinsip retorik (misalnya sejauh mana penutur mengatakan dengan benar, berbicara dengan santun, atau bernada ironis). Daya retorik jia dipadukan dengan daya ilokusi akan membentuk daya pragmatic (ibid:23). Berdasarkan pendapat di atas perlu dikaji bagaimana intensitas daya pragmatik bahasa digunakan guru dalam pembelajaran.

Tindak berbahasa guru merupakan stimulus bagi siswa dalam belajar. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menentukan kondisi belajar siswa. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru memulai pembelajaran, mengkondisikan kelas, memerintah ataupun mengajukan pernyataan, tindak tutur guru akan mendapatkan reaksi yang beragam dari anak. Diharapkan tindak tutur guru menciptakan oembelajaran efektif. Tindak tutur guru membuat anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran.

Proses optimalisasi hasil interaksi guru murid harus ada sebuah kerjasama. Yule (2006:60) menyatakan penutur dan petutur dalam percakapan umumnya ada kerjasama untuk menghasilkan referen kerjasama merupakan faktor utama. Sebaliknya bila terjadi penolakan tidak terjadi komunikasi yang idial, kebanyakan komunikator cenderung menyelehkan pendengar demikian Michael Lum (2009:15). Terkait konteks kelas kesalahan ini sering ditujukan kepada siswa. Sekarang bagaimanakah tindak tutur guru dan siswa yang mempunyai daya pragmatik membangkitkan pembelajaran efektif.

Pencapaian tujuan dalam tindak tutur dalam konteks interaksi berdasarkan daya pragmatik ditentukan oleh daya retorik dan daya ilokusi. Noam Chomsky dalam Sarwiji (2010:63) mendikotomikan antara competence sebagai perangkat aturan bahasa, sedangkan performance adalah tindakan berbahasa berdasarkan competence. Dengan demikian keberhasilan guru ditentukan juga kemampuan memadukan unsur competence dan performance.

Sarwiji Suwandi (2010:70) dan Geofre Lech (1993:24) menyatakan kualitas berbicara memiliki beberapa prinsip dengan maksim tertentu, misalnya: (1) Prinsip kerjasama dengan maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevan, maksim cara bicara, (2) Prinsip sopan santun dengan maksim kearifan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kedermawanan.

Tindak berbahasa dalam kajian ini berlangsung pada kondisi pembelajaran pada umumnya. Emosi guru mampu tertata dengan baik, bukan dalam keadaan emosi atau marah. Guru dalam keadaan marah jelas menghambat sebuah pembelajaran efektif. Selain itu ukuran pelaksanaan pembelajaran terkait dengan standar proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang ditetapkan berdasarkan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 menyatakan bahwa proses kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Proses interprestasi daya pragmatik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk dialog dalam tiga tahap tersebut.

Apabila guru sudah melaksanakan kegiatan awal dengan baik, psikologi siswa akan terbawa dalam sebuah pembelajaran efektif. Proses interaksi dalam tahap ini kadang merupakan titik krusial berlangsungnya sebuah pembelajaran. Penguasaan materi pembelajaran, mengella kelas dan performance guru harus optimal. Daya pragmatik tindak tutur guru terkait pemilihan diksi (lokusi) dan bagaimana guru bertutur (ilokusi) serta kontrol terhadap efek tuturan (perlukosi) harus terjaga. Selain itu, tindak tutur guru harus menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan efek respon yang sama pada diri siswa. Daya pragmatik ini akan berlangsung optimal jika ada prinsip kerjasama.

Perhatikan data berikut:
Guru                    :    Berdo’a dulu
Ketua Kelas         :    Persiapan, berdo’a
                                 Mulai ... selesai
Guru                    :    (mengucapkan salam)
Siswa                   :    (mengucapkan salam)

Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antar siswa dan guru dalam prinsip kerjasama mengacu ada maksim relevansi mengharuskan setiap eserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Guru menyampaikan berdo’a dulu, ketua kelas merespon dengan menyiapkan.
Kalimat guru “berdo’a dulu”, secara ilokusi berbentuk perintah. Meskipun sudah terdapat maksim kerjasama, bentuk perintah akan menghasilkan jarak interaksi antar guru dan siswa. Jarak interaksi inilah yang dapat mengganggu sebuah konteks keakraban dan demokrasi dalam kelas. Bagaimana seandaina guru menyampaikan “Anak-anak mari kita berdo’a, ketua kelas minta tolong...” ilukosi dari kalimat di atasmenghasilkan sebuah kebersamaan dan prinsip kesantunan, jelas kalimat ini bukan perintah, tetapi kalimat permohonan. Daya pragmatik antara kalimat perintah dan permohonan mungkin menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas secara psikologi menghasilkan perlukosi yang sama, tetapi jelas secara psikologi menghasilkan efek mental ini dapat berpengaruh terhadap efektifitas pembelajaran.
Guru                    :    Siapa yang tidak masuk hari ini?
Murid                  :    (diam, satu dua memperhatikan temannya)
Guru                    :    Andi masuk?
Andi                    :    masuk
Guru                    :    kemarin tidak masuk, benar-benar sakit?
Andi                    :    benar, ada suratnya

Kalimat guru “Siapa yang tidak masuk hari ini?” ilukosi yang terdapat dalam kalimat di atas adalah bahwa anak-anak harus rajin masuk sekolah. Guru mengharapkan semua siswa dapat mengikuti pembelajaran. Penggunaan kata “siapa” dapat mempunyai makna menentukan ada yang tidak masuk (kecurigaan). Apalagi jika dikaitkan dengan implikatur “Andi masuk?” jelas guru mempunya praanggapan bahwa Andi sering tidak masuk. Rasa solidaritas kelas secara psikologis sudah menghasilkan rasa simpati pada Andi dan rasa kurang simpati pada guru. Dengan demikian kegiatan awal ini jika guru menggunakan kalimat di atas, menghasilkan sebuah tekanan mental pada diri siswa. Pembelajaran, menjadi kurang optimal. Kerjasama interaksi tidak optimal terbukti (siswa diam), Andi mereaksi.
Guru                    :    Baiklah. Hari ini, kita lanjutka pelajaran kemarin
Siswa                   :    (diam)
Guru                    :    coba kalian buka LKS halaman ...
Siswa                   :    (diam sambil membuka LKS)
Penggalan di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi secara optimal antara guru dan siswa. Siswa begitu pasif. Guru tidak mengadakan apersepsi pembelajaran dengan baik.

Bandingkan jika guru menggunakan implikatur dengan penggalan berikut:
Guru                    :    Anak-anak, saya sangat senang bertemu kalian saat ini
Siswa                   :   
Guru                    :    kalian luar biasa pada pertemuan kemarin, hari ini pasti lebih ....
Guru                    :    hari ini kiat akan kembali bersama-sama menjadi orang yang santun berbahasa ....

Daya pragmatik tuturan guru dalam penggalan di atas jelas berbeda dengan penggalan pertama. Prinsip kerjasama terjadi secara psikologis. Penggunaan kata “kita” menunjukkan lokasi kebersamaan. Perlukosi dari tuturan guru memang tidak terlihat secara perilaku atau tuturan, tapi pujian “kalian luar biasa” jelas berdampak pada psikologis anak pada persiapan diri di kegiatan awal.

Berdasarkan uraian di atas, kegiatan awal pembelajaran harus dimulai dengan tuturan guru yang mempunyai daya pragmatik positif. Daya pragmatik di kegiatan awal sangat berpengaruh dalam kegiatan inti sebuah pembelajaran. Sekali lagi daya pragmatik menghasilkan maksim kerjasama yang baik dalam konteks tuturan maupun psikologi belajar. Guru harus menjaga emosi positif siswa. Emosi siswa secara psikologi kognitif sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran saat itu.

Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses. Eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Guru berinteraksi dengan siswa dengan upaya mendorong mereka mau melakukan sendiri proses eksplorasi ini.

Perhatikan dialog berikut:
Guru    :           Anak-anak saya akan menyampaikan materi ....
Siswa   :           (diam)
Guru    :           kerjakan soal-soal berikut ....

Atau dialog berikut:
Guru    :           baca atau atau tulis materi tentang ....
siswa   :           (membaca atau menulis)

Dua model dialog di atas menunjukkan bahwa guru tidak memaknai eksplorasi dengan baik. Selain itu guru juga tidak menjaga prinsip kerjasama dengan siswa. Praanggapan guru adalah siswa mau menerima, mau membaca, dan mau menulis. Lebih lagi guru juga mempunyai praanggapan bahwa dengan implikatur demikian siswa secara psikologis mau belajar. Daya pragmatik demikian tidak membangkitkan siswa untuk mau bereksplorasi.

Bandingkan dengan data berikut:
Guru : Anak-anak kompetensi ini dapat kita capai bila kita secara bersama-sama .... (guru dapat menyampaikan berbagai kegiatan, misalnya mengamati , membaca, melakukan percobaan dan sebagainya)

Perlukosi yang diharapkan dari ilukosi guru tersebut adalah anak-anak mau belajar dengan kesadaran. Daya pragmatik ini tidak berbentuk perintah tetapi sebuah permohonan yang tentu saja mempunyai prinsip kerjasama yang lebih optimal. Lebih lagi jika selama proses eksplorasi guru terus memberikan implikatur dengan berpranggapan mereka mampu melakukan, seperti “kalian bisa”, “terus saja”, “lakukan lagi”, atau “ada yang dipertanyakan?” ilukosi dari tindak tutur demikian berharap agar siswa mau bekerja dan percaya diri.

Dalam kegiatan elaborasi, guru memfasilitasi peserta didik agar mengaitkan tentang apa yang diperoleh dalam eksplorasi dengan kompetensi atau konsep yang sedang dipelajari.
Guru    :    anak-anak sekarang mari kita mendiskusikan temuan-temuan kita dalam kelompok
Siswa  :    (berdiskusi)
Guru    :    kalian pasti bisa menyampaikan ada teman
Guru    :    seperti biasa, kalian semua adalah jago membuat kesimpulan

Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menampaikan hasil eksplorasi dan elaborasi, tindak tutur guru memberikan kesempatan siswa untuk menyampaikan kerja individu maupun kerja kelompok. Sekali lagi pada dasarnya daya pragmatik terletak bagaimana guru mampu membangun interaksi dalam kelas dengan tuturan yang terukur. Tuturan yang mengutamakan ilukosi yang berdasar pada prinsip kerjasama.Bukan bentuk erintah atau membangun sebuah jarak psikologis.
Guru    :    sekarang tiba saatnya kalian menyatakan pada kelas bagaimana hasil pengamatan ataupun diskusi kalian
Guru    :    luar biasa, baik sekali, saya bangga dan sebagainya (dikatakan saat siswa selesai menyampaikan tugas mereka)

Guru dapat juga memberi penguatan non verbal dalam bentuk tepukan atau anggukan, dan sebagainya. Terkait kegiatan inti, baik eksplorasi, elaborasi, maupun konfirmasi, daya pragmatik yang utama adalah bagaimana membangun prinsip kerjasamabaik verbal maupun psikis. Siswa memerlukan motivasi dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. Motivasi itu dapat membantu siswa melewati proses pembelajaran dengan baik.

Daya pragmatik dalam kegiatan penutup jelas mengharapkan siswa untuk mampu merefleksikan hasil pembelajaran secara menyeluruh. Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah dipelajari, sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Implikatur berbentuk kalimat-kalimat kesimpulan dari proses pembelajaran.

Guru    :    anak-anak tidak terasa waktu sudah habis. Ada beberapa hal yang perlu kita simpulkan. Teruslah belajar dan tetap bersemangat, dan tepuk tangan untuk kita semua.

Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa daya pragmatik sangat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran efektif. Pembelajaran efektif tidak terlepas dari mental belajar siswa. Mental belajar terkait dengan psikologi kognitif. Proses kognitif cenderung lebih efektif ketika menangani informasi positif daripada negatif. Daya pragmatik akan menghasilkan prinsip kerjasama antar guru dan siswa, atau siswa dengan siswa. Daya pragmatik merupakan implikasi dari lokusi, ilokusi dan perlukosi.

Jelaslah tuturan guru dalam sebuah pembelajaran mempunyai daya mempengaruhi pikiran siswa. Penggunaan bahasa yang tepat akan menghasilkan proses kognitif belajar yang baik. Tuturan guru sebaiknya menggunakan bahasa yang mempunyai daya pragmatik positif. Daya pragmatik dalam konteks pembelajaran terimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran. Konteks utama implementasi terdapat dalam kegiatan awal, sedangkan kegiatan inti dan penutup terutama terkait dengan bagaimana membangun prinsip kerjasama dan motivasi siswa.



Daftar Pustaka

Brown, Gilian dan George Yule, 1996. Analisis Wacana. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta: Gramedia
Depdiknas. 2007, Juknis Standar Proses
Yule, George. 2006. Pragmatik. Penerjemah Rombe Mustajab. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Kinayanti Djojosuroto. 2007. Filsafat Bahasa Yogyakarta : Pustaka Book Publisher
Leech. Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Penerjemah M.D.D. Oka. Jakarta : UI Press
Mohamad Asrori. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung : CV Wacana Prima
Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik. Surakarta : UNS Press
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya : Srikandi
Titscer, Styefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks & Wacana. Yogyakarta : Pustaka Pelajar